Rabu, 28 April 2010

Menkeu: UU Pengadilan Pajak Segera Direvisi

Menkeu: UU Pengadilan Pajak Segera Direvisi
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak, akan segera direvisi sebagai pembenahan berdasarkan semangat reformasi birokrasi.

Revisi menyangkut perbaikan posisi, fungsi, dan letak pengadilan pajak. Domain pengadilan pejak diperjelas kedudukannya dengan Mahkamah Agung dan ada pembenahan organisasi, administrasi, dan keuangan, kata Sri Mulyani di Gedung Kementerian Keuangan di Jakarta, Rabu.

Menkeu memberikan keterangan pers usai menerima kedatangan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, serta pejabat dari Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial (KY).

Konferensi pers itu juga diikuti Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Koentoro Mangkusubroto, Sekretaris Satgas Denny Indrayana, Ketua KY Busro Muqoddas, Ketua Muda bidang pembinaan Mahakamah Agung (MA) Paulus Effendi Lotulong dan Sekretaris Jenderal Kementerian keuangan Mulia P Nasution.

Menurut Menkeu, revisi UU tersebut membutuhkan bantuan dari akademisi, LSM, serta persatuan profesi yang relevan untuk merumuskan tujuan dan fungsi peradilan pajak, yudisial secara kredibel serta kepastian terhadap perkara dan kredibilitas hakim pajak sendiri.

"Masukan tersebut untuk perbaikan fungsi pengadilan pajak agar kredibel dan memberi kepastian kepada Wajib Pajak dan hakim pajak sendiri yang mungkin dijalankan dalam jangka panjang karena menyangkut dari sisi legislasi," ujar Menkeu.

Ia mengharapkan, dalam enam bulan kedepan, juga akan dilakukan perbaikan administrasi perkara, transparansi, dan penyimpangan (disclosure) oleh sekretariat pengadilan pajak, dan nantinya 12 ribu perkara pajak yang belum masuk dalam pengadilan pajak akan masuk sistem komputerisasi.

"Itu perlu disampaikan secara terbuka dan keputusan tersebut dibuat untuk masyarakat sehingga ada kepastian serta transparansi dari sisi kasus maupun konsistensi keputusan pengadilan pajak yang dianggap sama," ujarnya.

Menkeu juga menambahkan kedatangan tiga institusi tersebut dalam rangka untuk memperbaiki pengadilan pajak, serta membenahi kasus-kasus yang berkaitan fungsi serta tugas untuk mengamankan dan memberikan kepastian untuk para wajib pajak.

"Dari pemaparan satgas dan temuan-temuan serta observasi maupun berbagai laporan menunjukkan adanya kelemahan dalam pengadilan pajak, mulai dari hulu rekrutmen, administrasi perkara dan karir hakim pajak, dari organisasi sampai pelaksanaan fungsi tugas teknis yudisial dan transparasi perkara hasil keputusan," ujar Menkeu.

MA, KY serta Satgas juga menyampaikan pandangan landasan hukum untuk membenahi UU pengadilan pajak serta perbaikan pembinaan hakim secara hukum dalam domain MA, ditambah adanya penegasan dari sisi pengawasan dan penegakkan kode etik dari majelis kehormatan pengadilan pajak.

Menkeu menegaskan dalam jangka pendek, akan segera dibuat tim yang terdiri dari MA, KY, Kemenkeu, Peradilan Pajak dan Satgas yang melakukan formulasi dalam bentuk nota kesepahaman untuk pembenahan UU pengadilan pajak.

Kemudian, ia mengungkapkan, dibutuhkan perbaikan dan kewenangan pasti dalam pengadilan pajak seperti rekrutmen hakim pajak, kualifikasi hakim serta kriteria cara rekrutmen.

"Perbaikan kualifikasi akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) namun setelah mendapatkan masukan jangka pendek dari tim MA, KY, Kemenkeu dan Satgas," ujar Menkeu.

Dan dibutuhkan penyerahan laporan harta kekayaan pejabat negara untuk menjawab integritas hakim pajak, yang akan dilihat mekanisme verifikasi dan pencocokan dengan PPATK dan SPT sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang transparan mengenai kekayaan.

"Nanti kita kaitkan dengan verifikasi SPT maupun laporan PPATK yang dianggap mencurigakan," ujar Menkeu.

(ANT/S026)

Senin, 19 April 2010

Setujukah Anda Bila Koruptor Dihukum Mati Saja?

