Sabtu, 05 Februari 2011

Komisi Hukum Melawan Hukum
Sabtu, 05 Februari 2011 00:00 WIB      


KOMISI III DPR adalah komisi hukum. Namun, inilah komisi hukum yang tidak mengindahkan pimpinan KPK sebagai penegak hukum. Bahkan, juga tidak menghormati undang-undang yang memberi kewenangan hukum kepada Jaksa Agung untuk melakukan pendeponiran.

Hal itu terjadi dalam rapat dengar pendapat pada 31 Januari 2011. Komisi III menolak kehadiran pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah dengan alasan status tersangka masih melekat pada Bibit-Chandra, meski Jaksa Agung telah mendeponir perkara mereka.

Hujan interupsi yang terjadi saat itu lebih merupakan kegaduhan yang sarat dendam dan kepentingan. Rapat menolak Bibit-Chandra itu berlangsung hanya tiga hari setelah KPK menjebloskan ke dalam tahanan 19 politikus, anggota/mantan anggota DPR, terkait kasus dugaan suap cek pelawat Bank Indonesia.

Mendeponir adalah menyampingkan perkara demi kepentingan umum, yang merupakan tugas dan wewenang Jaksa Agung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Mendeponir perkara Bibit-Chandra dilakukan Jaksa Agung yang definitif. Jadi, itu memiliki kekuatan hukum yang kuat dan tetap.

Lagi pula, Bibit dan Chandra bukan pimpinan KPK palsu, liar, atau gadungan. Keduanya pimpinan KPK yang resmi dan sah. Keppres No 101/P/2009 yang mengangkat mereka menjadi pimpinan KPK belum pernah dicabut Presiden. Dari sudut pandang itu, Komisi III sebenarnya juga tidak mengindahkan keppres tersebut.

Komisi III DPR juga layak dinilai tidak pernah membuka Pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Di situ disebutkan kepemimpinan KPK bersifat kolektif. Menolak seorang saja pemimpin KPK sama artinya dengan menolak seluruh pemimpin KPK.

Begitulah, Komisi III DPR telah melawan tiga aturan hukum sekaligus. Pertama, melawan keppres yang mengangkat Bibit-Chandra. Kedua, melawan Undang-Undang Kejaksaan yang mengatur tugas dan wewenang Jaksa Agung untuk menyampingkan perkara. Ketiga, melawan Undang-Undang KPK yang mengatur pimpinan KPK bersifat kolektif. Padahal, undang-undang itu dibuat DPR dan Bibit-Chandra juga hasil seleksi DPR.

Yang tidak kalah penting untuk ditegaskan, Komisi III tidak hanya melawan hukum, tetapi juga hipokrit. Ada anggota Komisi III yang berstatus tersangka, tetapi Komisi III tidak menyuruh keluar orang itu dari rapat-rapat Komisi III.

Bahkan, sekali lagi perlu digarisbawahi, DPR pun pernah dipimpin seorang terdakwa. Semua itu telah menjadi sejarah yang sepertinya pura-pura dilupakan Komisi III.

Celakalah negeri ini bila komisi hukum di DPR berkelakuan melawan hukum, hipokrit, dan berpura-pura lupa akan sejarah sendiri.

Minggu, 23 Januari 2011

Satgas Pemberantasan Mafia Hukum diminta dipertahankan
Oleh Linda T. Silitonga | Created On: 23 January 2011
 
JAKARTA: Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Andrinof Chaniago mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap mempertahankan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, yang dinilai telah memberikan peran untuk mempercepat pemberantasan mafia hukum di dalam negeri.

Andrinof mengatakan mengenai adanya ‘nyanyian’ mafia pajak Gayus Tambunan yang mengutarakan ada ‘skenario’ yang dibuat oleh Satgas, tinggal diuji kebenarannya oleh lembaga penegak hukum.

“Dengan maksud dan tujuan untuk mempercepat pemberantasan mafia hukum, saya setuju [jika Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tetap dipertahankan],” kata Andrinof saat dihubungi lewat telepon genggamnya hari ini.

Dia mengatakan jika tidak ada Satgas, mungkin adanya sel mewah di rumah tahanan tidak terkuak. Seperti yang ditemukan Satgas ketika melakukan inspeksi mendadak di rumah tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, yang menemukan beberapa napi memiliki ruang khusus selain sel penjara, di  antaranya adalah Artalyta Suryani, tersangka kasus penyuapan Jaksa Urip Trigunawan.

Sementara jika lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan serta Kementerian Hukum dan HAM sudah memiliki kinerja yang diharapkan, Andrinof menyatakan setuju dengan pendapat Presiden Yudhoyono bahwa hal itu akan menjadikan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tidak diperlukan lagi.

“Selama Satgas ada, kepolisian dan kejasaan harus meningkatkan kinerja dan menyiapkan institusinya supaya mampu menangani sendiri semua urusan penegakan hukum di bidangnya. Kalau sudah mampu, maka Satgas memang harus harus dibubarkan, karena Satgas merupakan lembaga ad hoc,” kata Andrinof.

Seperti diketahui ketika Satgas Pemberantasana Mafia Hukum menyerahkan laporan tertulisnya pada Presiden Yudhoyono di kediamannya di Cikeas kemarin (22 Januari 2011), Kepala Negara mengatakan Satgas bukan merupakan lembaga yang permanen.

Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha mengatakan Kepala Negara menegaskan jika lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisan dan kejaksaan sudah berjalan seperti yang diharapkan, bukan tidak mungkin Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tidak diperlukan lagi.

“Untuk mendukung pemberantasan dan perang melawan korupsi maka Satgas Pemberantasan Mafia hukum itu diperlukan. Bilamana pada saatnya nanti dianggap bahwa lembaga [penegak hukum] yang ada telah berjalan dengan optimal maka tidak perlu  lagi ada Satgas,” kata Julian.

Selanjutnya Kepala Negara, papar Julian, mengatakan bahwa keberadaan Satgas merupakan satuan tugas yang dibentuk oleh Presiden untuk mensinergikan peran tugas dan fungsi dari lembaga penegak hukum  lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan untuk mendukung pemberantasan dan perang melawan korupsi.

Seperti diketahui Satgas Pemberantasan Mafia Hukum menjadi sorotan, setelah mafia pajak Gayus Tambunan ‘bernyanyi’ usai vonis dijatuhkan kepadanya di PN Jaksel bahwa  ada ‘skenario’ Satgas.

Satgas Pemberantasan Mafia Hukum langsung memberikan bantahannya atas sejumlah pernyataan Gayus tentang lembaga tersebut dalam waktu 1x24 jam sesuai instruksi Presiden, dengan menggelar jumpa pers. Sementara laporan tertulisnya disampaikan ke Presiden pada 22 Januari 2011. (msw)
AddThis Social Bookmark Button