Opini
Inilah Kritik kepada Presiden Itu...
Senin, 6 September 2010 | 18:38 WIB
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato mengenai
hubungan RI-Malaysia usai berbuka puasa bersama prajurit dan perwira TNI
di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (1/9/2010) petang.
Catatan Redaksi:
Tulisan yang dimuat di halaman Opini Harian Kompas ini menjadi perbincangan ramai di Twitter dan media lain. Karena itu, Redaksi Kompas.com mengangkat kembali tulisan ini.
Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan
Oleh: Adjie Suradji
Oleh: Adjie Suradji
Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.
Untuk
menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin
sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat
keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan
berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi
risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan
ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil
risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau
pencitraan lain.
Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan
tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno
membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus
Dur, dan Megawati.
Soekarno barangkali telah dilupakan orang,
tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak
Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie
dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya.
Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari
lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang
lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang
membuat mereka lengser secara tidak elegan.
Sayang, hingga
presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu
perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan
abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik,
isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa
diimplementasikan secara proporsional.
Artinya, apabila
pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia
pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa
(Ferdinand I, 1503-1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK,
Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun
hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala
perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat
berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.
Quid leges sine moribus
(Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum
dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah,
berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?
Meminjam
teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan
seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership).
Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa
keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa
keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen
visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang
diperjuangkan.
Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara
keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih
mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri
pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek
keselamatan diri pemimpin itu sendiri.
Korelasinya dengan
keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen
rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin
yang dulu pernah memimpinnya.
Memang, secara alamiah, individu
atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah
ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun,
dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah
SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari
korupsi?
Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada
komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004)
hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima
risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai
pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian
teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau
justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?
Indonesia
perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar
harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin
tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan
adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan
bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan
signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang
berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil
keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah
Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez
(Venezuela).
Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu,
semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang
kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan
pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga
komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo,
Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri,
berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali
lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa
membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar