INILAH.COM, Jakarta - Momentum terpilihnya tiga
pimpinan penegak hukum di Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung memunculkan
kecenderungan pilih kasih penanganan kasus yang menyita perhatian
publik. Yang muncul justru prioritas kasus Gayus H Tambunan dan
mengenyampingkan Century.
Sikap tiga lembaga penegak
hukum yang sigap dalam penaganan kasus Gayus H Tambunan dengan rencana
menggelar gelar perkara Selasa (30/11/2010) besok, memang positif. Namun
langkah tersebut menimbulkan tanda tanya besar, mengapa penegak hukum
justru mengenyampingkan skandal bailout Bank Century sebesar Rp6,7
triliun.
Mantan anggota Pansus Century Bambang Soesatyo menilai,
sikap tebang pilih aparat penegak hukum telah ditunjukkan dengan
perlakuan berbeda dalam penanganan kasus Gayus dan Century. "Ini
memperjelas terjadinya tebang pilih penegakan hukum," katanya kepada INILAH.COM di Jakarta, Senin (29/11/2010).
Ia
menilai penanganan yang mencolok dalam kasus Gayus H Tambunan
ditunjukkan oleh aparat penegak hukum. "Mengapa mereka, ditambah Satgas
Pemberantasan Hukum termotivasi keroyokan untuk menuntaskan kasus
Gayus," tanya Bambang heran.
Situasi inilah yang membuat gusar
salah satu inisiator angket Century itu. Bahkan Bambang mengaku, DPR
merasa dilecehkan dengan perbedaan penanganan kasus Gayus dan Century
yang telah menjadi keputusan paripurna DPR pada 3 Maret 2010. "Saya
mengecam keras perbedaan perlakuan terhadap dua kasus itu," tegasnya.
Bambang
menegaskan, skandal Bank Century layak mendapat perlakuan serupa dari
penegak hukum, mengingat sidang Paripurna DPR memerintahkan dilakukannya
proses hukum terhadap semua pihak yang diduga terlibat dalam skandal
itu.
Seperti diketahui, Mabes Porli akan melakukan gelar perkara
kasus Gayus, Selasa (30/11/2010) besok dengan mengundang KPK, Kejaksaan
Agung dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.
Kasus Gayus kembali
menyita perhatian publik saat diketahui Gayus H Tambunan keluar dari sel
tahanan selama 68 kali salahs atunya pelesiran ke Bali sekaligusm
menonton tenis.
Situasi kontras justru terjadi di kasus Bank
Century. Sejak putusan DPR pada Rapat Paripurna DPR 3 Maret 2010 lalu,
hingga saat ini belum ada kemajuan proses hukumnya. Meski telah dibentuk
Tim Pengawas Kasus Century DPR, justru kasus ini jalan di tempat. Dalam
beberapa kesempatan KPK justru menyebutkan belum ada temuan indikasi
korupsi dalam kasus Century.
Pandangan berbeda muncul dari Juru
Bicara Partai Demokrat Ruhut Poltak Sitimpul. Menurut dia, kasus Century
telah selesai. Buktinya aktor utama dalam kasus Century telah diproses
di pengadilan seperti Robert Tantular.
"Kasus Century sudah selesai. Recovery aset tengah dilakukan Mabes Polri," ujarnya kepada INILAH.COM di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/11/2010).
Ia
menegaskan, maksud angket Century beberapa waktu lalu untuk menargetkan
Boediono dan Sri Mulyani namun nyatanya tidak terbukti. "Semua tidak
terbukti tuduhan ke Boediono dan Sri Mulyani," tandasnya.
Anggota
Komisi III DPR ini membantah jika aparat penegak hukum melakukan pilih
kasih penanganan kasus Gayus. Ruhut menegaskan kasus Gayus tengah
berjalan yang memungkinkan pengembangan kasus yang dapat ditangani
aparat penegak hukum lainnya selain Mabes Polri seperti KPK. "Ini kan
belum selesai, masih pengembangan kasus. Kenapa harus kebakaran jenggot
kader Partai Golkar," sindir Ruhut.
Tidak salah jika aparat
penegak hukum bergerak mengusut kasus Gayus H Tambunan dalam perkara
mafia pajak. Namun di saat bersamaan, tiga lembaga penegak hukum juga
jangan abai atas rekomendasi DPR yang mengamanatkan mengusut tuntas
kasus Century.
Karena bagaimanapun, kasus Century diduga merugikan
uang negara yang tidak kecil. Memperjelas status kasus Century sama
saja tidak menyandera pihak-pihak yang disebut dalam rekomendasi DPR
beberapa waktu lalu.
Jangan sampai institusi penegak hukum menjadi
subordinat kepentingan penguasa. Karena bagaimanapun kasus Century
telah menyeret lingkar dalam Istana dalam kasus ini. Dengan gerak cepat
aparat penegak hukum dalam kasus Century sama saja membersihkan wajah
Istana yang telah tercoreng jika pada akhirnya tidak terbukti. [mdr]
Dapatkan berita populer pilihan Anda gratis setiap pagi
disini
atau akses mobile langsung http://m.inilah.com via ponsel dan Blackberry !
Rabu, 24 November 2010
Jaksa Agung Baru Harus Miliki Nyali Tinggi Sikat Mafia Hukum
Indra Subagja - detikNews
Jakarta -
Presiden SBY segera memilih Jaksa Agung definitif. Harapan pun muncul
akan sosok Jaksa Agung. Pastinya siapapun pilihan SBY nanti mesti
memiliki komitmen tinggi untuk memberantas korupsi dan menyikat habis
mafia hukum.
"Kita harapkan Jaksa Agung yang baru di samping
menguasai bidang tugasnya, juga memiliki idealisme dan nyali yang
tinggi," kata anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat di Jakarta, Rabu
(24/11/2010).
Dia menjelaskan idealisme di sini artinya,
bagaimana membuat institusi kejaksaan efektif dan jujur melaksanakan
tugasnya. Untuk itu Jaksa Agung perlu membenahi internalnya, dan mampu
menyuntikkan idealisme atau semangat pengabdian pada anak buahnya.
"Itu yang dirasakan orang mulai tergerus belakangan ini," imbuhnya.
Sedang
nyali yang tinggi maksudnya, memiliki keberanian melindungi jajaran
kejaksaan dalam melaksanakan penuntutan, meskipun terhadap tekanan
kekuasaan dan orang berduit.
"Sekaligus keberanian bertindak
tegas terhadap penyimpangan yang dilakukan anak-anak buahnya, dan
berkomitmen untuk memberantas mafia hukum yang bercokol di
institusinya," imbuh politisi Gerindra ini.
Dia berharap,
presiden membuat dan memberi target yang jelas, apa yang harus dicapai
oleh Jaksa Agung dalam 1 tahun, 2 tahun, atau 3 tahun ke depan.
"Dan
tidak ragu-ragu menggantinya di tengah jalan apabila tidak menunjukkan
prestasi. Saya berharap SBY yang sudah 6 tahun memimpin penegakan hukum
sudah lama memantau calon yang pas untuk itu, oleh karenanya jangan
ragu-ragu lagi memutuskannya dalam minggu ini, sebab rakyat sudah
terlalu lama menanti," tutupnya.
Sebelumnya Menteri Sekretaris
Negara (Mensesneg) Sudi Silalahi menyampaikan bahwa nama Jaksa Agung
baru akan diumumkan minggu ini. Hanya ada 1 nama calon Jaksa Agung.
"Iya,
mudah-mudahan (minggu ini)," kata Sudi usai menghadiri acara peresmian
Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara 2010 di Gedung Manggala Wanabakti,
Kementerian Kehutanan, Jl Gatot Subroto, Jakarta.
(ndr/nvt)
Senin, 15 November 2010
Lagi-lagi Fuad Minta Koruptor Dihukum Mati Minggu, 14 November 2010 , 18:05:00 WIB
Laporan: Wahyu Sabda Kuncahyo
KORUPSI/IST
RMOL. Korupsi
adalah musuh bersama yang dampaknya melebihi kejahatan terorisme. Oleh
karena itu, setiap pelaku korupsi layak diberikan hukuman mati.
Hal
itu disampaikan politisi Hanura Fuad Bawazier pada diskusi "Makelar
Kasus, Mafia Pengadilan dan Politik Hukum Penguasa di kawasan Cikini,
Minggu (14/11).
"Saya setuju banget. Ini (koruspsi) lebih berat
dari teroris. Lebih baik menghukum mati koruptor daripada menghukum mati
teroris," kata mantan Menkeu era Presiden Soeharto.
Hukuman
mati memang harus diberikan kepada koruptor. Karena efek korupsi
menyerang seluruh sendi kehidupan dan membuat rakyat terus-menerus
menderita. [arp]
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kepala Badan
Pertanahan Negara (BPN) Kantor Wilayah Jakarta Barat, Tjahyo Widianto
mengatakan bahwa pengadilan bisa membatalkan sertifikat tanah yang
dikeluarkan BPN.
"Sertifikat bisa dibatalkan atas penilaian
hakim," ujar Tjahyo saat ditemui di kantor pemerintah kota Jakarta
Barat, Rabu (27/10). "Namun, bukan berarti setiap sertifikat tanah rawan
pembatalan."
Tjahyo menuturkan sertifikat adalah bukti
kepemilikan tanah yang kuat, tapi tidak mutlak. Secara normatif diakui
dan harus dipertimbangkan oleh lembaga penegak hukum. Sebelum hakim
menjatuhkan vonis pembatalan sebuah sertifikat, lanjut dia, hakim pasti
akan mempelajari kasusnya dengan teliti.
BPN tidak sembarangan
dalam menerbitkan sertifikat. Saat ada permohonan pembuatan sertifikat,
maka BPN akan menganggap semua dokumen yang dibawa pemohon adalah benar
secara formal.
"Jika persyaratan pembuatan sertifikat dipenuhi,
maka BPN akan menerbitkan sertifikat" tutur Tjahyo " Jika ada masalah
maka pengadilan yang akan menilai."
Sertifikat bisa diuji dengan
tiga aspek yaitu secara yuridis, teknis, dan administratif. Sementara
jika sertifikat dihadapkan dengan keberadaan girik, maka akan timbul
pertanyaan apakah girik tersebut sudah diuji secara yuridis di
pengadilan.
Tjahyo menuturkan girik dibuat oleh kantor pajak
sebelum 1960. Untuk membuktikan keberadaan girik sangat sulit sebab
undang-undang dan aturan yang terkait tidak bisa diberlakukan lagi.
Masalah
sengketa tanah yang terkait dengan sertifikat dan girik dialami Yayasan
Pendidikan Kristen Ketapang tepatnya di Sekolah Kristen Ketapang (SKK)
II di Green Garden, Kedoya, Jakarta Barat.
Pengacara SKK II,
Sheila Salomo mengatakan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) YPKK
bernomor HGB 205/Kedoya Utara berasal dari/pecahan dari HGB 4067/Kedoya
milik PT Taman Kedoya Barat Indah selaku pengembang Green Garden.
Menurutnya,
gambar dari situasi No.72-B-/1998 pada sertifikat HGB No.4067/Kedoya,
tidak terdapat tanah berdasarkan Girik C 530 Persil 58 S.I dan No.
Persil S II.
"Tidak jelas bagian mana dari sertifikat 205/Kedoya
Utara atas nama YPPK yang luasnya 8.195 meter persegi yang menjadi
bagian Girik C530," kata Sheila.
Pihak SKK II merasa bahwa mereka
adalah pemilik sah lahan tempat gedung SKK II berdiri. Namun,
sertifikat hak guna bangunan sekolah itu dibatalkan dan dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum oleh pengadilan sampai ke tingkat Mahkamah
Agung.
Ahli waris H Musa bin Djiung memenangkan kasus tersebut.
Sehingga ratusan siswa SKK II saat ini terancam kehilangan tempat
belajar mereka.
Red:Endro Yuwanto Rep:Maryana
Advokat Harus Paham Kode Etik Hakim
Ditulis oleh Administrator
Jumat, 22 Oktober 2010 02:10
Hukum Online
- Di Amerika Serikat, problem advokat tak memahami kode etik hakim
dapat diminimalisir dengan memasukan pertanyaan-pertanyaan kode etik
hakim ke dalam ujian advokat. Secara teoritis, negara memiliki tiga cabang
kekuasaan yakni legislatif (parlemen), eksekutif (pemerintah), dan
yudikatif (peradilan). Untuk menunjang demokrasi, tiga cabang kekuasaan
ini harus setara dan seimbang sehingga dapat mewujudkan checks and
balances satu sama lain. Pada awal sejarah pemisahan kekuasaan ini,
yudikatif disebut-sebut sebagai lembaga yang paling lemah di antara tiga
cabang kekuasaan itu.Karakteristik
ketiga cabang kekuasaan ini memang berbeda. Eksekutif mempunyai
kekuatan karena memiliki tentara, dan legislatif memiliki ‘uang’ dengan
memainkan peran mengatur anggaran negara. Sedangkan, yudikatif dianggap
kekuasaan terlemah karena hanya bertugas memutus perkara yang diajukan
oleh masyarakat. Hakim
Banding di Pengadilan Federal di Amerika Serikat (AS) John Clifford
Wallace menjelaskan hal ini dalam sebuah diskusi yang digagas oleh
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Wallace memandang
perlunya penguatan lembaga peradilan di setiap negara. “Saya
memandang penting reformasi peradilan agar kekuasaan yudikatif
benar-benar setara dan seimbang dengan dua cabang kekuasaan yang lain.
Peran yudikatif sebagai pengawal rule of law sangat penting. Peran ini
tak akan berjalan bila peradilan dapat diintervensi dan tidak
independen,” jelasnya di Jakarta, Rabu (20/10). Wallace
mengingatkan bahwa kekuatan lembaga peradilan sebenarnya ada pada
masyarakat. Lembaga peradilan, lanjutnya, harus bisa menjawab
permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. “Peradilan harus
direformasi sehingga bisa dekat dengan masyarakat,” ujar pria yang
berprofesi sebagai hakim sejak 40 tahun yang lalu ini. Wallace
mencatat beberapa poin penting dalam reformasi peradilan ini. Pertama,
ia memandang perlu adanya penyesuaian gaji hakim yang bisa menunjang
dirinya dan keluarganya. Hal ini bertujuan agar peradilan tetap
independen dan terhindar dari suap. Ia pernah mengutarakan hal ini
ketika ‘terlibat’ dalam proses reformasi peradilan di Nigeria. “Saya
bilang ke mereka. Hal pertama yang dilakukan adalah menaikkan gaji
hakim sehingga dapat mencukupi kehidupannya beserta keluarga. Ini sangat
penting,” tegasnya. Di Nigeria, lanjutnya, dibentuk sebuah komisi
yudisial yang bertugas mengkaji gaji hakim dan membandingkannya dengan
gaji advokat dan dekan fakultas hukum di universitas negara itu. Kedua,
soal penanganan perkara. Wallace menambahkan perlu ada manajemen
perkara agar hakim bisa memutus perkara yang dapat diterima oleh
masyarakat. Ia mencontohkan ada pembagian perkara, mana perkara yang
bisa diselesaikan di pengadilan dan mana perkara yang bisa diselesaikan
di luar pengadilan lewat proses mediasi. Semakin sedikit perkara yang
ditangani tentu membuat hakim semakin fokus dalam membuat putusan. Sedangkan,
poin ketiga adalah kode etik hakim. Wallace menilai kode etik hakim
harus bisa diakses oleh masyarakat seluas-luasnya. “Apakah
advokat-advokat di Indonesia telah membaca dan memahami kode etik
hakim?” tanyanya. Di Amerika
Serikat, ungkap Wallace, problem advokat tak memahami kode etik hakim
sempat terjadi. Fenomena ini dapat diminimalisir dengan memasukan
pertanyaan-pertanyaan kode etik hakim ke dalam ujian advokat. “Setiap
advokat harus paham dengan kode etik hakim dan masyarakat juga harus
tahu. Sehingga dia paham setiap tindak-tanduk hakim itu bertentangan
dengan kode etik atau tidak,” Wallace menegaskan. Langkah-langkah
ini, lanjut Wallace, bertujuan agar masyarakat semakin dekat dengan
lembaga peradilan. “Kekuasaan yudikatif harus bisa menjawab
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat,” tuturnya. Citra Buruk Lalu
bagaimana dengan lembaga peradilan di Indonesia? Alih-alih memperoleh
simpati masyarakat, citra lembaga peradilan justru semakin terpuruk.
Dalam Rapat Kerja Nasional MA (Rakernas MA) 2010 di Balikpapan minggu
lalu, Ketua MA Harifin A Tumpa mengakui kondisi ini. Harifin
mengatakan lembaga peradilan harus bisa keluar dari stigma buruk
tersebut. “MA harus keluar dari citra buruk, lambat, KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme,-red) dan ujung-ujungnya duit,” ujarnya saat
membuka acara Rakernas MA, pekan lalu. Lebih
lanjut, Harifin mengatakan untuk mewujudkan cita-cita tersebut
dibutuhkan agen-agen perubahan lembaga peradilan di daerah-daerah.
Menurutnya, seluruh ketua pengadilan tinggi dan panitera di Indonesia
yang akan memainkan peran sebagai agen perubahan tersebut. “Para ketua
pengadilan tinggi diharapkan menjadi ujung tombak perubahan ini,”
tuturnya.
Kamis, 21 Oktober 2010
Tutup Peluang Korupsi Lewat Layanan Publik Berkualitas
Makassar, 21 Oktober 2010 –
Kualitas pelayanan publik yang prima akan menutup peluang terjadinya
tindak pidana korupsi dalam bentuk suap maupun imbalan yang diberikan
kepada petugas pelayanan publik kepada masyarakat untuk mempercepat
pelayanan yang diberikan.
”Persoalan mendasar pelayanan publik
adalah terletak pada pola pikir oknum aparatur pemerintah, yakni
paradigma yang berorientasi kekuasaan,” kata Deputi Pencegahan Komisi
Pemberantasan KPK, Eko Soesamto Tjiptadi saat menjadi pembicara kunci
Seminar “Pemberantasan Korupsi Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik” yang diadakan di Hotel Kenari, Makassar, Kamis (21/10).
Menurut
Eko, salah satu persoalan yang sering ditemui dalam pelayanan publik
lainnya adalah belum transparan dan akuntabelnya pelayanan, serta
prosedur yang panjang.”Hal-hal seperti itu, selain “mendidik”
masyarakat untuk melakukan jalan pintas dalam memperoleh pelayanan, juga
menyuburkan praktik-praktik korupsi.”
Dalam seminar ini, KPK
memaparkan temuan yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung beberapa
instansi layanan publik di Makassar, antara lain di Kantor Pertanahan
Kota Makassar, Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, Kantor
Samsat Kota Makassar dan yang lainnya.
Eko menambahkan, KPK terus
berupaya mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik, baik di
tingkat pusat maupun daerah. Melalui pemaparan ini, tambahnya, KPK akan
melanjutkan evaluasi dengan instansi pelayanan publik termasuk melakukan
pengamatan dan peninjauan di unit pelayanan publik Sulawesi Selatan dan
Makassar khususnya. “Kami berharap kegiatan ini bisa memberi kontribusi
besar dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi,” tandasnya.
Seminar
yang dibuka oleh Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo ini juga
dihadiri oleh Kepala Samsat Bandung Timur untuk memberikan contoh yang
bisa menginspirasi layanan publik di Makassar untuk melakukan hal
serupa. Samsat Bandung Timur sudah menerapkan drive thru, CCTV,
access control, antrian micromatic, serta tiga tombol layanan publik
yang mengharuskan masyarakat penerima layanan untuk menekan satu dari
tiga tombol tersebut sebagai ungkapan atau feedback tingkat kepuasan.
Melalui
kegiatan supervisi peningkatan layanan publik yang dilakukan secara
berkesinambungan ini, diharapkan akan menumbuhkan keseriusan dan tekad
kuat dari instansi-instansi pelayanan publik untuk terus meningkatkan
kualitas pelayanannya kepada masyarakat. *****
Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
Johan Budi SP Hubungan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi Jl. HR. Rasuna Said Kav C-1 Jakarta Selatan (021) 2557-8300 www.kpk.go.id | twitter : @KPK_RI
Selasa, 05 Oktober 2010
Kurikulum Antikorupsi Diterapkan di Kampus
Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) akan memberikan pelajaran antikorupsi ke perguruan tinggi.
Wakil
Ketua KPK Haryono Umar mengatakan, KPK sedang menjalin kerja sama
dengan Kemendiknas untuk menerapkan Pendidikan Anti Korupsi (PAK)
diseluruh jenjang pendidikan, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan
tinggi. Kerja sama ini diharapkan dapat dijadikan contoh bagi
kementerian lainnya.
"Kerja
sama ini sekaligus untuk membangun Kemendiknas sebagai percontohan
kementerian yang antikorupsi karena tidak hanya dunia pendidikan, tapi
juga birokrasi di kementerian nya," tegas Haryono seusai bertemu Menteri
Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh di Gedung Kemendiknas,
Jakarta, kemarin.
Sebelumnya
program serupa telah diterapkan menteri pertanian dengan "Zona Bebas
Korupsi"nya. "Sekarang di Kemendiknas, semoga percontohan ini dapat
ditiru oleh kementerian lain," tandasnya. Menurut Haryono, Pendidikan
Anti Korupsi ini sebenarnya telah dibangun cukup lama, bahkan sudah
diuji cobakan pada 50 sekolah di 10 provinsi di Indonesia.
Mendiknas
Mohammad Nuh menjamin pendidikan antikorupsi ini tidak akan menambah
beban bagi anak didik. Program ini tidak akan menjadi mata pelajaran
baru. "Nilai-nilainya saja yang ditanamkan ke dalam semua mata
pelajaran, dan nilai itu juga yang dipraktikkan dalam kegiatan
sehari-hari disekolah," katanya.
