Minggu, 27 Maret 2011

Pembahasan Tanah HGU PTPN II Diklaim Kelompok Tani di DPRDSU Ricuh

Medan, (Analisa)

Rapat dengar pendapat (Radep) membahas tanah HGU PTPN II di Kebun Helvetia yang diklaim kelompok tani masyarakat Mega Gotong Royong seluas 1.128,35 ha dipimpin anggota komisi H Syamsul Hilal, Kamis (24/3) di Komisi A DPRD Sumut ricuh, Karena pimpinan rapat mengusir asisten I Pemkab Deliserdang dianggap tidak berkompeten menjelaskan persoalan tanah antara kelompok tani dengan PTPN II.

Dalam kesempatan itu, asisten I Pemkab Deliserdang berupaya menjelaskan kredibilitasnya menghadiri rapat tersebut, tapi pimpinan rapat Syamsul Hilal tidak memberi kesempatan, sehingga sempat terjadi adu argumentasi mengakibatkan Syamsul dengan nada tinggi mengusirnya keluar dari ruang rapat.

Melihat situasi itu, anggota Komisi A Oloan Simbolon maupun Pasiruddin Daulay mengusulkan agar rapat ditunda, jika yang hadir dalam pertemuan itu dianggap tidak berkompeten. Namun Syamsul Hilal tetap bersikukuh melanjutkan rapat yang sudah dihadiri pihak Kodam I/BB, Poldasu dan Polres.

Diakhir rapat sempat juga terjadi kericuhan, karena kesimpulan rapat yang dibacakan Syamsul Hilal dianggap terlalu memihak masyarakat, sehingga humas PTPN II keberatan minta pimpinan rapat agar tidak melakukan dikotomi antara kelompok tani dengan karyawan PTPN II. “Karyawan PTPN II juga bagian dari rakyat, harusnya jangan ada dikotomi,” ujarnya.

Dalam pertemuan itu, sebelumnya anggota Komisi A Oloan Simbolon dan Suasana Dachi menyarankan, perlu dicek keabsahan data sertifikat yang dimiliki rakyat, karena dikhawatirkan ada data yang rentang kepemilikan dari 51 bentuk surat dimiliki kelompok tani dikeluarkan diatas objek tanah yang berbeda. Demikian halnya, BPN mengeluarkan sertifikat HGU diatas objek yang sama, sehingga dikhawatirkan cacad hukum.

Sementara Humas PTPN II Jhon Modal menyebutkan, kebun Helvetia sesuai sertifikat HGU No 111/Helvetia seluas 1.128,35 ha tertanggal 19 Juni 2003 berakhir 2028 dan PTPN II diwajibkan mempergunakan tanah dengan usaha perkebunan secara produktif. “Dari sertifikat itu, PTPN II berhak dan berwenang menguasai dan mengusahai areal, mengingat penggunaan areal HGU PTPN II khusus kebun Helvetia telah ditetapkan dalam RKAP (Rencana Kerja Anggaran Perusahaan) telah disetujui Meneg BUMN,” ujarnya.

Tahun 2002 di kebun Helvetia ditanam tebu, tapi di areal pasar 11 Desa Manunggal sekelompok masyarakat menggarap lahan dan membabat tanaman tebu 10 ha. Management kebun telah melakukan pendekatan persuasive agar masyarakat meninggalkan areal yang digarap, tapi tidak direspon. Selanjutnya managemen mengirim surat himbauan, teguran dan peringatan, tapi tidak juga ditanggapi sehingga PTPN II berkoordinasi dengan kepolisian.

Pihak BPN Sumut menjelaskan kronologis tanah yang dikeluarkan berdasarkan Kepmendagri tahun 1951 awalnya seluas 125.000 ha dan SK Gubsu disebutkan tanah itu sebagai tanah suguhan. Sertifikat-sertifikat HGU yang diterbitkan atas nama PTPN II eks PTP IX merupakan hasil rekomendasi dari PTP IX bersih dari garapan yang dilindungi UU.

 “Dengan memperhatikan surat Kepala BPN No 540.1-1138 tanggal 10 Mei 2004 ditujukan kepada Sekjen Up Kepala Biro Persidangan DPR-RI perihal penjelasan masalah tanah eks consessie NV Van Deli Maatschappij yang diredistribusian kepada masyarakat petani penggarap dan posisi tanah PTPN II bahwa tuntutan suguhan maupun tuntutan yang mempergunakan bukti-bukti garapan baik SKPT-SL, KTPPT tidak ada lagi diatas tanah HGU PTPN II, karena sudah diselesaikan pemerintah pada saat itu,” ujarnya. Dalam kaitan ini, pihak BPN juga menyarankan perlu diselidiki 10 organisasi tidak terdaftar dalam kepengurusan tanah yang dikalim. (di)
 

Selasa, 15 Februari 2011

Djoko Suyanto: Perusuh Bisa Ditembak di Tempat

Djoko Suyanto. ANTARA/Prasetyo Utomo
TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto meminta aparat penegak hukum untuk bertindak lebih tegas. Termasuk tembak di tempat jika memang diperlukan. Hal ini disampaikan Djoko menanggapi kasus penyerangan jemaah Ahmadiyah oleh seribu warga di Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten dan perusakan gereja di Temanggung, Jawa Tengah. 

Pernyataan ini disampaikan Djoko usai rapat koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Jaksa Agung Basrif Arief, Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo, dan Kepada Badan Intelijen Negara Sutanto.
Menurut Djoko, polisi bisa melakukan tindakan tembak di tempat bila perusuh sudah membahayakan nyawa orang lain. "Kalau memang diperlukan dan membahayakan nyawa orang lain, kan ada beberapa tahapan tembak di tempat, seperti dilumpuhkan dulu," kata Djoko dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (9/2).
Melumpuhkan perusuh atau pelaku kekerasan dengan lakukan tembak di tempat, kata Djoko, merupakan teknis tindakan tegas di lapangan. Tindakan tegas itu, kata dia, harus dilakukan kalau memang diperlukan. "Jangan berarti tembak di tempat itu diartikan melanggar HAM," kata dia. Sebab, jika itu dipersoalkan, yang juga harus diingat juga adalah bagaimana hak asasi manusia mereka yang akan dibunuh.
Dalam melakukan tindakan tegas, Djoko tidak hanya meminta kepada polisi. Anggota TNI yang bertugas di lapangan juga diminta bersikap serupa untuk menolong orang yang terancam jiwanya. "Kalau ada yang jiwanya terancam oleh lahar dingin saya kira sama nilainya dengan menyelamatkan jiwa seseorang dari sekelompok yang ingin main hakim sendiri," kata Djoko.
Dalam rapat koordinasi itu, Djoko menyatakan bahwa Jenderal Timur sempat mengaku ada dilema dari anggotanya yang bertugas di lapangan. Karena itu, Djoko menegaskan bahwa TNI dan polisi harus melakukan tindakan tegas yang terukur sesuai dengan kadar tindakan pelaku pidana. "Dengan prioritas sasaran yang tepat sehingga tidak menimbulkan korban yang tidak tepat."
Djoko juga mengatakan, polisi harus segera memproses orang atau sekelompok orang yang melakukan penganiayaan, pembunuhan, dan pengrusakan. Polisi juga tidak boleh menoleransi organisasi atau kelompok apa pun yang terlibat dalam tindakan kekerasan itu. "Amanat presiden, ormas yang terlibat harus diproses, ada sanksinya, termasuk pembubaran," ujarnya.
CORNILA DESYANA