Rabu, 07 April 2010, 10:50:57 WIB Laporan: Teguh Santosa Jakarta, RMOL. Adalah Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar yang mengajukan wacana ini: hukuman mati bagi koruptor. Menurutnya, tidak hanya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Konstitusi juga memperbolehkan hukuman mati. Pernyataan itu disampaikan kader Partai Amanat Nasional (PAN) beberapa kali dalam beberapa hari ini. Pertama, usai mengikuti Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Kompleks Istana, hari Senin lalu (5/4). “Saya setuju penerapannya itu (hukuman mati). Masak kita harus berdebat terus mengenai hal itu," tandas Patrialis sambil menyinggung kasus penggelepan pajak yang dilakukan pegawai Direktor Pajak Kementerian Keuangan, Gayus Tambunan, yang menurutnya “harus dihajar dengan hukuman yang lebih berat dan keras lagi.” Sehari kemudian (Selasa , 6/4), Patrialis mengulangi pernyataannya. Kali ini, menurut mantan anggota komisi hukum DPR RI itu, tidak semua koruptor layak dihukum mati. Hanya koruptor yang mengambil urang rakyat dalam keadaan negara mengalami krisis dan bencana alam, misalnya, yang layak dihukum mati seperti di China. Dia juga mengatakan bahwa tidak semua koruptor dapat dihukum mati, karena ada koruptor yang korupsi tidak untuk memperkaya diri sendiri. “Misalnya, ada pejabat yang korupsi karena salah manajemen. Orang tersebut baik, terlalu lugu, lalu main tanda tangan saja. Tidak ada kerugian negara yang dia makan, tapi akibatnya ada kerugian yang diderita negara. Nah, yang seperti ini juga enggak pantes dihukum mati,” jelas Patrialis. Dalam wawancara dengan BBC, Patrialis pun menyamakan koruptor dengan penghianat bangsa. Mereka berkhianat, karena telah diberi kepercayaan untuk mengelola keuangan negara, tetapi malahan mereka memakan uang negara itu. Dia juga menyebut korupsi sama dengan kejahatan luar biasa yang menghancurkan negara. Tetapi pernyataan Patrialis Akbar ini dipandang sebagai wujud dari ketidakmampuan pemerintah menanggulangi korupsi yang bersimaharajalela. Ini adalah sebuah bentuk dari kebingungan, kata Direktur Setara Institute, Hendardi. Kebingungan ini, menurut Hendardi, terjadi pemerintah memang setengah hati dalam memberantas korupsi. Ada praktik tebang pilih, serta masih ditunggangi orang-orang yang tidak bersih. Upaya untuk menerapkan metode pembuktian terbalik, misalnya, pun tak pernah serius dilakukan. Sejatinya, masih menurut Hendardi, jaminan atas hak hidup merupakan hak fundamental yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun dan tidak bisa ditunda pemenuhannya (non derogable rights), karena itu sama sekali tidak dibenarkan adopsi hukuman mati dalam praktik penegakan hukum. Bila ada peraturan hukum di Indonesia yang memperbolehkan hukuman mati, mata sebaiknya Kementerian yang kini dipimpin Patrialis Akbar harus melakukan upaya serius untuk mengharmonisasi peraturan itu dengan komitmen pemerintahan Indonesia untuk menegakkan hak asasi manusia secara holistik, seperti yang tercantum dalam UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, dan UUD 1945. Di luar perdebatan itu, satu hal yang pasti adalah, Indonesia telah menjadi ladang persemaian korupsi yang subur. Dalam survei yang digelar Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong baru-baru ini disebutkan bahwa Indonesia kini adalah negara Asia dengan indeks korupsi tertinggi, sebesar 9,07 dari angka tertinggi 10. Ini artinya, petaka korupsi di Indonesia hampir-hampir sempurna. Nah, bagaimana menurut Anda? Apakah hukuman mati akan dapat secara efektif mengurangi korupsi di negeri ini?

Minggu, 11 April 2010

KPK Periksa Harta 10 Ribu Petugas Pajak Dikirim oleh humas pada 2010/4/7 9:30:00 (368 Pembaca) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini memeriksa laporan kekayaan lebih dari 4.500 petugas pajak. 