Korupsi
merupakan masalah yang mengerikan dan meresahkan karena dapat membuat
negara gagal. Karena itu, pemberantasan korupsi membutuhkan usaha ekstra
dari aspek pencegahan hingga penindakan.
"Studi
World Economic Forum dan Universitas Harvard pada tahun 2002 tentang
negara gagal, dari 59 negara, Indonesia masuk karakteristik negara gagal
karena tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi merajalela,
serta suasana ketidakpastian yang tinggi," kata Ketua Dewan Perwakilan
Daerah Irman Gusman, Kamis (30/9) di Palembang, Sumatera Selatan.
Irman
menyampaikan hal itu dalam seminar Pemberantasan Korupsi Melalui
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Pembicara lain dalam seminar itu
adalah Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, Wakil Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi M Jasin, dan Wakil Ketua Komisi Ombudsman Masdar F
Mas'udi.
Irman menuturkan,
ilmuwan Noam Chomsky pernah menjelaskan beberapa karakter negara gagal,
yakni tidak mampu melindungi warganya dari tindak kekerasan, tidak
terjaminnya hak warga negara, lemahnya institusi demokrasi dan lembaga
penegak hukum, serta maraknya penyalahgunaan kekuasaan.
Saat
ditanya apakah ancaman negara gagal akibat korupsi masih terjadi di
Indonesia, Irman menjawab, "Indeks persepsi korupsi tahun 2009 menurut
Transparency International, Indonesia di peringkat ke-111 dari 180
negara. Posisi itu sama dengan negara-negara seperti Aljazair, Togo,
Solomon, dan Mali." Pencegahan dan penindakan, kata M Jasin, harus
dilakukan bersama-sama dalam pemberantasan korupsi. Tingkat korupsi
menurun tajam di negara-negara yang memperbaiki sistem dengan reformasi
birokrasi.
Sumber : Kompas
Kamis, 23 September 2010
Hakim dan Panitera Dilaporkan ke KY, MA, dan KPK
Ditulis oleh Administrator
Rabu, 22 September 2010 01:58
JAKARTA (Suara Karya):
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara pimpinan Purwanto,
seorang panitera, dan panitera kepala pengadilan setempat akan diadukan
ke Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemberantasan
Korupsi serta Mabes Polri oleh Kustiadi Wirawardhana dengan penasihat
hukumnya Petrus Selestinus dan C Suhadi terkait hilangnya alat bukti
kasus penggunaan akta nikah palsu.
Petrus Selestinus mengutarakan hal itu
kepada wartawan di PN Jakarta Utara, Selasa, seusai menemui Ketua
Majelis Hakim Purwanto, Selasa. "Pak Purwanto tidak bisa menjelaskan
keberadaan alat bukti itu kepada kami. Padahal, jaksa menyusun surat
dakwaan maupun tuntutannya berdasarkan alat bukti yang sangat menentukan
pembuktian itu," kata Petrus yang didampingi C Suhadi.
Akibat raibnya alat bukti itu, kata Petrus, terdakwa pengguna akta
palsu Maria Magdalena Andrianti Hartono yang sebelumnya dinyatakan
terbukti bersalah oleh majelis hakim PN Jakarta Utara menjadi
dibebaskan dari segala dakwaan maupun tuntutan hukum oleh majelis hakim
Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
"Hakim PT DKI Jakarta menjadi tidak punya dasar untuk menghukum
terdakwa karena alat bukti "kunci" akan adanya kejahatan yang melanggar
Pasal 266 KUHP tak ada lagi dalam berkas perkara," papar Petrus.
Purwanto membantah kalau pihaknya dituding telah menghilangkan alat
bukti perkara yang ditanganinya beberapa bulan silam. "Alat bukti yang
disebutkan hilang itu ada kok, tetapi bukan pada kami atau di
pengadilan, melainkan ada pada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Endang
Rahmawati. Mungkin saat ini disimpan di Kejaksaan Negeri (Kejari)
Jakarta Utara," jelas Purwanto.
Mengenai akan dilaporkan pihaknya ke KY, MA, KPK dan Mabes Polri,
Purwanto mempersilakannya. "Itu hak mereka," tutur Purwanto.
Lebih lanjut Petrus dan C Suhadi menjelaskan bahwa alat bukti yang
diduga raib tersebut menguatkan kepalsuan akta nikah yang dibuat Kantor
Catatan Sipil Duisburg, Jerman. Dalam akta palsu itu dikesankan
Denianto Wirawardhana menikah dengan Maria Magdalena Andrianti Hartono.
Padahal, berdasarkan keterangan Mittmann (petugas Catatan Sipil
Duisburg) kepada petugas Kepolisian RI, AKBP Hilman, Denianto
Wirawardhana dengan Maria Magdalena Andrianti Hartono tidak pernah
dinikahkan di Jerman.
Disebutkan dalam akta nikah dengan Nomor 32 Tahun 1987 tersebut
pasangan yang menikah adalah Dieter Becker dan Gisella Zagar.
"Yang sangat kami sayangkan, dalam putusan PN Jakarta Utara tidak
dijadikan pula bahwan pertimbangan atau disebutkan alat bukti yang
hilang tersebut. Hakim menghukum terdakwa hanya berdasarkan fakta-fakta
yang terungkap selama persidangan," kata Petrus.
Oleh sebab itu, Petrus dan C Suhadi berkeinginan keras menyertakan
alat bukti penting tersebut dalam kasasinya guna menggugurkan vonis
bebas PT DKI Jakarta. (Wilmar P)
Posted in Berita Utama by Redaksi on September 17th, 2010
JAKARTA,16/9 – LILIN KEBEBASAN BERAGAMA. Warga yang tergabung dalam
Forum Solidaritas Kebebasan Beragama menggelar aksi seribu lilin
keprihatinan di Bundaran HI, Jakarta, Kamis (16/9). Aksi itu mengecam
tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama dan menuntut Presiden
mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang dinilai belum
menjamin kebebasan beragama. FOTO ANTARA/Fanny Octavianus/ama/10.
* Jika Presiden SBY Tak Selesaikan Masalah HKBP Dalam Satu Bulan
* Satgas HKBP Diusulkan Dibentuk Tangani Persoalan dan Gangguan
Sipoholon (SIB)
Sejumlah sinodestan pada Sinode Godang Amandemen AP HKBP 2002 pada
sidang ke-6, Kamis (16/9) di Auditorium HKBP Seminarium Sipoholon
mengusulkan dilakukan gerakan untuk mendesak pemerintah Indonesia
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi HKBP terutama penghambatan
pembangunan Gereja HKBP dI sejumlah tempat yang dilakukan pemerintah
sendiri dan kelompok masyarakat.
Pdt Adian Pasaribu menegaskan, apabila Presiden SBY tidak berhasil
menyelesaikan masalah pelarangan pembangunan Gereja HKBP Pondok Timur
Indah (PTI) Bekasi dan penusukan serta pemukulan yang dilakukan
segerombolan orang kepada pengurus Gereja HKBP PTI Bekasi Asian
Sihombing dan Pdt Luspida Simanjuntak, maka pimpinan dan seluruh pendeta
serta bila perlu warga jemaat berdemontrasi ke Istana Negara.
Usulan yang sama disampaikan Pdt Juaris Pardede STh, St P Lumbantobing,
St B Lumban Gaol, Pdt David Simatupang STh, Pdt Pantun Silitonga STh
dalam sidang sinode tersebut.
Pendapat yang mengemuka dari para sinodestan tersebut menyatakan masalah
yang menimpa HKBP sungguh di luar kepatutan. Untuk itu dihimbau kepada
seluruh jemaat HKBP terutama para pendeta untuk memiliki rasa satu
penderitaan dan punya komitmen yang sama memperjuangkan hak-hak HKBP di
Indonesia.
Pimpinan HKBP terutama Ephorus didesak untuk segera melakukan audensi
dengan Presiden SBY untuk menunjukkan bahwa HKBP ada dengan jumlah
warganya cukup banyak dan punya pimpinan.
Pdt Pantun Silitonga mengusulkan HKBP perlu membentuk tim yang langsung
dipimpin Ephorus HKBP dalam penyelesaian pemasalahan yang dihadapi HKBP
saat ini dengan menjumpai langsung Presiden SBY.
Menurutnya, melalui upaya bertemu Presiden SBY nantinya akan diketahui
bagaimana sikap Presiden SBY yang sebenarnya terhadap HKBP. “Pimpinan
HKBP untuk bertemu Presiden mungkin sulit, tapi harus diusahakan,”
sebutnya.
Sinodestan juga mengusulkan agar dalam gerakannya berupa demonstrasi
yang akan dilakukan, HKBP tidak boleh melakukan kekerasan dan menjauhkan
hal yang berhubungan dengan emosi.
Dalam gerakannya tersebut, HKBP juga dipandang perlu mengajak
gereja-geraja lain memperjuangkan kebebasan beribadah dan kemerdekaan
mendirikan rumah ibadah di seluruh bumi Indonesia.
Dengan suara keras, Pdt Pantun Silitonga STh dan Pdt David Simatupang
STh mengatakan, supaya HKBP berdiri teguh dengan jemaatnya yang
berjumlah jutaan orang tersebar di seluruh Nusantara. “Hendaknya
pimpinan HKBP secepatnya melakukan pertemuan dengan Presiden SBY,” sebut
Pdt David Simatupang.
Dia juga mengusulkan, agar salah satu pimpinan HKBP (Ephorus, Sekjen,
Kadep Diakonia, Kadep Marturia dan Kadep Koinonia) berkantor di Jakarta
agar pemerintah RI lebih mengenal dan semakin memperhitungkan HKBP.
Dengan salah satu pimpinannya berkantor di Jakarta katanya, maka HKBP
mendapat undangan menghadiri acara nasional. Termasuk lebih mudah
melakukan hubungan kerjasama dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), PBNU,
Muhammadiyah dan organisasi keagamaan lainnya.
Sementara itu, Pdt Rustam Marbun mengusulkan HKBP membentuk suatu satuan
tugas (Satgas) atau badan atau berupa forum seperti yang dimiliki
sejumlah organisasi keagamaan lainnya.
Organisasi ini nantinya berfungsi sebagai lembaga yang akan menangani persoalan dan gangguan yang dihadapi HKBP.
Selain itu, juga diusulkan dibentuk semacam Krisis Center untuk membantu
mengatasi masalah-masalah yang muncul pada HKBP bahkan gereja-gereja
lain yang tergabung dalam PGI.
Hingga berita ini dikirimkan ke redaksi, sinode HKBP masih berlangsung
dan para sinodestan masih menyampaikan berbagai permasalahan yang
dialami HKBP di berbagai distrik dan resort.
Alihkan Materi Rapat ke Penghempangan Pembangunan Gereja
Hari ketiga Sinode Godang Amandemen Aturan Peraturan (AP) HKBP, Kamis
(16/9) sekira pukul 15.00 WIB yang memasuki sidang ke-6 dengan agenda
pembahasan amandemen Pasal 11 AP 2002 tentang tugas Ephorus dan syarat
menjadi Ephorus dihentikan pembahasannya.
