Selasa, 15 Februari 2011

Djoko Suyanto: Perusuh Bisa Ditembak di Tempat

Djoko Suyanto. ANTARA/Prasetyo Utomo
TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto meminta aparat penegak hukum untuk bertindak lebih tegas. Termasuk tembak di tempat jika memang diperlukan. Hal ini disampaikan Djoko menanggapi kasus penyerangan jemaah Ahmadiyah oleh seribu warga di Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten dan perusakan gereja di Temanggung, Jawa Tengah. 

Pernyataan ini disampaikan Djoko usai rapat koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Jaksa Agung Basrif Arief, Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo, dan Kepada Badan Intelijen Negara Sutanto.
Menurut Djoko, polisi bisa melakukan tindakan tembak di tempat bila perusuh sudah membahayakan nyawa orang lain. "Kalau memang diperlukan dan membahayakan nyawa orang lain, kan ada beberapa tahapan tembak di tempat, seperti dilumpuhkan dulu," kata Djoko dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (9/2).
Melumpuhkan perusuh atau pelaku kekerasan dengan lakukan tembak di tempat, kata Djoko, merupakan teknis tindakan tegas di lapangan. Tindakan tegas itu, kata dia, harus dilakukan kalau memang diperlukan. "Jangan berarti tembak di tempat itu diartikan melanggar HAM," kata dia. Sebab, jika itu dipersoalkan, yang juga harus diingat juga adalah bagaimana hak asasi manusia mereka yang akan dibunuh.
Dalam melakukan tindakan tegas, Djoko tidak hanya meminta kepada polisi. Anggota TNI yang bertugas di lapangan juga diminta bersikap serupa untuk menolong orang yang terancam jiwanya. "Kalau ada yang jiwanya terancam oleh lahar dingin saya kira sama nilainya dengan menyelamatkan jiwa seseorang dari sekelompok yang ingin main hakim sendiri," kata Djoko.
Dalam rapat koordinasi itu, Djoko menyatakan bahwa Jenderal Timur sempat mengaku ada dilema dari anggotanya yang bertugas di lapangan. Karena itu, Djoko menegaskan bahwa TNI dan polisi harus melakukan tindakan tegas yang terukur sesuai dengan kadar tindakan pelaku pidana. "Dengan prioritas sasaran yang tepat sehingga tidak menimbulkan korban yang tidak tepat."
Djoko juga mengatakan, polisi harus segera memproses orang atau sekelompok orang yang melakukan penganiayaan, pembunuhan, dan pengrusakan. Polisi juga tidak boleh menoleransi organisasi atau kelompok apa pun yang terlibat dalam tindakan kekerasan itu. "Amanat presiden, ormas yang terlibat harus diproses, ada sanksinya, termasuk pembubaran," ujarnya.
CORNILA DESYANA

Sabtu, 05 Februari 2011

Komisi Hukum Melawan Hukum
Sabtu, 05 Februari 2011 00:00 WIB      


KOMISI III DPR adalah komisi hukum. Namun, inilah komisi hukum yang tidak mengindahkan pimpinan KPK sebagai penegak hukum. Bahkan, juga tidak menghormati undang-undang yang memberi kewenangan hukum kepada Jaksa Agung untuk melakukan pendeponiran.

Hal itu terjadi dalam rapat dengar pendapat pada 31 Januari 2011. Komisi III menolak kehadiran pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah dengan alasan status tersangka masih melekat pada Bibit-Chandra, meski Jaksa Agung telah mendeponir perkara mereka.

Hujan interupsi yang terjadi saat itu lebih merupakan kegaduhan yang sarat dendam dan kepentingan. Rapat menolak Bibit-Chandra itu berlangsung hanya tiga hari setelah KPK menjebloskan ke dalam tahanan 19 politikus, anggota/mantan anggota DPR, terkait kasus dugaan suap cek pelawat Bank Indonesia.

Mendeponir adalah menyampingkan perkara demi kepentingan umum, yang merupakan tugas dan wewenang Jaksa Agung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Mendeponir perkara Bibit-Chandra dilakukan Jaksa Agung yang definitif. Jadi, itu memiliki kekuatan hukum yang kuat dan tetap.

Lagi pula, Bibit dan Chandra bukan pimpinan KPK palsu, liar, atau gadungan. Keduanya pimpinan KPK yang resmi dan sah. Keppres No 101/P/2009 yang mengangkat mereka menjadi pimpinan KPK belum pernah dicabut Presiden. Dari sudut pandang itu, Komisi III sebenarnya juga tidak mengindahkan keppres tersebut.

Komisi III DPR juga layak dinilai tidak pernah membuka Pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Di situ disebutkan kepemimpinan KPK bersifat kolektif. Menolak seorang saja pemimpin KPK sama artinya dengan menolak seluruh pemimpin KPK.

Begitulah, Komisi III DPR telah melawan tiga aturan hukum sekaligus. Pertama, melawan keppres yang mengangkat Bibit-Chandra. Kedua, melawan Undang-Undang Kejaksaan yang mengatur tugas dan wewenang Jaksa Agung untuk menyampingkan perkara. Ketiga, melawan Undang-Undang KPK yang mengatur pimpinan KPK bersifat kolektif. Padahal, undang-undang itu dibuat DPR dan Bibit-Chandra juga hasil seleksi DPR.

Yang tidak kalah penting untuk ditegaskan, Komisi III tidak hanya melawan hukum, tetapi juga hipokrit. Ada anggota Komisi III yang berstatus tersangka, tetapi Komisi III tidak menyuruh keluar orang itu dari rapat-rapat Komisi III.

Bahkan, sekali lagi perlu digarisbawahi, DPR pun pernah dipimpin seorang terdakwa. Semua itu telah menjadi sejarah yang sepertinya pura-pura dilupakan Komisi III.

Celakalah negeri ini bila komisi hukum di DPR berkelakuan melawan hukum, hipokrit, dan berpura-pura lupa akan sejarah sendiri.