Kamis, 22 Juli 2010

Warga Sunter Demo Balai Kota

TEMPO Interaktif, Jakarta -Sekitar lima puluh warga Sunter, Jakarta Utara, unjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, siang ini. Mereka menuntut Pemerintah Provinsi DKI untuk membayar janji menyelesaikan sengketa tanah di Sunter.

“Kami merasa dibohongi Pemerintah. Sampai sekarang belum ada tanggapan dari mereka meski kami sudah berulang kali mengirimkan surat permohonan penyelesaian ke gubernur,” kata koordinator aksi, Irwansyah.

Sengketa bermula pada 1993. Lahan berupa sawah seluas 4,2 hektare milik Abdoel Hamid, warga RW 04 Kelurahan Sunter Jaya, Jakarta Utara, tiba-tiba diuruk oleh PT. Indofica Housing. Perusahaan itu mengklaim memiliki surat perjanjian kerjasama operasional dengan Pemerintah Provinsi DKI per 7 April 1993. Tanah itu ada dalam penguasaan PT. Agung Podomoro, dan digunakan untuk perumahan mewah, serta sarana rekreasi dan olahraga.

Merasa tanahnya diserobot, para ahli waris Abdoel Hamid menanyakan status kepemilikan tanah pada PT. Agung Podomoro. Namun pihak perusahaan menyatakan bahwa tanah itu merupakan tanah Badan Pengawas Pelaksana Pembangunan Lingkungan (BP3L) Sunter dan dikuasai oleh Agung Podomoro atas dasar adanya perjanjian kerjasama Pemprov DKI-Indofica.

“Padahal kami punya akta Eigendom Verponding, sebagai bukti kepemilikan. Syarat-syarat kami lengkap, lah,” kata Irwansyah, kuasa ahli waris Abdoel Hamid. Ahli waris Abdoel Hamid merasa tak pernah melakukan transaksi penjualan tanah dengan pihak mana pun.

Menurut Irwansyah, berbagai langkah sudah pernah ditempuh ahli waris. Pada 13 Desember 1994, mereka pernah bertemu Gubernur DKI saat itu, Surjadi Soedirdja. “Pada pertemuan itu Pak Surjadi meminta PT Indofica membayar ganti rugi tanah pada kami,” ujarnya.

Pada 1998, PT Indofica pun lantas mengundang Irwansyah dkk, dan Direktur Utamanya, Trihatma K Haliman, mengatakan akan membayar gantu rugi. Namun setelah itu, tak ada kelanjutannya. Pengacara PT Indofica justru mempersilakan Irwansyah dkk lapor ke pengadilan untuk menggugat tanah itu.

Pemprov DKI pada November 2006 akhirnya memfasilitasi mediasi antara ahli waris Abdoel Hamid dengan PT Indofica. Namun setelah itu, tak ada kelanjutan proses penyelesaian sengketa tanah. “Kami tetap ingin tanah kami dikembalikan." Jika tidak bisa, Irwansyah menginginkan ganti rugi. Menurut dia,  Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di lahan sengketa itu bisa mencapai Rp 10 juta per meter persegi.

Subianti, ahli waris Abdoel Hamid, merasa kecewa dengan sikap Pemprov DKI yang tak kunjung memenuhi janjinya untuk menyelesaikan sengketa. “Saya ingin tanah kami dikembalikan,” kata perempuan 45 tahun, cucu Abdoel Hamid, yang kini akhirnya terpaksa tinggal di pinggir rel kereta api di kawasan Kebon Baru, Jakarta Selatan.

ISMA SAVITRI
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertemu Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk membahas raibnya aset negara dalam bentuk tanah dan gedung termasuk di DKI Jakarta, kemarin.

Pertemuan berlangsung di Kantor KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. "KPK mengundang BPN sebagai tindak lanjut aset negara", jelas M Sigit, Direktur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Hadir memenuhi panggilan KPK adalah Sekretaris Utama BPN M Manurung, Kepala Biro Umum Anjar, dan Simbolon, salah seorang Direktur BPN. Di pihak KPK, hadir M Sigit, Suryohadi, penasihat KPK, Adlinsyah M Nasution, ketua tim, serta 9 anggota tim.