Peserta sinode menyepakati menunda pembahasan pasal tersebut dan
sejumlah pasal lainnya meliputi lima (5) poin yang telah masuk dalam
konsep amandemen untuk dilanjutkan pada Sinode Godang HKBP yang akan
dilakukan tahun 2012 mendatang.
Sinode HKBP memandang lebih penting membicarakan persoalan yang dihadapi
HKBP akhir-akhir ini menyangkut pelarangan dan penghempangan
pembangunan Gereja HKBP di sejumlah daerah dan kota di Indonesia baik
oleh pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu.
Salah satu yang paling mengemuka saat ini yaitu pelarangan dan
penyerangan terhadap jemaat HKBP Pondok Timur Indah (PTI) Bekasi dalam
beribadah dan mendirikan gereja. Disusul penusukan dan pemukulan yang
dilakukan segerombolan orang terhadap pengurus Gereja HKBP PTI Bekasi
Asia Sihombing dan Pdt Luspida Simanjuntak, Minggu (12/9) lalu.
Ephorus HKBP Pdt DR Bonar Napitupulu dalam paparannya menyampaikan ada
sebanyak 19 Gereja HKBP yang mengalami penghalangan membangun Gereja
antara lain HKBP Pondok Timur Indah (PTI) Bekasi, HKBP Filadelfia, HKBP
Getsemane, HKBP Gunung Putri, HKBP Parung Panjang, HKBP Simpang Muriani,
HKBP Karawang, HKBP Sibuhuan, HKBP Lau Dendang, HKBP Pangkalan Jati
Gandul, HKBP Gunung Putri, HKBP Pondok Gede, HKBP Binjai Baru, HKBP
Padang Lawas, HKBP Tembilahan dan HKBP Binanga.
Dengan kesepakatan pengalihan materi pembahasan Sinode Godang Amandemen
AP HKBP 2002 kepada hal-hal yang dialami HKBP, maka hingga sidang ke-5
yang dipimpin Pdt Marudur Tampubolon (Praeses Kepulauan Riau), Pdt
Hotman Panjaitan (Pendeta Resort Medan Sunggal) dan St Drs AG Sinambela
(utusan MPS) baru menghasilkan keputusan menyangkut 4 poin dari 9 poin
yang diajukan dalam konsep amandemen.
Sekjen HKBP Pdt Ramlan Hutahaen MTh selaku Ketua Tim Amandemen yang
diwawancarai SIB di Auditorium HKBP Komplek Seminarium Sipoholon di
sela-sela berlangsungnya sidang menyebutkan empat (4) poin dalam AP yang
telah berhasil diamandemen adalah pertama: tentang seksi sekolah
minggu, kedua: pembentukan seksi Lansia, ketiga: amandemen tentang
pembentukan Resort Khusus dan keempat: syarat pembentukan distrik
ditinjau dari jumlah resort.
Sementara lima poin lainnya yang belum sempat dibahas dalam Sinode
Godang Amandemen tersebut, menurut Ketua Tim Amandemen Pdt Ramlan
Hutahaean MTh akan dibahas dalam Sinode Godang HKBP tahun 2012 yang juga
merupakan Sinode pemilihan pimpinan HKBP terdiri dari Ephorus, Sekjen,
Kadep Diakonia, Kadep Marturia, Kadep Koinonia dan 26 Praeses HKBP.
Adapun sejumlah poin yang belum sempat dibahas dalam sidang Sinode yang
dilangsungkan kemarin antara lain Pasal 11 AP HKBP 2002 menyangkut tugas
dan persyaratan menjadi Ephorus.
Pasal 12 tentang persyaratan menjadi Sekjen, Pasal 13, 14 dan 15 tentang
syarat dan pemilihan Kepala Departemen Koinonia, Marturia dan Diakonia
yang didalamnya juga menyangkut masa kerja para pimpinan HKBP tersebut.
Perlu ditambahkan, bahwa pada sidang sebelumnya menyangkut pembahasan
poin syarat menjadi Praeses HKBP belum mendapat keputusan yang pasti,
sebab peserta sinode tidak menyetujui konsep amandemen yang diajukan Tim
Amandemen. Namun pimpinan sidang juga tidak mengakomodir usulan peserta
sidang dan sama sekali juga tidak menetapkan keputusan apakah tetap
memberlakukan AP 2002. (PR3/x)
Minggu, 12 September 2010
Penusukan Pemuka Gereja HKBP Masuk New York Times
Tribunnews.com - Senin, 13 September 2010 07:47 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -
Kasus penusukan terhadap Asian Lumbantoruan Sihombing, pemuka agama di
Gereja HKBP Pondok Timur Indah, Bekasi, Jawa Barat, menjadi laporan di
New York Times, Senin (12/9/2010).
New York Times menyebutkan,
penyerang tak dikenal melakukan penusukan terhadap seorang pemuka agama
dan memukul seorang Pendeta di bagian kepala saat keduanya berangkat ke
gereja untuk menunaikan ibadah. Serangan itu mengancam nyawa pemuka
agama tersebut.
Tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas
serangan itu. Tapi dicurigai penyerangan itu dilakukan oleh sekelompok
orang yang telah berulang kali memperingatkan anggota Gereja HKBP Pondok
Timur Indah untuk menutup tempat ibadah di lokasi tersebut.
Dalam
beberapa bulan terakhir, anggota jemaat gereja itu telah mendapat
beberapa kali gangguan dari pihak yang menginginkan jemaat gereja tidak
melakukan ibadah di tempat tersebut.
"Gangguan terhadap jemaat
gereja itu juga dilakukan dengan meletakkan sejumlah kotoran hewan di
sekitar lokasi pelaksanaan ibadah," lapor New York Times.
Disebutkan,
Penatua Sihombing sedang dalam perjalanan ke lapangan ketika penyerang
melompat dari sepeda motor dan menusuknya di perut. Sementara, Pendeta
Wahyu Lusfida Simanjuntak dipukul di bagian kepala saat mencoba datang
membantunya.
New York Times juga melaporkan, Indonesia adalah
sebuah negara sekuler yang memiliki umat muslim terbanyak di dunia.
Walaupun memiliki sejarah panjang toleransi beragama, sebuah kelompok
ekstremis kecil menjadi lebih vokal dalam beberapa tahun terakhir.(nytimes.com)
Editor : Juang_Naibaho
Selasa, 07 September 2010
Opini
Inilah Kritik kepada Presiden Itu...
Senin, 6 September 2010 | 18:38 WIB
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato mengenai
hubungan RI-Malaysia usai berbuka puasa bersama prajurit dan perwira TNI
di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (1/9/2010) petang.
Catatan Redaksi:
Tulisan yang dimuat di halaman Opini Harian Kompas ini menjadi perbincangan ramai di Twitter dan media lain. Karena itu, Redaksi Kompas.com mengangkat kembali tulisan ini.
Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan Oleh: Adjie Suradji
Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.
Untuk
menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin
sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat
keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan
berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi
risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan
ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil
risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau
pencitraan lain.
Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan
tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno
membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus
Dur, dan Megawati.
Soekarno barangkali telah dilupakan orang,
tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak
Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie
dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya.
Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari
lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang
lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang
membuat mereka lengser secara tidak elegan.
Sayang, hingga
presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu
perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan
abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik,
isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa
diimplementasikan secara proporsional.
Artinya, apabila
pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia
pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa
(Ferdinand I, 1503-1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK,
Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun
hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala
perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat
berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.
Quid leges sine moribus
(Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum
dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah,
berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?
Keberanian
Meminjam
teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan
seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership).
Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa
keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa
keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen
visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang
diperjuangkan.
Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara
keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih
mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri
pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek
keselamatan diri pemimpin itu sendiri.
Korelasinya dengan
keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen
rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin
yang dulu pernah memimpinnya.
Memang, secara alamiah, individu
atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah
ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun,
dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah
SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari
korupsi?
Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada
komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004)
hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima
risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai
pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian
teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau
justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?
Indonesia
perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar
harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin
tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan
adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan
bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan
signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang
berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil
keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah
Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez
(Venezuela).
Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu,
semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang
kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan
pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga
komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo,
Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri,
berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali
lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa
membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.
Adjie Suradji, Anggota TNI AU
Sabtu, 04 September 2010
Penegakan Hukum tidak Boleh Pilih Kasih
Sabtu, 4 September 2010 19:19 WIB
KITA hargai langkah Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mendukung upaya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) untuk melanjutkan pengungkapan kasus suap dalam pemilihan
Deputi Senior Bank Indonesia. Meski setengah dari 26 anggota DPR
periode 1999-2004 yang terlibat kasus suap adalah anggota PDIP, namun
mereka datang menemui pimpinan KPK bukan untuk meminta agar
rekan-rekannya dibebaskan dari proses hukum.
Kita tidak boleh
sedikit pun surut dalam upaya pemberantasan korupsi. Semua pihak tanpa
kecuali harus mendukung agar KPK menjadi institusi yang lepas dari
intervensi politik mana pun, agar mereka bisa menjadi lembaga yang
benar-benar bisa kita andalkan untuk membersihkan praktik korupsi.
Penegakan
hukum tidak boleh pilih kasih. Apabila kita ingin menjadikan hukum
sebagai pilar utama demokrasi, maka ia harus berjalan lurus dan tidak
boleh goyah oleh kepentingan.
Memang pahit rasanya ketika hukum
mengena pada orang yang kita kenal. Namun seperti halnya simbol hukum,
dewi keadilan matanya haruslah tertutup. Ia tidak boleh bias hanya
karena hubungan pribadi. Meski ia adalah orang terdekat kita sekali pun,
ketika orang itu melakukan pelanggaran hukum, maka ia harus
memertanggungjawabkan perbuatannya.
Hanya saja proses pembuktian
hukum haruslah berjalan adil. Mereka yang dipersangkakan melakukan
korupsi harus juga kita berikan kesempatan untuk membela diri. Kita
tidak boleh sampai menghukum orang yang tidak bersalah.
Seperti
harapan Fraksi PDIP, pengungkapan kasus suap jangan hanya mengena kepada
yang mereka yang menerima suap. Mereka yang memberikan suap harus
dimintai pertanggungjawaban. Sebab, suap tidak mungkin dilakukan
sendiri. It's take two to tango, harus ada dua pihak dalam proses suap
menyuap.
Sejauh ini KPK belum bertindak tegas kepada para
penyuap. Meski dalam persidangan sebelumnya yang menjadikan empat
anggota DPR sebagai tersangka, terungkap nama-nama penyuap seperti Nunun
Nurbaeti, namun KPK belum menindaklanjuti. Dengan alasan mengalami
sakit ingatan, KPK menerima saja pengakuan itu dan tidak mencoba mencari
opini kedua dari dokter lain.
Inilah yang selama ini dianggap
sebagai tebang pilih. Pemberantasan korupsi seringkali tidak berlaku
sama kepada setiap orang. Hanya karena memunyai akses terhadap
kekuasaan, seringkali ada orang yang mendapat keistimewaan.
