Rabu, 27 Oktober 2010

Pengadilan Bisa Batalkan Sertifikat Tanah

Rabu, 27 Oktober 2010, 14:44 WIB
 
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kantor Wilayah Jakarta Barat, Tjahyo Widianto mengatakan bahwa pengadilan bisa membatalkan sertifikat tanah yang dikeluarkan BPN.

"Sertifikat bisa dibatalkan atas penilaian hakim," ujar Tjahyo saat ditemui di kantor pemerintah kota Jakarta Barat, Rabu (27/10). "Namun, bukan berarti setiap sertifikat tanah rawan pembatalan."

Tjahyo menuturkan sertifikat adalah bukti kepemilikan tanah yang kuat, tapi tidak mutlak. Secara normatif diakui dan harus dipertimbangkan oleh lembaga penegak hukum. Sebelum hakim menjatuhkan vonis pembatalan sebuah sertifikat, lanjut dia, hakim pasti akan mempelajari kasusnya dengan teliti.

BPN tidak sembarangan dalam menerbitkan sertifikat. Saat ada permohonan pembuatan sertifikat, maka BPN akan menganggap semua dokumen yang dibawa pemohon adalah benar secara formal.

"Jika persyaratan pembuatan sertifikat dipenuhi, maka BPN akan menerbitkan sertifikat" tutur Tjahyo " Jika ada masalah maka pengadilan yang akan menilai."

Sertifikat bisa diuji dengan tiga aspek yaitu secara yuridis, teknis, dan administratif. Sementara jika sertifikat dihadapkan dengan keberadaan girik, maka akan timbul pertanyaan apakah girik tersebut sudah diuji secara yuridis di pengadilan.

Tjahyo menuturkan girik dibuat oleh kantor pajak sebelum 1960. Untuk membuktikan keberadaan girik sangat sulit sebab undang-undang dan aturan yang terkait tidak bisa diberlakukan lagi.

Masalah sengketa tanah yang terkait dengan sertifikat dan girik dialami Yayasan Pendidikan Kristen Ketapang tepatnya di Sekolah Kristen Ketapang (SKK) II di Green Garden, Kedoya, Jakarta Barat.

Pengacara SKK II, Sheila Salomo mengatakan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) YPKK bernomor HGB 205/Kedoya Utara berasal dari/pecahan dari HGB 4067/Kedoya milik PT Taman Kedoya Barat Indah selaku pengembang Green Garden.

Menurutnya, gambar dari situasi No.72-B-/1998 pada sertifikat HGB No.4067/Kedoya, tidak terdapat tanah berdasarkan Girik C 530 Persil 58 S.I dan No. Persil S II.

"Tidak jelas bagian mana dari sertifikat 205/Kedoya Utara atas nama YPPK yang luasnya 8.195 meter persegi yang menjadi bagian Girik C530," kata Sheila.

Pihak SKK II merasa bahwa mereka adalah pemilik sah lahan tempat gedung SKK II berdiri. Namun, sertifikat hak guna bangunan sekolah itu dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum oleh pengadilan sampai ke tingkat Mahkamah Agung.

Ahli waris H Musa bin Djiung memenangkan kasus tersebut. Sehingga ratusan siswa SKK II saat ini terancam kehilangan tempat belajar mereka.
Red: Endro Yuwanto
Rep: Maryana
Advokat Harus Paham Kode Etik Hakim