Dalam pertemuan tersebut, KPK mempertanyakan pelayanan dan sertifikat yang dikeluarkan BPN. Tim juga membahas sertifikat PT Perkebunan Nusantara (PN) III Medan, PTPN VIII Gunung Mas, dan PT Kereta Api.

Mengenai kasus aset negara yang telah beralih kepemilikan di DKI Jakarta, Sigit mengatakan sedang mempelajari. "Kalau memang ada aset yang berpindah tangan, kami akan bicarakan dengan instansi terkait."

Terkait dengan raibnya 5.302 kendaraan dan aset berbentuk lahan milik Pemprov DKI, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar meminta supaya pejabat berwenang memberikan data. "Tolong laporkan ke KPK. Kami juga akan mengumpulkan data dan segera mengambil tindakan. Yang jelas pasti kami tindak lanjuti."

Mengenai langkah yang akan dilakukan, Haryono menjelaskan KPK akan memanggil pihak Pemprov DKI dan BPN. Aset paling mencolok yang raib adalah lahan dan gedung bekas Kantor Wali Kota Jakbar bernilai puluhan miliar.

Mantan Kepala Bagian Hukum Organisasi dan Tata Laksana Jakarta Barat Manihar Situmorang menyebutkan Yayasan Saweri Gading memenangi kasus tersebut karena mendapat surat keterangan dari tiga mantan pejabat Pemprov DKI.

Pertama, surat Sekda DKI 1994 yang menyatakan lahan di lokasi tersebut bukan milik Pemprov DKI. Kedua, surat Lurah Tomang yang menyebutkan Yayasan Saweri Gading memiliki lahan seluas 20 ribu meter persegi termasuk Kantor Wali Kota Jakbar, serta surat perintah bongkar Wali Kota Jakbar yang menguatkan Yayasan Saweri Gading sebagai pemilik lahan.

Lebih Rp15 triliun

Aset dalam bentuk lahan yang raib bernilai lebih Rp 15 triliun. Kewajiban fasos fasum 2.026 pengembang saja terealisasi Rp3,3 triliun dari puluhan triliun rupiah. DPRD DKI pada 2000 sudah meminta Kejaksaan Tinggi DKI untuk mengungkap kasus tersebut.

Di Jakut, aset milik Pemprov DKI berupa tanah seluas 26,5 ha juga terancam hilang. Lahan yang dikenal dengan Taman BMW itu diklaim perorangan dan telah mendapatkan penetapan dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Warga Jalan Sunter Muara RT 17/5, Kelurahan Sunter Agung, Donald Guilamme bin Moh Darwis mengklaim tanah tersebut milik ahli waris Saamah. Klaim itu dilakukan setelah mendapat penetapan PN Jakut nomor 164/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Ut tanggal 25 November 2005.

Dalam penetapan pengadilan yang ditandatangani hakim tunggal Saut H Pasaribu dan Panitera Pengganti Suyahyo disebutkan tanah milik Saamah berlokasi di Kampung Papanggo, Jalan RE Martadinata dan Jalan Sunter Permai Raya, Kelurahan Papanggo. Kepemilikan tto berdasarkan- Eigendom Verponding Nomor 309, surat ukur tanggal 16 Agustus 1935, yang merupakan pengganti dari surat ukur tanggal 10 November 1922 nomor 10.

Wali Kota Jakut Effendi Anas yang dimintai konfirmasi, kemarin, menegaskan tanah tersebut mumi milik Pemprov DKI. Lahan itu berasal dari kewajiban tujuh perusahaan di wilayah Jakut. Ketujuh perusahaan itu memberikan lahan Taman BMW sebagai untuk fasos/fasum.

Ketujuh perusahaan itu adalah PT Astra Internasional, PT Agung Podomoro, PT Prospect Motor, PT Indofica Housing, PT Sumber Brothers, PT REAM, dan PT Yakin Gloria.

"Kami sudah menelusuri Eigendom Verponding Nomor 309. Hasilnya, lokasi tanah tersebut pada 1935 terletak di Kampung Papanggo, sedangkan Taman BMW baru masuk dalam wilayah Kelurahan Papanggo pada 1989," tukas Effendi. ***

Sumber : Media Indonesia, 24 Juni 2008