Keistimewaan
bisa dalam bentuk terlepas dari proses hukum, tetapi bisa juga bebas
dalam menjalani hukuman. Banyak orang yang sudah divonis bersalah oleh
Mahkamah Agung, namun tidak pernah menjalaninya karena terlebih dulu
bisa kabur ke luar negeri.
Begitu banyak kasus yang seperti itu.
Mulai dari Edy Tansil hingga yang terakhir Joko Tjandra. Ironisnya,
mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin yang divonis dalam kasus
yang sama, harus mendekam tiga tahun di dalam penjara, sementara Joko
Tjandra bisa hidup bebas di Singapura.
Para penegak hukum pun
tidak berupaya untuk mencari tahu di mana keberadaan sang terpidana.
Sepanjang media massa tidak pernah mengangkatnya sebagai berita, seakan
sah saja aparat hukum untuk tidak mengejar buronan itu.
Bahkan
kuat dugaan, buronan kakap seperti itu dibiarkan bebas berkeliaran,
karena bisa dijadikan kesempatan untuk memeras. Para penegak hukum bisa
datang setiap saat ke tempat sang buronan, namun bukan untuk menangkap
tetapi meminta sangu.
Kehadiran anggota fraksi PDIP sepantasnya
membuat KPK untuk bersikap adil dan tidak tebang pilih. Kalau bukti
hukum kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI memang sangat
kuat, maka semua pihak yang terlibat dalam kasus suap harus
diperlakukan sama, tidak boleh pilih kasih.
Melihat nama-nama
orang yang terlibat dalam kasus suap, pengungkapan kasus terakhir ini
bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada KPK. Namun kuncinya,
KPK bukan hanya harus tegas, tetapi juga harus bersikap adil.
Sejauh
ini KPK memang sudah berhasil membawa empat anggota DPR mendekam dalam
penjara dalam kasus yang sama. Meski diyakini bahwa ada korupsi yang
dilakukan beramai-ramai, baru kali ini 26 anggota DPR lainnya dijadikan
tersangka. Tetapi masih ada penyuapnya yang belum juga tersentuh oleh
KPK.
Kita tidak boleh membiarkan kasus ini menguap begitu saja.
Kita harus terus mengingatkan dan mendesak KPK untuk memproses kasus itu
hingga tuntas. Kita tidak boleh bosan mengingatkan karena tanpa ada
tekanan dari masyarakat, aparat kita cenderung cepat berpuas diri dan
melupakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Sabtu, 28 Agustus 2010
Hakim Mahkamah Konstitusi Harus Diawasi
Ditulis oleh Administrator
Jumat, 27 Agustus 2010 03:20
JAKARTA (SINDO)
– Pakar hukum tata negara Universitas Khairun Ternate,Margarito Kamis,
sepakat jika ada pengawasan terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini karena putusan-putusan MK,menurut
Margarito, tidak konsisten. ”Untuk kasus Pilkada Kotawaringin Barat,MK
dapat mendiskualifikasi calon, Surabaya diputuskan penghitungan ulang
dan pemungutan ulang. Sementara daerah lain yang sama kasusnya tidak
diputus serupa,” kata Margarito saat dihubungi kemarin. Menurut dia,
ketidakkonsistenan hakim MK akan memunculkan pandangan miring
masyarakat. Salah satu kekecewaan terkait putusan MK,massa dan lembaga
swadaya masyarakat dari Seram Bagian Timur melaporkan semua hakim MK ke
Mabes Polri. ”Hari ini (kemarin) rencananya semua hakim MK dan tiga
panitera dilaporkan ke Mabes Polri oleh beberapa LSM dan masyarakat,”
jelasnya. Dengan kenyataan
tersebut, lanjut Margarito, layak kiranya ada tim independen untuk
mengawasi MK seperti usulan Ketua MK Mahfud MD. Pengawasan tersebut
dinilai akan memaksimalkan MK dalam memutuskan perkara. Sebelumnya,
Mahfud MD mengemukakan perlunya pengawasan atas hakim MK.Pernyataan
tersebut diungkapkan Mahfud untuk kesekian kalinya. Terakhir, Mahfud
mengatakannya saat silaturahmi Ramadan antara MK dengan media massa di
Gedung MK (19/8). Menurut Mahfud,perihal perlunya pengawasan kepada
hakim MK itu merupakan pendapat pribadi, sebab dia mengakui hakim MK
sangat rawan terhadap penyimpangan. Khususnya jika idealisme hakim MK
dipertanyakan. ”Saat ini tidak
ada hakim yang terlibat penyuapan, tapi saya khawatir di masa yang
akan datang (hal itu terjadi),” ujarnya. Dia mencontohkan, pernah
tiba-tiba ada seorang wanita yang mengaku utusan Ibu Negara Ani
Yudhoyono minta bertemu dengannya. Kemudian,ketika wanita tersebut
bertemu Mahfud,yang dibicarakan justru masalah perkara. ”Ternyata tidak
ada hubungannya dengan Bu Ani,maka langsung saya minta ibu itu keluar
(keluar dari ruangannya),”katanya. Menteri Pertahanan di masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid itu juga mengatakan,penyelesaian
sengketa pilkada di MK juga memunculkan kerawanan.Sebab, seorang calon
tidak akan segan-segan berusaha memberikan uang dalam jumlah besar
kepada hakim MK. ”Betapa MK
rentan soal penyuapan,maka pengawasan jadi hal penting. Itu pendapat
pribadi Mahfud yang kebetulan Ketua MK,”jelasnya. Kepada media, Mahfud
juga sempat mengungkapkan dirinya sepakat apabila hakim MK diawasi oleh
lembaga eksternal. Hal itu diungkapkan Mahfud pada 11 Desember 2008.
Guru besar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra mengaku
sepakat jika hakim MK diawasi, sebab tidak mungkin kekuasaan tanpa
pengawasan.Maka, ketika KY tidak mampu mengawasi MK,hal itu dapat
disiasati melalui revisi UU KY.Dalam draf revisi UU KY, salah satu yang
menjadi poin penting adalah adanya majelis kehormatan hakim untuk
hakim MK. ”Komposisinya
(majelis kehormatan) ada hakim konstitusi, kelompok masyarakat,dan
kelompok lain.Saya termasuk salah satu yang mendorong itu,”jelasnya.
Sementara itu,sembilan hakim MK dilaporkan ke Mabes Polri oleh pasangan
calon Bupati Mukti Keliobas dan Wakil Bupati Yusuf Rumatoras dari
daerah Seram Timur, Maluku,kemarin. Kedua pasangan tersebut melalui
kuasa hukumnya Daniel Nirahua mengatakan, Mahfud MD dan yang lainnya
dianggap telah menyalahgunakan jabatannya dalam menangani kasus pilkada
di Seram Timur, Maluku. ”Mereka
tidak memperhatikan fakta-fakta persidangan, padahal keterangan saksi
dan bukti-bukti yang diajukan pemohon sangat jelas,” ujarnya di Mabes
Polri kemarin. (kholil/sucipto)
JAKARTA
(Suara Karya): Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara (Sulut) dituding
melakukan pembangkangan terhadap perintah pengadilan karena tidak
melaksanakan putusan praperadilan atas nama Elly Lasut, Bupati Talaud
nonaktif.
Kuasa hukum Elly Lasut, OC Kaligis di Jakarta, Sabtu, mengatakan,
Pengadilan Negeri Manado pada 13 Agustus 2010 telah mengabulkan
permohonan praperadilan Elly Lasut.
Dalam putusan praperadilan tersebut, hakim menyatakan bahwa penahanan
Elly Lasut oleh penuntut umum pada Kejaksaan Tinggi Sulut tidak sah.
Oleh karena itu hakim memerintahkan termohon praperadilan untuk segera
membebaskan Elly Lasut dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Manado sesaat
setelah putusan tersebut diucapkan.
"Faktanya Kejati Sulut tidak melaksanakan putusan praperadilan
tersebut. Bahkan Kejati Sulut kembali melakukan upaya akal-akalan untuk
menghindari pelaksanaan putusan praperadilan dengan cara mengajukan
kasasi," kata Kaligis.
Kaligis mengatakan, sesuai ketentuan Undang-Undang No 5 tahun 2004
tentang Perubahan pertama Undang-Undang No 14 tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung No 7 tahun 2005, kasasi
atas putusan praperadilan tidak dapat diterima.
Dia juga mengatakan bahwa pada sidang praperadilan 9 Agustus 2010 pihak
Kejati Sulut selaku termohon telah menghadiri persidangan.
Artinya, dengan demikian Kejati Sulut mengetahui mengenai permohonan
praperadilan tersebut. Namun pada 10 Agustus, pada acara jawaban dari
termohon, Kejati Sulut melimpahkan berkas perkara ke pengadilan pada
pukul 13.00 Wita.
"Pelimpahan berkas perkara itu dilakukan Kejati Sulut untuk menghindari
pelaksanaan putusan praperadilan dan melemparkan tanggung jawab ke PN
Manado,"kata Kaligis.
Dia mengatakan, sebenarnya sejak 20 Juli 2010 Elly Lasut tidak boleh
ditahan oleh kejaksaan. Hal ini sesuai dengan surat Jampidsus kepada
seluruh kepala kejaksaan tinggi No.B-217/F/Fd.1/02/2009 tertanggal 2
Februari dan surat pada Mei 2010 yang intinya menyatakan penanganan
perkara pidana korupsi saat pemilu ditengarai ada pihak-pihak tertentu
yang menggunakan isu tindak pidana korupsi untuk merusak pencitraan,
bahkan menggagalkan pencalonan pihak tertentu.
Kaligis mengatakan, dengan putusan praperadilan tersebut PN Manado
harus membuat penetapan untuk mengembalikan berkas perkara yang dikirim
oleh jaksa penuntut umum yang tidak sah agar diselesaikan secara benar,
dengan membuat surat perintah penunjukan penuntut umum (P-16 a) kemudian
diproses secara benar untuk dilimpahkan ke PN Manado.
"Setelah itu perkara atas nama Elly Lasut dapat dilaksanakan.Kalau
perkara dipaksakan untuk disidang, maka semua proses dalam persidangan
tidak sah, termasuk hakim, jaksa dan semua acara persidangan,"kata
Kaligis. (Lerman Sipayung)
Minggu, 22 Agustus 2010
Transparansi dan Akuntabilitas, Persoalan Mendasar Pelayanan Publik
Jakarta, 19 Agustus 2010. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menyelenggarakan rapat evaluasi supervisi peningkatan pelayanan publik
untuk mendorong agar secepatnya ada perbaikan signifikan di sektor
layanan publik. KPK kerap menemukan persoalan mendasar dalam pelayanan
publik, yaitu belum transparan dan akuntabelnya pelayanan serta prosedur
yang panjang. Demikian disampaikan Wakil Ketua KPK, Mochammad Jasin
dalam rapat evaluasi supervisi di Balai Agung, Kantor Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, Jl. Medan Merdeka Selatan No. 8 – 9 Jakarta Pusat,
hari ini (19/8).
