Selasa, 17 Agustus 2010

SKB Tiga Menteri Ancam Pluralisme Tanah Air
 
Minggu, 15 Agustus 2010 17:04 WIB       
Penulis : Amahl Sharif Azwar


SKB_Tiga_Menteri_Ancam_Pluralisme_Tanah_Air_ Siti Musdah Mulia---MI/Usman Iskandar/ip
JAKARTA--MI: Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia mengemukakan desain Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang pendirian rumah ibadah telah melanggar konstitusi negara.

Menurutnya, pendirian rumah ibadah dan pelaksanaan ibadah itu sendiri sudah berbeda. Misalnya, umat Islam dimana-mana saja bisa beribadah tanpa di rumah ibadah tertentu.
"Lantas kenapa umat lain ini tidak boleh? Jadi, prinsip saya dari awal adalah keberadaan SKB 3 Menteri itu sangat bermasalah dan menganggu teman-teman minoritas," ungkap Siti yang ketika dihubungi sedang berada di depan Monumen Nasional (Monas) acara ibadah bersama Forum Solidaritas Kebebasan Beragama, Minggu (15/8).

Siti menilai ada beberapa kritik yang dapat dilancarkan terhadap SKB Tiga Menteri. Pertama, SKB Tiga Menteri dinilai tidak masuk akal karena untuk mendirikan sebuah rumah ibadah perlu ada izin dari forum SKUB. "Siapa mereka?" ujar Siti kepada Media Indonesia.

Kedua, kelompok-kelompok perwakilan yang ada di forum itu hanya berasal dari enam agama resmi yang diakui pemerintah. Hal itu merugikan kelompok lain yang tidak punya perwakilan dan tidak dapat menyuarakan kepentingan mereka. Ketiga, persetujuan 90 Kepala Keluarga (KK) sebagai syarat pendirian rumah ibadah. Siti menganggap hal ini tidak dapat dilakukan untuk tempat-tempat terpencil dimana tidak ada populasi penduduk yang cukup memenuhi kuota.

Lebih lanjut, Siti mengasumsikan pendirian rumah ibadah kelompok minoritas, di bawah SKB Tiga Menteri, harus mendapatkan izin dari kelompok mayoritas.

"Kenapa sih mesti mengotak-kotakkan masyarakat ke mayoritas dan mayoritas? Ini kan menyangkut salah satu pemenuhan hak-hak sipil yang paling mendasar yaitu masalah keyakinan," tandas Siti.

Di sisi lain, cendekiawan KH Sholahuddin Wahid menyatakan bahwa keberadaan SKB 3 Menteri itu justru cukup baik. Namun, penerapan dari SKB 3 Menteri itu masih menemui masalah. Menurut pria yang akrab dipanggil Gus Sholah itu, pemerintah daerah perlu aktif untuk menentukan dimana kelompok Nasrani dapat mendirikan gereja.

"Supaya mereka bisa membebaslan tanah itu lalu membangun gereja di atasnya," papar pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, Jawa Timur itu.

Gus Sholah kemudian menambahkan jumlah gereja yang dibangun harus sesuai dengan kebutuhan dan populasi warga Nasrani.(*/X-11)

Sabtu, 14 Agustus 2010

Hakim Harus Dibiasakan Takut Jika Buat Putusan Salah
 Ditulis oleh Administrator Kamis, 05 Agustus 2010 02:20
Jakarta (Hukum Online) - Persoalan boleh atau tidaknya memeriksa hal-hal yang berbau teknis yudisial, termasuk putusan hakim, menjadi persoalan terbesar selama 5 tahun Komisi Yudisial berdiri. Lima tahun sudah Komisi Yudisial (KY) berdiri. Sejumlah pro-kontra mengawali perjalanan lembaga yang memiliki fungsi utama menyeleksi calon hakim agung dan mengawasi perilaku hakim itu. Kewenangan yang disebut terakhir, pengawasan, kerap menimbulkan hawa panas dengan lembaga yang diawasi, yakni pihak kehakiman. Mahkamah Agung (MA) beberapa kali menyampaikan penolakannya terkait tindakan KY yang memeriksa putusan hakim. Para petinggi MA meminta KY hanya memeriksa perilaku, bukan putusan. Pasalnya, menurut mereka, bila ada yang tak sependapat dengan putusan hakim, para pihak bisa menempuh upaya hukum yang tersedia mulai dari banding, kasasi atau peninjauan kembali (PK). Sedangkan, KY menilai memeriksa putusan hakim merupakan pintu masuk untuk memeriksa perilaku hakim. Ketua KY Busyro Muqoddas mengatakan sikap MA yang tak mau diawasi terkait hal-hal berbau teknis judisial (seperti putusan) menjadi problem terbesar dalam menjalankan kewenangan KY. “Pencari keadilan juga terhambat dengan sikap MA ini,” ujarnya dalam seminar refleksi dan proyeksi lima tahun KY, Senin (2/8). Advokat Senior Todung Mulya Lubis mengatakan perlunya kompromi antara pihak Mahkamah Agung (MA) dengan KY untuk menyelesaikan persoalan ini. Di satu sisi, lanjutnya, sikap MA yang menyatakan putusan adalah mahkota hakim yang tak bisa diutak-atik kecuali melalui upaya hukum dapat dibenarkan. Namun, di sisi lain, sikap KY yang ingin menggunakan putusan sebagai pintu masuk memeriksa perilaku hakim juga tak bisa disalahkan. Todung menyarankan di era transisi, dimana MA belum terlalu mapan, ini harus dikompromikan bahwa KY bisa masuk memeriksa putusan para hakim. Todung menyebut masa transisi ini selama 10 tahun. Artinya, KY seharusnya diperbolehkan memeriksa putusan hakim selama tenggat waktu itu. Menurutnya, jangka waktu satu dasawarsa itu sudah cukup untuk membuat para hakim terbiasa lebih hati-hati dalam membuat putusan. “Setelah 10 tahun, baru KY lepas tak bisa memeriksa putusan hakim. Para hakim harus dibiasakan takut membuat putusan yang salah,” ujarnya. Namun, usulan ini tampaknya belum diterima oleh kedua belah pihak. Hakim Agung Abdul Gani Abdullah, yang hadir mewakili MA, menilai proyeksi KY ke depan harus mengacu kepada pengalaman-pengalaman sebelumnya untuk menghindari benturan dengan MA. “Satu hal yang menurut MA yang perlu ditarik manfaat referensialitas-nya oleh KY agar tidak memasuki unsur-unsur wilayah teknis peradilan yang menjadi wilayah kewenangan MA,” ujar Abdul Gani. Ia mengatakan tindakan yang melampaui kewenangan dengan memeriksa putusan hakim dapat mengganggu kemerdekaan hakim dan kekuasaan kehakiman. Lebih lanjut, Abdul Gani mengatakan seharusnya KY tak selalu mencari-cari kesalahan para hakim, melainkan juga mencari penyebab-penyebab lain mengapa terjadi judicial corruption. Ia meminta agar KY meneliti apakah gaji atau take home pay para hakim dan pejabat pengadilan lainnya sudah layak. “Apakah unsur itu turut memberikan kontribusi bagi tumbuhnya virus judicial corruption atau karena sebab lain,” tuturnya. Sebagai catatan, tiga undang-undang bidang peradilan yang baru sebenarnya telah membuka pintu bagi KY untuk menilai putusan. Diatur dalam UU Peradilan Umum, UU PTUN, dan UU Peradilan Agama, KY diberi kewenangan menilai putusan. Hanya saja, kewenangan itu dalam rangka mutasi dan promosi hakim.