Hal itu menyusul terungkapnya kasus mafia pajak yang melibatkan mantan staf Direktorat Keberatan dan Banding Ditjen Pajak Gayus Tambunan. Bahkan, KPK berencana memperluas upaya tersebut dengan memeriksa kekayaan seluruh pegawai pajak. ”Pemeriksaan kekayaan akan diperluas hingga mencapai 9 ribu atau 10 ribu pegawai Ditjen Pajak,” ujar Juru Bicara KPK Johan Budi ketika dihubungi kemarin (6/4). Selama ini, tutur dia, KPK hanya menelisik kekayaan pejabat eselon I hingga III di lingkungan Ditjen Pajak serta penyidik pajak. Ke depan, pemeriksaan diperluas hingga penelaah pajak, pemeriksa pajak, pimpinan proyek, pegawai bagian keberatan dan banding di pengadilan pajak, serta pejabat fungsional strategis lain. ”Perluasan pemeriksaan itu berdasar permintaan menteri keuangan,” ungkap dia. Meski demikian, pemeriksaan tersebut belum sepenuhnya bisa dilakukan. KPK masih menunggu penerbitan surat keputusan menteri keuangan. Saat ini KPK memeriksa 4.465 laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang masuk di antara total 4.670 petugas pajak. Jadi, masih ada 205 petugas pajak yang belum melaporkan harta kekayaan masing-masing. Pelaporan kekayaan bagi para pegawai pajak merupakan pemenuhan ketentuan Undang-Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). KPK juga memverifikasi kekayaan Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo. Tim KPK kemarin mendatangi kediaman pribadi Tjiptardjo di kompleks Perumahan Palem Indah Blok M No 1 RT 07 RW 02, Rempoa, Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten. Johan menjelaskan, tim mendapati Tjiptardjo memiliki rumah lain di kompleks itu yang belum dilaporkan kepada KPK. Tapi, aset tersebut belum tentu termasuk pelanggaran. Sebab, Tjiptardjo hingga saat ini belum melaporkan kekayaan selama menjabat Dirjen Pajak. Laporan terakhir diterima KPK kala Tjiptardjo menjabat direktur Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak. Total kekayaan Tjiptardjo saat itu Rp 7,024 miliar dan USD 52.624. Tiga petugas KPK meminta klarifikasi kepada Tjiptardjo selama satu jam. Mereka tiba di kediaman Tjiptardjo sekitar pukul 09.30 dengan menggunakan mobil Nopol B 1774 IR dan keluar rumah sekitar pukul 10.30. Direktur LHKPN KPK Cahya Hardianto Harefa menjelaskan, kedatangan timnya ke rumah Tjiptardjo untuk meminta klarifikasi soal kekayaan orang nomor satu di Ditjen Pajak itu. ’’Saat klarifikasi, kami menanyakan kekayaan tersebut. Dan, yang bersangkutan menunjukkan beberapa arsip (dokumen) berkaitan dengan kekayaan itu,’’ jelas Cahya. Menurut Cahya, hasil dari klarifikasi akan dilaporkan kepada pimpinan KPK. Dia belum bisa mengungkapkan dari mana saja harta kekayaan Dirjen Pajak itu. Tjiptardjo, yang ditemui di depan rumahnya setelah menerima tim KPK, membenarkan klarifikasi tersebut menanyakan harta kekayaannya selama menjabat direktur Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak. ’’Klarifikasi KPK merupakan kegiatan rutin yang dilakukan kepada pejabat tinggi. Saya diberikan salinan foto copy arsip dan saya cocokkan,’’ jelasnya. Terkait aliran dana Rp 25 milliar kepada 10 atasan Gayus Tambunan di Ditjen Pajak, Tjiptardjo belum menerima laporan. Dia malah mempertanyakan dari mana aliran dana itu bisa masuk ke rekening Gayus dan kemudian dikirimkan ke 10 atasannya. Dia mendesak agar KPK maupun polisi memeriksa ulang pernyataan Gayus. Apalagi, pernyataan Gayus yang sebelumnya mengaku dapat uang dari pengusaha Ari Kuncoro dinilai merugikan intansinya. ’’Gayus harus diperiksa ulang. Pengakuannya tidak konsisten terkait aliran dana. Jangan orang yang tidak salah jadi bersalah,’’ kata Tjiptardjo. Saat ini kata Tjiptarjo, dia telah menginstruksikan Inspektorat Jenderal dan Kepatutan Ditjen Pajak menyelidiki dan memeriksa 10 atasan Gayus. Hasil pemeriksaan harus selesai paling lambat minggu ini. Pasalnya, 10 atasan Gayus di Dirjen Pajak dikabarkan mendapatkan dana Rp 25 miliar. Sumber : Jawa Pos