Berdasarkan
pantauan KPK terhadap unit-unit pelayanan publik di lingkungan DKI
Jakarta, baik instansi vertikal maupun horizontal, masih ditemukan
sejumlah kekurangan yang harus diperbaiki. Misalnya, pengenaan biaya
tambahan yang tidak jelas, petugas yang mempersulit penyelesaian dan
bahkan mengarahkan untuk menggunakan jasa calo, perlakuan diskriminatif
terhadap pengguna layanan yang mengurus sendiri dibandingkan yang
menggunakan calo, masih ditemukan pembayaran tidak di kasir, bahkan
secara sembunyi-sembunyi di tempat-tempat tertentu, dan masih ada
pelayanan jalan pintas dengan biaya lebih yang diberikan kepada petugas.
“Masyarakat juga perlu 'dididik' untuk tidak melakukan jalan pintas
dalam memperoleh pelayanan, sebab dapat menyuburkan praktik-praktik
korupsi”, tambah Jasin.
Di
sisi lain, KPK juga memberikan apresiasi kepada 5 pemerintah kota di
DKI Jakarta terhadap sejumlah perbaikan yang dilakukan. Beberapa unit
layanan di 5 pemkot tersebut telah menerima sertifikasi ISO serta
memperoleh penghargaan nasional dan internasional. Perbaikan lainnya,
sebagai contoh, di Jakarta Timur, dalam pengurusan KIR, Dinas
Perhubungan Provinsi DKI mewajibkan setiap penguji KIR untuk langsung
datang ke loket-loket dan tidak berhubungan dengan perantara. Informasi
ini diumumkan setiap 10 menit melalui pengeras suara. Selain itu, juga
dibuat papan informasi mengenai prosedur pengujian, biaya uji, hingga
larangan berhubungan dengan perantara dalam mengurus perpanjangan uji
KIR. Di BPN Jakarta Barat dipasang papan pengumuman yang berisi larangan
memberi/menerima imbalan, dan penerapan sanksi yang tegas kepada
petugas yang menerima imbalan. Di Jakarta Pusat, perbaikan layanan
publik di antaranya dilakukan dengan penambahan unit pelayanan prima
terpadu, pengembangan jaringan informasi dan komunikasi serta perubahan
layanan manual ke elektronik. Di Jakarta Utara sendiri terdapat 6 unit
layanan publik yang telah menerima sertifikasi ISO. Sedangkan di Jakarta
Selatan, upaya pencegahan korupsi dilakukan dengan mencanangkan
penandatanganan Kontrak Indikator Kinerja Utama (Key Performance
Indicator).
Dalam
rapat tersebut, KPK kembali mengharapkan komitmen tinggi
instansi-instansi layanan publik untuk secara konsisten melaksanakan
rencana tindak yang telah dibuat. Rapat evaluasi ini merupakan tindak
lanjut dari kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap layanan publik di
DKI Jakarta, sebagai bagian program supervisi KPK di sektor pencegahan
korupsi, yang didasarkan pada hasil survei integritas KPK 2008.
Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Johan Budi SP
Selasa, 17 Agustus 2010
SKB Tiga Menteri Ancam Pluralisme Tanah Air
Minggu, 15 Agustus 2010 17:04 WIB
Penulis : Amahl Sharif Azwar
Siti Musdah Mulia---MI/Usman Iskandar/ip
JAKARTA--MI:
Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah
Mulia mengemukakan desain Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri
tentang pendirian rumah ibadah telah melanggar konstitusi negara.
Menurutnya, pendirian rumah ibadah dan pelaksanaan ibadah itu
sendiri sudah berbeda. Misalnya, umat Islam dimana-mana saja bisa
beribadah tanpa di rumah ibadah tertentu.
"Lantas kenapa umat lain ini tidak boleh? Jadi, prinsip saya dari
awal adalah keberadaan SKB 3 Menteri itu sangat bermasalah dan menganggu
teman-teman minoritas," ungkap Siti yang ketika dihubungi sedang berada
di depan Monumen Nasional (Monas) acara ibadah bersama Forum
Solidaritas Kebebasan Beragama, Minggu (15/8).
Siti menilai ada beberapa kritik yang dapat dilancarkan terhadap SKB
Tiga Menteri. Pertama, SKB Tiga Menteri dinilai tidak masuk akal karena
untuk mendirikan sebuah rumah ibadah perlu ada izin dari forum SKUB.
"Siapa mereka?" ujar Siti kepada Media Indonesia.
Kedua, kelompok-kelompok perwakilan yang ada di forum itu hanya
berasal dari enam agama resmi yang diakui pemerintah. Hal itu merugikan
kelompok lain yang tidak punya perwakilan dan tidak dapat menyuarakan
kepentingan mereka. Ketiga, persetujuan 90 Kepala Keluarga (KK) sebagai
syarat pendirian rumah ibadah. Siti menganggap hal ini tidak dapat
dilakukan untuk tempat-tempat terpencil dimana tidak ada populasi
penduduk yang cukup memenuhi kuota.
Lebih lanjut, Siti mengasumsikan pendirian rumah ibadah kelompok
minoritas, di bawah SKB Tiga Menteri, harus mendapatkan izin dari
kelompok mayoritas.
"Kenapa sih mesti mengotak-kotakkan masyarakat ke mayoritas dan
mayoritas? Ini kan menyangkut salah satu pemenuhan hak-hak sipil yang
paling mendasar yaitu masalah keyakinan," tandas Siti.
Di sisi lain, cendekiawan KH Sholahuddin Wahid menyatakan bahwa
keberadaan SKB 3 Menteri itu justru cukup baik. Namun, penerapan dari
SKB 3 Menteri itu masih menemui masalah. Menurut pria yang akrab
dipanggil Gus Sholah itu, pemerintah daerah perlu aktif untuk menentukan
dimana kelompok Nasrani dapat mendirikan gereja.
"Supaya mereka bisa membebaslan tanah itu lalu membangun gereja di
atasnya," papar pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang,
Jawa Timur itu.
Gus Sholah kemudian menambahkan jumlah gereja yang dibangun harus sesuai dengan kebutuhan dan populasi warga Nasrani.(*/X-11)
Sabtu, 14 Agustus 2010
Hakim Harus Dibiasakan Takut Jika Buat Putusan Salah Ditulis oleh Administrator
Kamis, 05 Agustus 2010 02:20
Jakarta (Hukum Online) - Persoalan boleh atau tidaknya memeriksa hal-hal yang berbau teknis yudisial, termasuk putusan hakim, menjadi persoalan terbesar selama 5 tahun Komisi Yudisial berdiri.
Lima tahun sudah Komisi Yudisial (KY) berdiri. Sejumlah pro-kontra mengawali perjalanan lembaga yang memiliki fungsi utama menyeleksi calon hakim agung dan mengawasi perilaku hakim itu. Kewenangan yang disebut terakhir, pengawasan, kerap menimbulkan hawa panas dengan lembaga yang diawasi, yakni pihak kehakiman.
Mahkamah Agung (MA) beberapa kali menyampaikan penolakannya terkait tindakan KY yang memeriksa putusan hakim. Para petinggi MA meminta KY hanya memeriksa perilaku, bukan putusan. Pasalnya, menurut mereka, bila ada yang tak sependapat dengan putusan hakim, para pihak bisa menempuh upaya hukum yang tersedia mulai dari banding, kasasi atau peninjauan kembali (PK).
Sedangkan, KY menilai memeriksa putusan hakim merupakan pintu masuk untuk memeriksa perilaku hakim. Ketua KY Busyro Muqoddas mengatakan sikap MA yang tak mau diawasi terkait hal-hal berbau teknis judisial (seperti putusan) menjadi problem terbesar dalam menjalankan kewenangan KY. “Pencari keadilan juga terhambat dengan sikap MA ini,” ujarnya dalam seminar refleksi dan proyeksi lima tahun KY, Senin (2/8).
Advokat Senior Todung Mulya Lubis mengatakan perlunya kompromi antara pihak Mahkamah Agung (MA) dengan KY untuk menyelesaikan persoalan ini. Di satu sisi, lanjutnya, sikap MA yang menyatakan putusan adalah mahkota hakim yang tak bisa diutak-atik kecuali melalui upaya hukum dapat dibenarkan.
Namun, di sisi lain, sikap KY yang ingin menggunakan putusan sebagai pintu masuk memeriksa perilaku hakim juga tak bisa disalahkan. Todung menyarankan di era transisi, dimana MA belum terlalu mapan, ini harus dikompromikan bahwa KY bisa masuk memeriksa putusan para hakim.
Todung menyebut masa transisi ini selama 10 tahun. Artinya, KY seharusnya diperbolehkan memeriksa putusan hakim selama tenggat waktu itu. Menurutnya, jangka waktu satu dasawarsa itu sudah cukup untuk membuat para hakim terbiasa lebih hati-hati dalam membuat putusan.
“Setelah 10 tahun, baru KY lepas tak bisa memeriksa putusan hakim. Para hakim harus dibiasakan takut membuat putusan yang salah,” ujarnya.
Namun, usulan ini tampaknya belum diterima oleh kedua belah pihak. Hakim Agung Abdul Gani Abdullah, yang hadir mewakili MA, menilai proyeksi KY ke depan harus mengacu kepada pengalaman-pengalaman sebelumnya untuk menghindari benturan dengan MA.
“Satu hal yang menurut MA yang perlu ditarik manfaat referensialitas-nya oleh KY agar tidak memasuki unsur-unsur wilayah teknis peradilan yang menjadi wilayah kewenangan MA,” ujar Abdul Gani. Ia mengatakan tindakan yang melampaui kewenangan dengan memeriksa putusan hakim dapat mengganggu kemerdekaan hakim dan kekuasaan kehakiman.
Lebih lanjut, Abdul Gani mengatakan seharusnya KY tak selalu mencari-cari kesalahan para hakim, melainkan juga mencari penyebab-penyebab lain mengapa terjadi judicial corruption. Ia meminta agar KY meneliti apakah gaji atau take home pay para hakim dan pejabat pengadilan lainnya sudah layak. “Apakah unsur itu turut memberikan kontribusi bagi tumbuhnya virus judicial corruption atau karena sebab lain,” tuturnya.
Sebagai catatan, tiga undang-undang bidang peradilan yang baru sebenarnya telah membuka pintu bagi KY untuk menilai putusan. Diatur dalam UU Peradilan Umum, UU PTUN, dan UU Peradilan Agama, KY diberi kewenangan menilai putusan. Hanya saja, kewenangan itu dalam rangka mutasi dan promosi hakim.
Sabtu, 24 Juli 2010
Merespon SEMA No.07 Tahun 2010: Institusionalisasi Hukum Tahapan Pemilukada Oleh: Irvan Mawardi *) [Senin, 31 May 2010] Medio April 2010 lalu menjadi awal
periode kedua pelaksanaan Pemilukada 2010. Mandat konstitusi
sesungguhnya hanya menyiratkan bahwa pemilihan kepala daerah
dilaksanakan secara demokratis.
