Sabtu, 04 September 2010

Penegakan Hukum tidak Boleh Pilih Kasih

Sabtu, 4 September 2010 19:19 WIB
KITA hargai langkah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mendukung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melanjutkan pengungkapan kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia. Meski setengah dari 26 anggota DPR periode 1999-2004 yang terlibat kasus suap adalah anggota PDIP, namun mereka datang menemui pimpinan KPK bukan untuk meminta agar rekan-rekannya dibebaskan dari proses hukum.

Kita tidak boleh sedikit pun surut dalam upaya pemberantasan korupsi. Semua pihak tanpa kecuali harus mendukung agar KPK menjadi institusi yang lepas dari intervensi politik mana pun, agar mereka bisa menjadi lembaga yang benar-benar bisa kita andalkan untuk membersihkan praktik korupsi.

Penegakan hukum tidak boleh pilih kasih. Apabila kita ingin menjadikan hukum sebagai pilar utama demokrasi, maka ia harus berjalan lurus dan tidak boleh goyah oleh kepentingan.

 Memang pahit rasanya ketika hukum mengena pada orang yang kita kenal. Namun seperti halnya simbol hukum, dewi keadilan matanya haruslah tertutup. Ia tidak boleh bias hanya karena hubungan pribadi. Meski ia adalah orang terdekat kita sekali pun, ketika orang itu melakukan pelanggaran hukum, maka ia harus memertanggungjawabkan perbuatannya.

Hanya saja proses pembuktian hukum haruslah  berjalan adil. Mereka yang dipersangkakan melakukan korupsi harus juga kita berikan kesempatan untuk membela diri. Kita tidak boleh sampai menghukum orang yang tidak bersalah.

Seperti harapan Fraksi PDIP, pengungkapan kasus suap jangan hanya mengena kepada yang mereka yang menerima suap. Mereka yang memberikan suap harus dimintai pertanggungjawaban. Sebab, suap tidak mungkin dilakukan sendiri. It's take two to tango, harus ada dua pihak dalam proses suap menyuap.

Sejauh ini KPK belum bertindak tegas kepada para penyuap. Meski dalam persidangan sebelumnya yang menjadikan  empat anggota DPR sebagai tersangka, terungkap nama-nama penyuap seperti Nunun Nurbaeti, namun KPK belum menindaklanjuti. Dengan alasan mengalami sakit ingatan, KPK menerima saja pengakuan itu dan tidak mencoba mencari opini kedua dari dokter lain.

Inilah yang selama ini dianggap sebagai tebang pilih. Pemberantasan korupsi seringkali tidak berlaku sama kepada setiap orang. Hanya karena memunyai akses terhadap kekuasaan, seringkali ada orang yang mendapat keistimewaan.

Keistimewaan bisa dalam bentuk terlepas dari proses hukum, tetapi bisa juga bebas dalam menjalani hukuman. Banyak orang yang sudah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung, namun tidak pernah menjalaninya karena terlebih dulu bisa kabur ke luar negeri.

Begitu banyak kasus yang seperti itu. Mulai dari Edy Tansil hingga yang terakhir Joko Tjandra. Ironisnya, mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin yang divonis dalam kasus yang sama, harus mendekam tiga tahun di dalam penjara, sementara Joko Tjandra bisa hidup bebas di Singapura.

Para penegak hukum pun tidak berupaya untuk mencari tahu di mana keberadaan sang terpidana. Sepanjang media massa tidak pernah mengangkatnya sebagai berita, seakan sah saja aparat hukum untuk tidak mengejar buronan itu.

Bahkan kuat dugaan, buronan kakap seperti itu dibiarkan bebas berkeliaran, karena bisa dijadikan kesempatan untuk memeras. Para penegak hukum bisa datang setiap saat ke tempat sang buronan, namun bukan untuk menangkap tetapi meminta sangu.

Kehadiran anggota fraksi PDIP sepantasnya membuat KPK untuk bersikap adil dan tidak tebang pilih. Kalau bukti hukum kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI memang sangat kuat, maka semua pihak yang terlibat dalam kasus suap harus diperlakukan sama, tidak boleh pilih kasih.

Melihat nama-nama orang yang terlibat dalam kasus suap, pengungkapan kasus terakhir ini bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada KPK. Namun kuncinya, KPK bukan hanya harus tegas, tetapi juga harus bersikap adil.

Sejauh ini KPK memang sudah berhasil membawa empat anggota DPR mendekam dalam penjara dalam kasus yang sama. Meski diyakini bahwa ada korupsi yang dilakukan beramai-ramai, baru kali ini 26 anggota DPR lainnya dijadikan tersangka. Tetapi masih ada penyuapnya yang belum juga tersentuh oleh KPK.

 Kita tidak boleh membiarkan kasus ini menguap begitu saja. Kita harus terus mengingatkan dan mendesak KPK untuk memproses kasus itu hingga tuntas. Kita tidak boleh bosan mengingatkan karena tanpa ada tekanan dari masyarakat, aparat kita cenderung cepat berpuas diri dan melupakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Tidak ada komentar: