Senin, 19 April 2010

Setujukah Anda Bila Koruptor Dihukum Mati Saja?

Rabu, 07 April 2010, 10:50:57 WIB Laporan: Teguh Santosa Jakarta, RMOL. Adalah Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar yang mengajukan wacana ini: hukuman mati bagi koruptor. Menurutnya, tidak hanya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Konstitusi juga memperbolehkan hukuman mati. Pernyataan itu disampaikan kader Partai Amanat Nasional (PAN) beberapa kali dalam beberapa hari ini. Pertama, usai mengikuti Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Kompleks Istana, hari Senin lalu (5/4). “Saya setuju penerapannya itu (hukuman mati). Masak kita harus berdebat terus mengenai hal itu," tandas Patrialis sambil menyinggung kasus penggelepan pajak yang dilakukan pegawai Direktor Pajak Kementerian Keuangan, Gayus Tambunan, yang menurutnya “harus dihajar dengan hukuman yang lebih berat dan keras lagi.” Sehari kemudian (Selasa , 6/4), Patrialis mengulangi pernyataannya. Kali ini, menurut mantan anggota komisi hukum DPR RI itu, tidak semua koruptor layak dihukum mati. Hanya koruptor yang mengambil urang rakyat dalam keadaan negara mengalami krisis dan bencana alam, misalnya, yang layak dihukum mati seperti di China. Dia juga mengatakan bahwa tidak semua koruptor dapat dihukum mati, karena ada koruptor yang korupsi tidak untuk memperkaya diri sendiri. “Misalnya, ada pejabat yang korupsi karena salah manajemen. Orang tersebut baik, terlalu lugu, lalu main tanda tangan saja. Tidak ada kerugian negara yang dia makan, tapi akibatnya ada kerugian yang diderita negara. Nah, yang seperti ini juga enggak pantes dihukum mati,” jelas Patrialis. Dalam wawancara dengan BBC, Patrialis pun menyamakan koruptor dengan penghianat bangsa. Mereka berkhianat, karena telah diberi kepercayaan untuk mengelola keuangan negara, tetapi malahan mereka memakan uang negara itu. Dia juga menyebut korupsi sama dengan kejahatan luar biasa yang menghancurkan negara. Tetapi pernyataan Patrialis Akbar ini dipandang sebagai wujud dari ketidakmampuan pemerintah menanggulangi korupsi yang bersimaharajalela. Ini adalah sebuah bentuk dari kebingungan, kata Direktur Setara Institute, Hendardi. Kebingungan ini, menurut Hendardi, terjadi pemerintah memang setengah hati dalam memberantas korupsi. Ada praktik tebang pilih, serta masih ditunggangi orang-orang yang tidak bersih. Upaya untuk menerapkan metode pembuktian terbalik, misalnya, pun tak pernah serius dilakukan. Sejatinya, masih menurut Hendardi, jaminan atas hak hidup merupakan hak fundamental yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun dan tidak bisa ditunda pemenuhannya (non derogable rights), karena itu sama sekali tidak dibenarkan adopsi hukuman mati dalam praktik penegakan hukum. Bila ada peraturan hukum di Indonesia yang memperbolehkan hukuman mati, mata sebaiknya Kementerian yang kini dipimpin Patrialis Akbar harus melakukan upaya serius untuk mengharmonisasi peraturan itu dengan komitmen pemerintahan Indonesia untuk menegakkan hak asasi manusia secara holistik, seperti yang tercantum dalam UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, dan UUD 1945. Di luar perdebatan itu, satu hal yang pasti adalah, Indonesia telah menjadi ladang persemaian korupsi yang subur. Dalam survei yang digelar Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong baru-baru ini disebutkan bahwa Indonesia kini adalah negara Asia dengan indeks korupsi tertinggi, sebesar 9,07 dari angka tertinggi 10. Ini artinya, petaka korupsi di Indonesia hampir-hampir sempurna. Nah, bagaimana menurut Anda? Apakah hukuman mati akan dapat secara efektif mengurangi korupsi di negeri ini?

Tidak ada komentar: