Jumat, 27 Mei 2011

Kamis, 26/05/2011 16:40 WIB
700 Lebih Kasus Tanah di Sumut Tak Kunjung Selesai 
Khairul Ikhwan - detikNews



Medan - Kasus-kasus penyerobotan tanah di Sumatera Utara (Sumut) yang terjadi sejak zaman Orde Baru hingga sekarang, masih tak kunjung tuntas. Jumlahnya diperkirakan mencapai 700 kasus dan menyangkut ratusan ribu hektar tanah yang diserobot.

Anggota Komisi A DPRD Sumut Syamsul Hilal menyatakan, kasus-kasus tanah itu tidak kunjung bisa diselesaikan karena tidak adanya kemauan secara politik dari para pejabat publik, seperti bupati maupun Gubernur Sumut.

"Selama tidak ada political will, maka kasus-kasus ini tidak akan selesai," tukas Syamsul Hilal di hadapan ratusan mahasiswa yang hadir dalam rangkaian seminar 'Ini Medan Demokrasi Bung' yang berlangsung Kamis (26/5/2011) di Gelanggang Mahasiswa di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.

DPRD Sumut, kata Hilal, berbagai upaya terus dilakukan untuk mengatasi persoalan-persoalan tanah yang terus muncul ini. Masalahnya, mencakup banyak hal. Baik di level pemerintah daerah, maupun perusahaan perkebunan swasta maupun milik negara yang melakukan penyerobotan tanah itu di masa lalu. Tiga perusahaan perkebunan milik negara di Sumut, yakni PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 2, PTPN 3, dan PTPN 4 bagian dari persoalan ini.

"Maka itu, sekarang ini sedang diupayakan pembentukan Panitia Khusus atau Pansus Tanah yang akan mengupayakan penyelesaian kasus-kasus ini," kata Syamsul Hilal dalam kesempatan yang turut dihadiri wakil Ketua DPRD Sumut Sigit Pramono Asri.

Sebenarnya, kata Hilal, pada masa Gubernur Rizal Nurdin, sudah dibentuk tim B-Plus yang tugasnya khusus untuk mengiventarisir persoalan tanah yang ada di Sumut dan kemudian menjadi tim yang menyelesaikan persoalan itu, mencari solusi-solusi masalahnya. Namun kemudian setelah Rizal meninggal dunia, gubernur berikutnya tidak melanjutkan upaya itu, mulai dari Rudolf M Pardede, Syamsul Arifin, hingga Gatot Pujonugroho yang saat ini menjabat Gubernur Sumut.

Kasus perampokan tanah di Sumut pada masa lalu dilakukan perusahaan-perusahaan perkebunan yang mendapat Hak Guna Usaha (HGU). Ini menyebabkan munculnya korban-korban. Kisah-kisah memilukan itu bisa ditemukan sampai sekarang, termasuk misalnya 119 orang yang hilang dari satu desa di Labuhan Batu karena masalah tanah.

"Ada satu desa di Labuhan Batu, warganya yang hilang mencapai 119 orang karena masalah tanah pada tahun 1965. Mereka ditangkap, diduga dibunuh, namun mayatnya tidak pernah ditemukan. Tidak ada yang tahu di mana pusara mereka ini semua, termasuk kepala desanya juga ditangkap tentara pada waktu itu," kata Hilal.

(rul/rdf)

Minggu, 27 Maret 2011

Pembahasan Tanah HGU PTPN II Diklaim Kelompok Tani di DPRDSU Ricuh

Medan, (Analisa)

Rapat dengar pendapat (Radep) membahas tanah HGU PTPN II di Kebun Helvetia yang diklaim kelompok tani masyarakat Mega Gotong Royong seluas 1.128,35 ha dipimpin anggota komisi H Syamsul Hilal, Kamis (24/3) di Komisi A DPRD Sumut ricuh, Karena pimpinan rapat mengusir asisten I Pemkab Deliserdang dianggap tidak berkompeten menjelaskan persoalan tanah antara kelompok tani dengan PTPN II.