Ditulis oleh Administrator   
Jumat, 22 Oktober 2010 02:10
Hukum Online - Di Amerika Serikat, problem advokat tak memahami kode etik hakim dapat diminimalisir dengan memasukan pertanyaan-pertanyaan kode etik hakim ke dalam ujian advokat.
Secara teoritis, negara memiliki tiga cabang kekuasaan yakni legislatif (parlemen), eksekutif (pemerintah), dan yudikatif (peradilan). Untuk menunjang demokrasi, tiga cabang kekuasaan ini harus setara dan seimbang sehingga dapat mewujudkan checks and balances satu sama lain. Pada awal sejarah pemisahan kekuasaan ini, yudikatif disebut-sebut sebagai lembaga yang paling lemah di antara tiga cabang kekuasaan itu.Karakteristik ketiga cabang kekuasaan ini memang berbeda. Eksekutif mempunyai kekuatan karena memiliki tentara, dan legislatif memiliki ‘uang’ dengan memainkan peran mengatur anggaran negara. Sedangkan, yudikatif dianggap kekuasaan terlemah karena hanya bertugas memutus perkara yang diajukan oleh masyarakat.
Hakim Banding di Pengadilan Federal di Amerika Serikat (AS) John Clifford Wallace menjelaskan hal ini dalam sebuah diskusi yang digagas oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Wallace memandang perlunya penguatan lembaga peradilan di setiap negara.
“Saya memandang penting reformasi peradilan agar kekuasaan yudikatif benar-benar setara dan seimbang dengan dua cabang kekuasaan yang lain. Peran yudikatif sebagai pengawal rule of law sangat penting. Peran ini tak akan berjalan bila peradilan dapat diintervensi dan tidak independen,” jelasnya di Jakarta, Rabu (20/10).
Wallace mengingatkan bahwa kekuatan lembaga peradilan sebenarnya ada pada masyarakat. Lembaga peradilan, lanjutnya, harus bisa menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. “Peradilan harus direformasi sehingga bisa dekat dengan masyarakat,” ujar pria yang berprofesi sebagai hakim sejak 40 tahun yang lalu ini.
Wallace mencatat beberapa poin penting dalam reformasi peradilan ini. Pertama, ia memandang perlu adanya penyesuaian gaji hakim yang bisa menunjang dirinya dan keluarganya. Hal ini bertujuan agar peradilan tetap independen dan terhindar dari suap. Ia pernah mengutarakan hal ini ketika ‘terlibat’ dalam proses reformasi peradilan di Nigeria.
“Saya bilang ke mereka. Hal pertama yang dilakukan adalah menaikkan gaji hakim sehingga dapat mencukupi kehidupannya beserta keluarga. Ini sangat penting,” tegasnya. Di Nigeria, lanjutnya, dibentuk sebuah komisi yudisial yang bertugas mengkaji gaji hakim dan membandingkannya dengan gaji advokat dan dekan fakultas hukum di universitas negara itu.
Kedua, soal penanganan perkara. Wallace menambahkan perlu ada manajemen perkara agar hakim bisa memutus perkara yang dapat diterima oleh masyarakat. Ia mencontohkan ada pembagian perkara, mana perkara yang bisa diselesaikan di pengadilan dan mana perkara yang bisa diselesaikan di luar pengadilan lewat proses mediasi. Semakin sedikit perkara yang ditangani tentu membuat hakim semakin fokus dalam membuat putusan.
Sedangkan, poin ketiga adalah kode etik hakim. Wallace menilai kode etik hakim harus bisa diakses oleh masyarakat seluas-luasnya. “Apakah advokat-advokat di Indonesia telah membaca dan memahami kode etik hakim?” tanyanya.
Di Amerika Serikat, ungkap Wallace, problem advokat tak memahami kode etik hakim sempat terjadi. Fenomena ini dapat diminimalisir dengan memasukan pertanyaan-pertanyaan kode etik hakim ke dalam ujian advokat.
“Setiap advokat harus paham dengan kode etik hakim dan masyarakat juga harus tahu. Sehingga dia paham setiap tindak-tanduk hakim itu bertentangan dengan kode etik atau tidak,” Wallace menegaskan.
Langkah-langkah ini, lanjut Wallace, bertujuan agar masyarakat semakin dekat dengan lembaga peradilan. “Kekuasaan yudikatif harus bisa menjawab persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat,” tuturnya.
Citra Buruk
Lalu bagaimana dengan lembaga peradilan di Indonesia? Alih-alih memperoleh simpati masyarakat, citra lembaga peradilan justru semakin terpuruk. Dalam Rapat Kerja Nasional MA (Rakernas MA) 2010 di Balikpapan minggu lalu, Ketua MA Harifin A Tumpa mengakui kondisi ini.
Harifin mengatakan lembaga peradilan harus bisa keluar dari stigma buruk tersebut. “MA harus keluar dari citra buruk, lambat, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,-red) dan ujung-ujungnya duit,” ujarnya saat membuka acara Rakernas MA, pekan lalu.
Lebih lanjut, Harifin mengatakan untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibutuhkan agen-agen perubahan lembaga peradilan di daerah-daerah. Menurutnya, seluruh ketua pengadilan tinggi dan panitera di Indonesia yang akan memainkan peran sebagai agen perubahan tersebut. “Para ketua pengadilan tinggi diharapkan menjadi ujung tombak perubahan ini,” tuturnya.
 

Kamis, 21 Oktober 2010

Tutup Peluang Korupsi Lewat Layanan Publik Berkualitas
Dikirim oleh humas pada 2010/10/21
Makassar, 21 Oktober 2010 –  Kualitas pelayanan publik yang prima akan menutup peluang terjadinya tindak pidana korupsi dalam bentuk suap maupun imbalan yang diberikan kepada petugas pelayanan publik kepada masyarakat untuk mempercepat pelayanan yang diberikan.

”Persoalan mendasar pelayanan publik adalah terletak pada pola pikir oknum aparatur pemerintah, yakni paradigma yang berorientasi kekuasaan,” kata Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan KPK, Eko Soesamto Tjiptadi saat menjadi pembicara kunci Seminar “Pemberantasan Korupsi Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik” yang diadakan di Hotel Kenari, Makassar, Kamis (21/10).

Menurut Eko, salah satu persoalan yang sering ditemui dalam pelayanan publik lainnya adalah belum transparan dan akuntabelnya pelayanan, serta prosedur yang panjang.”Hal-hal seperti itu,  selain “mendidik” masyarakat untuk melakukan jalan pintas dalam memperoleh pelayanan, juga menyuburkan praktik-praktik korupsi.”