Lahirnya
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
formulasi jelas tentang demokratisasi dalam pemilihan kepala daerah,
yakni dilaksanakan secara langsung. Periode pertama pelaksanaan
Pemilukada berlangsung sejak Desember 2004 sampai dengan September 2008
dengan total pelaksanaan kurang lebih 343 Pemilukadadengan rincian pada tahun 2005 telah berlangsung Pilkada di 207 Kab/Kota
dan 7 provinsi, pada tahun 2006 terlaksana Pilkada di 70 kabupaten/kota
dan 7 provinsi, pada tahun 2007 berlangsung Pilkada di 35
kabupaten/kota dan 6 provinsi, sedangkan untuk tahun 2008 telah
berlangsung Pilkada di 11 kab/kota (Data Jaringan Pendidikan pemilih untuk rakyat-JPPR). Untuk Pemilukada pada 2010 ini, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, akan digelar sebanyak 244
pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) mulai dari pemilihan gubernur
dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota serta wakil
walikota.
Menjelang pelaksanaan periode Pemilukada periode kedua, tahun 2010 ini,
banyak pihak yang mendorong agar pelaksanaan Pemilukada ditunda sambil
menunggu hasil evaluasi pelaksanaaan pilkada 2005 oleh Depdagri dan KPU.
Evaluasi Pemilukada 2005-2008 sangat penting untuk mendapatkan
rekomendasi serta refleksi atas kekurangan dan kelemahan yang
berlangsung selama periode tersebut.
Ada beberapa cacatatan penting dan fundamental yang mengiringi pelaksanaan pilkada2005-2008. Pertama,
Pemilukada masih belum mampu menghadirkan ruang bagi rakyat untuk
mandiri dan memiliki kapasitas yang rasional dalam menentukan
pilihannya. Fenomena politik uang selama pilkada mempertegas catatan
ini. Kedua, proses pelaksanaan pemilukada belum mampu dikelola secara baik, lancar dan damai sesuai dengan prosedur yang demokratis. Kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul, kampanye yang penuh konflik dan protes atas hasil penghitungan suara menjadi contoh yang sangat jelas. Ketiga, pilkada belum mampu melahirkan pemimpin yang memiliki kapasitas dan akseptabilitas memadai. Pemilukada justru menjadi arena bagi orang-orang yang punya duit dan populer untuk menjadi elit baru. Keempat,
kepemimpinan yang dilahirkan oleh proses pilkada harus mampu membentuk
pemerintahan bersih dan kuat yang berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan rakyat. Selama ini sudah banyak keluhan dari masyarakat
terkait pemilukada yang berlangsung tapi tidak memiliki dampak yang
signifikan terhadap peningkatan kesejahtaraan rakyat.
Beberapa Persoalan
Tulisan ini tidak bermaksud membahas semua poin evaluasi pemilukada tersebut. Yang menarik dibahas adalah salah satu faktor lemahnya pengelolaan pelaksanaan pemilukada selama ini adalah karena kegagalan institusionalisasi hukum dalam proses
penyelenggaraan pilkada. Hukum tentang pemilukada belum terlembagakan
secara baik, sehingga proses penyelesaian pelanggaran dan penyimpangan
tidak dapat dikelola secara elegan tapi justru memicu konflik
berkepanjangan.
Ada beberapa faktor fundamental yang menghambat proses pelembagaan hukum dalam penyelesaian perkara hukum pemilukada selama ini. Pertama,
masih cukup rendahnya pemahaman masyarakat tentang mekanisme hukum yang
harus ditempuh ketika berhadapan dengan persoalan yang terkait dengan
penyimpangan dan pelanggaran selama berlangsung pemilukada. Kekecewaan
publik terhadap proses penyelengaraan pemilu belum mampu terlembagakan
dalam proses hukum. Sebaliknya yang muncul adalah kekecewaan yang
berujung pada anarkisme dan kekerasan massa. Kedua, institusi penegak hukum dalam Pilkada, dalam hal ini Bawaslu dan Panwaslu,
tidak bisa bekerja maksimal karena secara yuridis eksistensi lembaga
tersebut memang tidak memiliki kewenangan yang kuat. Kelemahan Panwaslu selama ini terletak pada ketidakmampuan menindaklanjuti pelanggaran yang dilaporkan masyarakat. Terlihat bahwa Panwaslu tidak memiliki daya eksekusi yang kuat dalam menangani laporan pelanggaran.
Dalam konteks Pilkada, UU. 32 Tahun 2004, pasal 66 ayat (4), menggarisbawahi Panitia Pengawas Pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; b. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah d. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan e. mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semua tingkatan.
Panwaslu selalu berdalih bahwa salah satu tugasnya adalah;” meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang;
klausul ini sering sekali dijadikan dalih ketika panwaslu dihadapkan
pada pelanggaran pilkada. Lemahnya daya eksekusi langsung oleh Bawaslu
juga terlihat pada UU 22 tahun 2007 yang mengatur tentang tugas dan
wewenang Bawaslu. Dijelaskan pada pasal 73 huruf b, c dan d; b.
menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai Pemilu; c. menyampaikan temuan dan laporan
kepada KPU untuk ditindaklanjuti; d. meneruskan temuan dan laporan yang
bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang.
Pasal
ini menujukkan bahwa Bawaslu sesungguhnya sekedar mengumpulkan laporan
pelanggaran yang terjadi pada semua tahapan pemilu. Sedangkan tugas dan kapasitasnya
masih bergantung dengan pihak lain. Bahkan tugas dan wewenang yang
melekat pada Petugas Pemilih Lapangan (Panwaslu di level desa) hanya
sekedar menerima laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh
penyelenggara terhadap berbagai tahapan pemilu (Pasal 82). Bukan
pelanggaran yang dilakukan masyarakat atau peserta pemilu.
Ketiga, pelembagaan hukum dalam pemilukada juga gagal karena secara substansi UU No. 32 Tahun 2004 –bahkan Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 12 Tahun 2008TentangPerubahan Kedua AtasUndang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah--- tidak secara jelas mengatur proses hukum, materilformil-
yang bisa ditempuh ketika berhadapan dengan pelanggaran atau persoalan
hukum dalam pemilukada. Misalnya dalam persoalan Penetapan Pasangan
Calon. Pasal 61 UU No. 32 Tahun 2004 tidak
mengatur mekanisme hukum apabila ada pasangan yang keberatan tentang
keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon. Begitu juga dengan
tahapan lainnya. Karena tidak jelasnya mekanisme hukum yang mengatur,
maka formula penyelesaian sering berakhir kepada bentrokan dan
anarkhisme seperti yang terjadi baru-baru ini di Pemilukada Mojokerto.
Jawa Timur.
Selama ini, UU Pemilukada, dalam hal ini UU No. 32 Tahun 2004-maupun UU No. 12 Tahun 2008TentangPerubahan Kedua atasUU No. 32 Tahun 2004- hanya
akomodatif terhadap persoalan sengketa pemilukada yang terkait dengan
penghitungan suara, namun tidak mengakomodir persoalan yang terjadi
dalam tahapan-tahapan sebelum penghitungan suara. Misalnya, apabila
calon merasa dirugikan dan keberatan dengan hasil pengitungan suara
oleh KPUD, maka pasangan calon memiliki kesempatan menyampaikan
keberatan kepada Mahkamah Agung dengan catatan keberatan yang dimaksud memang secara nyata mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004: 1):
Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah
Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 2);
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan
hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
Konteks SEMA No. 5 Tahun 2005
Namun
demikian, meskipun secara detail beberapa persoalan yang muncul terkait
keluarnya Keputusan KPUD selaku pejabat negara tentang berbagai tahapan
pemilukada tidak diatur dalam UU Pemilukada (Vide UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 tahun
2008), namun pelembagaan hukum dalam konteks ini adalah menyelesaikan
sengketa atau persoalan dalam ranah hukum administrasi.
Penyelesaian
sengketa pilkada lewat mekanisme sengketa tata usaha negara dapat
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara pasal 1 ayat (10):Sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat
tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pasal 1 ayat (8), yang dimaksud dengan Pejabat
tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah
badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara,ayat (9) menjelaskan definisi Keputusan Tata usaha Negara, yakni suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Dalam
konteks Pemilukada, maka segala keputusan KPUD berpotensi menjadi obyek
sengketa dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam 1 (satu) hal, yakni Keputusan KPUD yang terkait dengan hasil Pemilukada. Dalam UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,khususnya pasal 2 huruf g: tidak
termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang-Undang ini adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat
maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Artinya,
selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki
peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan
pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU
tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara
dalam PTUN.
Mengingat
peluang gugatan tersebut, maka dapat diprediksi bahwa KPU memiliki
peluang yang cukup besar untuk digugat oleh peserta pemilu atau pemilih.
Hal ini dimungkinkan kerena beberapa tahapan krusial yang akan dilewati
oleh stakeholders pemilu. Di antaranya, pertama, tahapan
pemutakhiran DPT. Tahapan ini sangat terbuka digugat oleh pihak yang
merasa tidak terdaftar sebagai pemilih namun secara faktual dan
administratif memiliki hak untuk memilih. Kedua, tahapan pengadaan logistik
pemilu. Tahapan ini rawan digugat pada tahapan pelelangan sejumlah
pengadaan logistic pemilu. Beberapa pihak biasanya tidak puas atas
mekanisme tender yang dilakukan KPU. Ketiga, tahapan penetapan calon legislatif
dan calon presiden sebagai peserta pemilu. Para calon peserta pemilu
yang tidak puas atas proses verifikasi calon akan menggugat keputusan
KPU.
Namun
harapan akan munculnya dinamika sengketa tata usaha negara dalam
periode pemilukada 2005-2008 tidak tercapai akibat keluarnya Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun
2005 tentang Petunjuk Tekhnis tentang Sengketa mengenai Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pilkada). Pada butir 2 SEMA tersebut disebutkan bahwa
dihubungkan dengan pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
telah diubah dengan Undang-undang nomro 9 tahun 2004 tentang Peradilan
tata usaha Negara, maka keputusan ataupun penetapannya (KPUD) tidak
dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan merupakan
kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili.
Menurut
SEMA ini, sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan
pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilihan umum, namun haruslah
diartikan sebagai meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan
pemilihan umum, sebab apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga
pengadilan yang berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk
keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu
KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal
pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat
menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan, bahkan putusan-putusan
pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA
juga menunjuk putusan Nomor 482 K/TUN/2003 tanggal 18 agustus 2004
sebagai Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan
yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus
pemilihan tidak menjadi kewenangan Peradilan tata usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.