Dalam kesempatan itu, asisten I Pemkab Deliserdang berupaya menjelaskan kredibilitasnya menghadiri rapat tersebut, tapi pimpinan rapat Syamsul Hilal tidak memberi kesempatan, sehingga sempat terjadi adu argumentasi mengakibatkan Syamsul dengan nada tinggi mengusirnya keluar dari ruang rapat.

Melihat situasi itu, anggota Komisi A Oloan Simbolon maupun Pasiruddin Daulay mengusulkan agar rapat ditunda, jika yang hadir dalam pertemuan itu dianggap tidak berkompeten. Namun Syamsul Hilal tetap bersikukuh melanjutkan rapat yang sudah dihadiri pihak Kodam I/BB, Poldasu dan Polres.

Diakhir rapat sempat juga terjadi kericuhan, karena kesimpulan rapat yang dibacakan Syamsul Hilal dianggap terlalu memihak masyarakat, sehingga humas PTPN II keberatan minta pimpinan rapat agar tidak melakukan dikotomi antara kelompok tani dengan karyawan PTPN II. “Karyawan PTPN II juga bagian dari rakyat, harusnya jangan ada dikotomi,” ujarnya.

Dalam pertemuan itu, sebelumnya anggota Komisi A Oloan Simbolon dan Suasana Dachi menyarankan, perlu dicek keabsahan data sertifikat yang dimiliki rakyat, karena dikhawatirkan ada data yang rentang kepemilikan dari 51 bentuk surat dimiliki kelompok tani dikeluarkan diatas objek tanah yang berbeda. Demikian halnya, BPN mengeluarkan sertifikat HGU diatas objek yang sama, sehingga dikhawatirkan cacad hukum.

Sementara Humas PTPN II Jhon Modal menyebutkan, kebun Helvetia sesuai sertifikat HGU No 111/Helvetia seluas 1.128,35 ha tertanggal 19 Juni 2003 berakhir 2028 dan PTPN II diwajibkan mempergunakan tanah dengan usaha perkebunan secara produktif. “Dari sertifikat itu, PTPN II berhak dan berwenang menguasai dan mengusahai areal, mengingat penggunaan areal HGU PTPN II khusus kebun Helvetia telah ditetapkan dalam RKAP (Rencana Kerja Anggaran Perusahaan) telah disetujui Meneg BUMN,” ujarnya.

Tahun 2002 di kebun Helvetia ditanam tebu, tapi di areal pasar 11 Desa Manunggal sekelompok masyarakat menggarap lahan dan membabat tanaman tebu 10 ha. Management kebun telah melakukan pendekatan persuasive agar masyarakat meninggalkan areal yang digarap, tapi tidak direspon. Selanjutnya managemen mengirim surat himbauan, teguran dan peringatan, tapi tidak juga ditanggapi sehingga PTPN II berkoordinasi dengan kepolisian.

Pihak BPN Sumut menjelaskan kronologis tanah yang dikeluarkan berdasarkan Kepmendagri tahun 1951 awalnya seluas 125.000 ha dan SK Gubsu disebutkan tanah itu sebagai tanah suguhan. Sertifikat-sertifikat HGU yang diterbitkan atas nama PTPN II eks PTP IX merupakan hasil rekomendasi dari PTP IX bersih dari garapan yang dilindungi UU.

 “Dengan memperhatikan surat Kepala BPN No 540.1-1138 tanggal 10 Mei 2004 ditujukan kepada Sekjen Up Kepala Biro Persidangan DPR-RI perihal penjelasan masalah tanah eks consessie NV Van Deli Maatschappij yang diredistribusian kepada masyarakat petani penggarap dan posisi tanah PTPN II bahwa tuntutan suguhan maupun tuntutan yang mempergunakan bukti-bukti garapan baik SKPT-SL, KTPPT tidak ada lagi diatas tanah HGU PTPN II, karena sudah diselesaikan pemerintah pada saat itu,” ujarnya. Dalam kaitan ini, pihak BPN juga menyarankan perlu diselidiki 10 organisasi tidak terdaftar dalam kepengurusan tanah yang dikalim. (di)