Dalam seminar ini, KPK memaparkan temuan yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung beberapa instansi layanan publik di Makassar, antara lain di Kantor Pertanahan Kota Makassar, Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, Kantor Samsat Kota Makassar dan yang lainnya.

Eko menambahkan, KPK terus berupaya mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Melalui pemaparan ini, tambahnya, KPK akan melanjutkan evaluasi dengan instansi pelayanan publik termasuk melakukan pengamatan dan peninjauan di unit pelayanan publik Sulawesi Selatan dan Makassar khususnya. “Kami berharap kegiatan ini bisa memberi kontribusi besar dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi,” tandasnya.

Seminar yang dibuka oleh Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo ini juga dihadiri oleh Kepala Samsat Bandung Timur untuk memberikan contoh yang bisa menginspirasi layanan publik di Makassar untuk melakukan hal serupa.
Samsat Bandung Timur   sudah menerapkan drive thru, CCTV, access control, antrian micromatic, serta tiga tombol layanan publik yang mengharuskan masyarakat penerima layanan untuk menekan satu dari tiga tombol tersebut sebagai ungkapan atau feedback tingkat kepuasan.

Melalui kegiatan supervisi peningkatan layanan publik yang dilakukan secara berkesinambungan ini, diharapkan akan menumbuhkan keseriusan dan tekad kuat dari instansi-instansi pelayanan publik untuk terus meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat. *****

Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Johan Budi SP
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. HR. Rasuna Said Kav C-1
Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
www.kpk.go.id | twitter : @KPK_RI

Selasa, 05 Oktober 2010

Kurikulum Antikorupsi Diterapkan di Kampus
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memberikan pelajaran antikorupsi ke perguruan tinggi.

Wakil Ketua KPK Haryono Umar mengatakan, KPK sedang menjalin kerja sama dengan Kemendiknas untuk menerapkan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) diseluruh jenjang pendidikan, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Kerja sama ini diharapkan dapat dijadikan contoh bagi kementerian lainnya.


"Kerja sama ini sekaligus untuk membangun Kemendiknas sebagai percontohan kementerian yang antikorupsi karena tidak hanya dunia pendidikan, tapi juga birokrasi di kementerian nya," tegas Haryono seusai bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh di Gedung Kemendiknas, Jakarta, kemarin.

Sebelumnya program serupa telah diterapkan menteri pertanian dengan "Zona Bebas Korupsi"nya. "Sekarang di Kemendiknas, semoga percontohan ini dapat ditiru oleh kementerian lain," tandasnya. Menurut Haryono, Pendidikan Anti Korupsi ini sebenarnya telah dibangun cukup lama, bahkan sudah diuji cobakan pada 50 sekolah di 10 provinsi di Indonesia.

Mendiknas Mohammad Nuh menjamin pendidikan antikorupsi ini tidak akan menambah beban bagi anak didik. Program ini tidak akan menjadi mata pelajaran baru. "Nilai-nilainya saja yang ditanamkan ke dalam semua mata pelajaran, dan nilai itu juga yang dipraktikkan dalam kegiatan sehari-hari disekolah," katanya.

Sumber : Seputar Indonesia

Jumat, 01 Oktober 2010

Korupsi Bisa Membuat Negara Gagal
Dikirim oleh humas pada 2010/10/1
Berita
Korupsi merupakan masalah yang mengerikan dan meresahkan karena dapat membuat negara gagal. Karena itu, pemberantasan korupsi membutuhkan usaha ekstra dari aspek pencegahan hingga penindakan.
"Studi World Economic Forum dan Universitas Harvard pada tahun 2002 tentang negara gagal, dari 59 negara, Indonesia masuk karakteristik negara gagal karena tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi merajalela, serta suasana ketidakpastian yang tinggi," kata Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, Kamis (30/9) di Palembang, Sumatera Selatan.

Irman menyampaikan hal itu dalam seminar Pemberantasan Korupsi Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Pembicara lain dalam seminar itu adalah Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi M Jasin, dan Wakil Ketua Komisi Ombudsman Masdar F Mas'udi.

Irman menuturkan, ilmuwan Noam Chomsky pernah menjelaskan beberapa karakter negara gagal, yakni tidak mampu melindungi warganya dari tindak kekerasan, tidak terjaminnya hak warga negara, lemahnya institusi demokrasi dan lembaga penegak hukum, serta maraknya penyalahgunaan kekuasaan.

Saat ditanya apakah ancaman negara gagal akibat korupsi masih terjadi di Indonesia, Irman menjawab, "Indeks persepsi korupsi tahun 2009 menurut Transparency International, Indonesia di peringkat ke-111 dari 180 negara. Posisi itu sama dengan negara-negara seperti Aljazair, Togo, Solomon, dan Mali." Pencegahan dan penindakan, kata M Jasin, harus dilakukan bersama-sama dalam pemberantasan korupsi. Tingkat korupsi menurun tajam di negara-negara yang memperbaiki sistem dengan reformasi birokrasi.

Sumber : Kompas