Selasa, 07 September 2010

Opini
Inilah Kritik kepada Presiden Itu...
Senin, 6 September 2010 | 18:38 WIB
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato mengenai hubungan RI-Malaysia usai berbuka puasa bersama prajurit dan perwira TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (1/9/2010) petang.
Catatan Redaksi:
Tulisan yang dimuat di halaman Opini Harian Kompas ini menjadi perbincangan ramai di Twitter dan media lain. Karena itu, Redaksi Kompas.com mengangkat kembali tulisan ini.

Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan
Oleh: Adjie Suradji
Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.
Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.
Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.
Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.
Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503-1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.
Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?
Keberanian
Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.
Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.
Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.
Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?
Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?
Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).
Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.
Adjie Suradji, Anggota TNI AU

Sabtu, 04 September 2010

Penegakan Hukum tidak Boleh Pilih Kasih

Sabtu, 4 September 2010 19:19 WIB
KITA hargai langkah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mendukung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melanjutkan pengungkapan kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia. Meski setengah dari 26 anggota DPR periode 1999-2004 yang terlibat kasus suap adalah anggota PDIP, namun mereka datang menemui pimpinan KPK bukan untuk meminta agar rekan-rekannya dibebaskan dari proses hukum.

Kita tidak boleh sedikit pun surut dalam upaya pemberantasan korupsi. Semua pihak tanpa kecuali harus mendukung agar KPK menjadi institusi yang lepas dari intervensi politik mana pun, agar mereka bisa menjadi lembaga yang benar-benar bisa kita andalkan untuk membersihkan praktik korupsi.

Penegakan hukum tidak boleh pilih kasih. Apabila kita ingin menjadikan hukum sebagai pilar utama demokrasi, maka ia harus berjalan lurus dan tidak boleh goyah oleh kepentingan.

 Memang pahit rasanya ketika hukum mengena pada orang yang kita kenal. Namun seperti halnya simbol hukum, dewi keadilan matanya haruslah tertutup. Ia tidak boleh bias hanya karena hubungan pribadi. Meski ia adalah orang terdekat kita sekali pun, ketika orang itu melakukan pelanggaran hukum, maka ia harus memertanggungjawabkan perbuatannya.

Hanya saja proses pembuktian hukum haruslah  berjalan adil. Mereka yang dipersangkakan melakukan korupsi harus juga kita berikan kesempatan untuk membela diri. Kita tidak boleh sampai menghukum orang yang tidak bersalah.

Seperti harapan Fraksi PDIP, pengungkapan kasus suap jangan hanya mengena kepada yang mereka yang menerima suap. Mereka yang memberikan suap harus dimintai pertanggungjawaban. Sebab, suap tidak mungkin dilakukan sendiri. It's take two to tango, harus ada dua pihak dalam proses suap menyuap.

Sejauh ini KPK belum bertindak tegas kepada para penyuap. Meski dalam persidangan sebelumnya yang menjadikan  empat anggota DPR sebagai tersangka, terungkap nama-nama penyuap seperti Nunun Nurbaeti, namun KPK belum menindaklanjuti. Dengan alasan mengalami sakit ingatan, KPK menerima saja pengakuan itu dan tidak mencoba mencari opini kedua dari dokter lain.

Inilah yang selama ini dianggap sebagai tebang pilih. Pemberantasan korupsi seringkali tidak berlaku sama kepada setiap orang. Hanya karena memunyai akses terhadap kekuasaan, seringkali ada orang yang mendapat keistimewaan.

Keistimewaan bisa dalam bentuk terlepas dari proses hukum, tetapi bisa juga bebas dalam menjalani hukuman. Banyak orang yang sudah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung, namun tidak pernah menjalaninya karena terlebih dulu bisa kabur ke luar negeri.

Begitu banyak kasus yang seperti itu. Mulai dari Edy Tansil hingga yang terakhir Joko Tjandra. Ironisnya, mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin yang divonis dalam kasus yang sama, harus mendekam tiga tahun di dalam penjara, sementara Joko Tjandra bisa hidup bebas di Singapura.

Para penegak hukum pun tidak berupaya untuk mencari tahu di mana keberadaan sang terpidana. Sepanjang media massa tidak pernah mengangkatnya sebagai berita, seakan sah saja aparat hukum untuk tidak mengejar buronan itu.

Bahkan kuat dugaan, buronan kakap seperti itu dibiarkan bebas berkeliaran, karena bisa dijadikan kesempatan untuk memeras. Para penegak hukum bisa datang setiap saat ke tempat sang buronan, namun bukan untuk menangkap tetapi meminta sangu.

Kehadiran anggota fraksi PDIP sepantasnya membuat KPK untuk bersikap adil dan tidak tebang pilih. Kalau bukti hukum kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI memang sangat kuat, maka semua pihak yang terlibat dalam kasus suap harus diperlakukan sama, tidak boleh pilih kasih.

Melihat nama-nama orang yang terlibat dalam kasus suap, pengungkapan kasus terakhir ini bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada KPK. Namun kuncinya, KPK bukan hanya harus tegas, tetapi juga harus bersikap adil.

Sejauh ini KPK memang sudah berhasil membawa empat anggota DPR mendekam dalam penjara dalam kasus yang sama. Meski diyakini bahwa ada korupsi yang dilakukan beramai-ramai, baru kali ini 26 anggota DPR lainnya dijadikan tersangka. Tetapi masih ada penyuapnya yang belum juga tersentuh oleh KPK.

 Kita tidak boleh membiarkan kasus ini menguap begitu saja. Kita harus terus mengingatkan dan mendesak KPK untuk memproses kasus itu hingga tuntas. Kita tidak boleh bosan mengingatkan karena tanpa ada tekanan dari masyarakat, aparat kita cenderung cepat berpuas diri dan melupakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.