Subtansi materi SEMA No. 8 Tahun 2005 ini kemudian memicu pro kontra. Bagi kelompok yang pro, SEMA ini sudah cukup relevan karena memahami bahwa PTUN memang tidak berhak memeriksa persoalan hukum dalam Pemilu. Bagi mereka yang menyetujui SEMA ini memahami bahwa Pemilu itu
adalah semua proses yang berlangsung sejak tahapan awal, yakni
penetapan daftar pemilih sampai dengan penghitungan hasil akhir. Selain
itu, mengikuti alur pemikiran J. Downer bahwapenyelengaraan negara itu adalah bagian politik (taatstelling)/penentuan tugas (politik),
maka kelompok ini meyakini bahwa Proses pemilu dengan segala tahapannya
merupakan agenda atau kerja-kerja pemilihan yang merupakan agenda
politik, sementara sebagai bentuk kerja administrasi (taatsvervaling)
PTUN hanya berwenang mengadili KTUN yang dikeluarkan oleh pejabat TUN
sebagai bagian pelaksanaan segala hal yang telah ditentukan oleh agenda politik (Laica; 2009).
Sementara pendapat kontra meyakini bahwa substansi dari SEMA ini sudah keluar dari materi pasal 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN. Karena pasal ini secara jelas menggunakan kalimat “Keputusan
Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum”. Kalimat hasil Pemilihan Umum menunjukkan secara tegas
bahwa hanya satu tahapan, yakni terkait dengan hasil pemilu yang saat
ini hanya dapat diperiksa dan diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
Bahkan Laica Marzuki menilai bahwa dalam kajian tentang beleidsregel, maka SEMA ini ini termasuk menyimpang dari UU. Menurut Laica, beleidsregel, sehari-haridikenal adalah Juklakkemudian yang kedua adalah Surat Edaran, namun biasanya beleidsregel, ini dalam bentuk pengumuman yang diumumkan atau juga dalam bentuk nota yang diedarkan. Dalam kajian beleidsregel, penting membedakan antara peraturan perundang-undangan dan Undang-Undang.Menurut Laica, peraturan perundang-undangan pengertiannya cukup luas, mulai dari konstitusi, UU, Peraturan Pemerintah, Perda dan sebagainya. Jadi, UU termasuk peraturan Perundang-undangan. Tapi tidak semua peraturan Perundang-undangan adalah UU. Dalam konteks Mahkamah Agung misalnya, Perma termasuk peraturan perundang-undangan, sedangkan SEMA masuk kategori peraturan kebijakan.
Mengingat SEMA merupakan bentuk freiez ermessen atau diskresi, maka SEMA memiliki koridor yang sangat penting yakni tidak boleh terjadi penyimpangan. Dalam pandangan Laica, freiez ermessen atau diskresi menyimpang dalam dua hal yakni, melanggar dari UU dan menyimpang dari (asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUUAPB). Sehingga ada kekhawatiran apabila SEMA 8 ini termasuk kategori freiez ermessen atau diskresi yang menyimpang. Meskipun
demikian, pada prakteknya beberapa hakim PTUN yang menerima sengketa
tahapan pemilu di luar tahapan hasil pemiliha umum.
Ketika menjelang pemilu 2009 lalu, setidaknya
ada empat putusan pengadilan yang menghiasi pelaksanaan tahapan pemilu
2009. Keempat putusan yang kesemuanya diputuskan PTUN bisa kita kaji. Pertama, Putusan PTUN Jakarta tentang dikabulkannya permohonan 4 empat partai yang mencapai Electoral Treshold pada pemilu 2004 untuk ikut secara otomatis pada pemilu 2009. Kedua,
putusan PTUN Jakarta yang memenangkan gugatan Partai Republiku terhadap
keputusan KPU yang tidak meloloskan mereka ikut pemilu. Partai
Republiku oleh PTUN Jakarta dianggap berhak ikut pemilu karena fakta dipersidangan
membuktikan bahwa Partai Republiku memiliki struktur di 29 Provinsi,
melebihi persyararatan minimal, yakni 15 provinsi. KPU tidak meloloskan
dalam proses verikasi karena KPU menganggap bahwa Partai Republiku hanya
memiliki struktur di 14 provinsi. Dalam perkara ini, KPU kalah dua kali
sehingga saat saat itu KPU mengajukan kasasi ke MA.
Ketiga,
putusan sela yang dikeluarkan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan PKB
versi Gus Dur yang menggugat pengambilalihan kantor sekretariat DPP PKB
oleh PKB versi Muhaimin. Putusan PTUN membatalkan Keputusan MenhunHAM
yang menyebut bahwa alamat Sekretariat
DPP PKB di Jalan Siliwangi Jakarta. Keempat, ditolaknya gugatan PKB
versi Gus Dur oleh PTUN Jakarta yang menggugat keputusan Menteri Hukum
dan HAM yang mengesahkan kepengurusan DPP PKB versi Muhaimi Iskandar.
Dari empat gugatan tersebut, sebenarnya dapat dikategorikan menjadi dua
ranah perkara. Yakni perkara dalam tahapan verifikasi peserta pemilu dan
perkara yang terkait dengan keabsahan partai politik yang berkaitan
dengan kepesertaan dalam pemilu 2009. Kesemua perkara tersebut berada dalam ranah tahapan yang tidak terkait dengan hasil pemilihan umum.
Merajut Optimisme dengan SEMA No. 7 Tahun 2010
Terlepas pro kontra atas SEMA No. 8 Tahun 2005, optimisme terhadap proses pelembagaan hukum dalam pemilukada kembali muncul pasca Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2010 (SEMA 2010) tentang
Petunjuk Tekhnis Sengketa Mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pilkada) pada tanggal 11 Mei 2010. Secara substansi, materi SEMA 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA 2005. Bahkan materi SEMA 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi SEMA 2005. Dalam hal ini SEMA 2010 menegaskan bahwa pasal 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1986 menyiratkan bahwa keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan yang diterbitkan oleh KPU/KPUD mengenai hasil Pemilihan Umum, tidak dapat digugat di PTUN.
Namun SEMA ini membedakan dua
jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan
dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan di lain pihak
keputusan yang berisi mengenai hasil pemiliha umum. Dengan Demikian SEMA
2010 ini mengatur bahwa keputusan-keputusan yang belum atau tidak
merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di
bidang urusan pemerintahan dan oleh karenanya sepanjang keputusan
tersebut memenuhi kriteria UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat (9) maka tetap menjadi kewenangan PTUN untuk
memeriksa dan mengadilinya. Hal ini disebabkan karena keputusan
tersebut berada di luar jangkauan perkecualian sebagaimana yang dimaksud
oleh pasal 2 huruf gUU PTUN.
Tegasnya, SEMA
2010 memberikan peluang kepada pencari keadilan untuk menyelesaikan
persoalan hukum pemilukada pada semua tahapan kecuali yang terkait
dengan tahapan hasil penghitungan suara di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Namun demikian, dalam pelaksanaan SEMA 2010 Mahkamah Agung memberi
dua catatan penting. Pertama, Pemeriksaan terhadap sengketanya oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara agar dilakukan secara prioritas dengan
mempercepat proses penyelesaian sengketanya. Kedua, Dalam proses
peradilan, Ketua Pengadilan Tata usaha Negara atau Majelis Hakim yang
ditunjuk memeriksa sengketanya agar secara arif dan bijaksana
mempertimbangkan dalam kasus demi kasus tentang kemanfaatan bagi
penggugat ataupun tergugat apabila akan menerapkan perintah penundaan
yang dimaksudkan ketentuan pasaln 67 ayat (2), (3), dan (4) UU PTUN. Pesan penting dari kehadiran SEMA2010 ini bahwa Mahkamah Agung berkeinginan agar seperti
apapun konflik dan perselisihan dalam pilkada, sebaiknya dikelola
bahkan diakhiri dengan melawati ketentuan hukum yang ada. Memang sangat
menyedihkan ketika konflik dalam pilkada terus berlarut dengan diiringi
oleh tindakan kekerasan dan anarkisme.
Tantangan ke Depan
Beberapa hari ke depan, dengan hadirnyaSEMA 2010 akan mempengaruhi dinamika dalam proses penyelesaian perkara di PTUN. Ada 244 pemilihan umum kepala daerah (pemilukada)
yang telah, sedang dan akan berlangsung sepanjang tahun 2010 ini.
Sering dengan intensifnya penyelengaraan pilkada di berbagai daerah,
maka para pencari keadilan akan mencoba mendasarkan SEMA 2010 ini untuk
menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi selama pemilukada. Dalam hal
ini, PTUN hendaknya merespon kondisi ini dengan beberapa agenda.
Pertama, para hakim yang akan memeriksa perkara pemilukada hendaknya mendalami
lebih jauh dan detail tentang mekanisme dan proses pelaksanaan
pemilukada. Terkait hal ini, penting menyimak rekomendasi Bawaslu dalam
revisi UU Pemilu yang menghendaki adanya Pengadilan Pemilu sebagai salah
satu Pengadilan Khusus. Pertimbangannya karena penyelesaian hukum
pemilukada oleh hakim selama ini tidak cukup memadai dan belum
konprehensif dalam menyelesaikan persoalan.
Kedua,
mengantisipasi beberapa tahapan yang paling berpotensi menjadi sengketa
pemilukada yang akan diselesaikan di PTUN. Seperti misalnya, Tahapan
pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang gugur
atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Berbagai masalah
yang biasanya memicu gagalnya bakal calon menjadi calon resmi adalah misalnya sang bakal calon terkait
ijazah palsu, tidak terpenuhinya dukungan 15 % parpol pendukung atau
adanya dualisme kepemimpinan parpol pengusung. Untuk konteks saat ini,
tahapan pendaftaran dan penetapan calon semakin krusial seiring
keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon independent
maju dalam Pilkada. Persoalan akurasi dukungan jumlah KTP sangat rawan menjadi sumber sengketa.
Ketiga, perlunya persiapan yang
bersifat non yudisial terkait dengan situasi ketika pelaksanaan
persidangan. Mengingat setiap persidangan berpeluang dihadiri oleh massa
yang cukup banyak. Bahkan mengalami mungkin “ mengalami” ketegangan
ketika harus ada perintah penundaan dll. Namun satu hal yang penting
adalah menghindari adanya putusan atau penetapan yang akan mengganggu
proses dan jadwal pelaksnaan pemilu. Hal ini dikarenakan dalam proses
pemilihan umum perlu segera ada kepastian hukum sehingga dapat
dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Semoga hadirnya SEMA No. 7 tahun 2010 menjadi babak baru bagi Pengadilan Tata Usaha Negara.
-------
*) Penulis adalah calon hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. Tinggal di Yogyakarta.
BAHAN BACAAN
Marzuki, Laica, 2009. Beleidsregel, Materi Kuliah Diklat Calon Hakim PTUN
Mawardi, Irvan.2009. “ Gugatan Hukum dalam Pemilu 2009”. www.berpolitik.com
-------------------. 2007, ” Anatomi Konflik Dalam Pilkada”. www.jppr.or.id
SEMA No. 8 tahun 2005
UU. No. 5 tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
UU. No. 9 tahun 2004 Tentang pengadilan Tata Usaha negara (Perubahan pertama)
UU. No. 51 tahun 2009 Tentang pengadilan Tata Usaha negara (Perubahan kedua)
UU. No. 22. Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
UU. No. 32. Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU. No. 12. Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah (perubahan kedua)