Sabtu, 28 Agustus 2010

Hakim Mahkamah Konstitusi Harus Diawasi PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Administrator   
Jumat, 27 Agustus 2010 03:20
JAKARTA (SINDO) – Pakar hukum tata negara Universitas Khairun Ternate,Margarito Kamis, sepakat jika ada pengawasan terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini karena putusan-putusan MK,menurut Margarito, tidak konsisten. ”Untuk kasus Pilkada Kotawaringin Barat,MK dapat mendiskualifikasi calon, Surabaya diputuskan penghitungan ulang dan pemungutan ulang. Sementara daerah lain yang sama kasusnya tidak diputus serupa,” kata Margarito saat dihubungi kemarin. Menurut dia, ketidakkonsistenan hakim MK akan memunculkan pandangan miring masyarakat. Salah satu kekecewaan terkait putusan MK,massa dan lembaga swadaya masyarakat dari Seram Bagian Timur melaporkan semua hakim MK ke Mabes Polri. ”Hari ini (kemarin) rencananya semua hakim MK dan tiga panitera dilaporkan ke Mabes Polri oleh beberapa LSM dan masyarakat,” jelasnya.
Dengan kenyataan tersebut, lanjut Margarito, layak kiranya ada tim independen untuk mengawasi MK seperti usulan Ketua MK Mahfud MD. Pengawasan tersebut dinilai akan memaksimalkan MK dalam memutuskan perkara. Sebelumnya, Mahfud MD mengemukakan perlunya pengawasan atas hakim MK.Pernyataan tersebut diungkapkan Mahfud untuk kesekian kalinya. Terakhir, Mahfud mengatakannya saat silaturahmi Ramadan antara MK dengan media massa di Gedung MK (19/8). Menurut Mahfud,perihal perlunya pengawasan kepada hakim MK itu merupakan pendapat pribadi, sebab dia mengakui hakim MK sangat rawan terhadap penyimpangan. Khususnya jika idealisme hakim MK dipertanyakan.
”Saat ini tidak ada hakim yang terlibat penyuapan, tapi saya khawatir di masa yang akan datang (hal itu terjadi),” ujarnya. Dia mencontohkan, pernah tiba-tiba ada seorang wanita yang mengaku utusan Ibu Negara Ani Yudhoyono minta bertemu dengannya. Kemudian,ketika wanita tersebut bertemu Mahfud,yang dibicarakan justru masalah perkara. ”Ternyata tidak ada hubungannya dengan Bu Ani,maka langsung saya minta ibu itu keluar (keluar dari ruangannya),”katanya. Menteri Pertahanan di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid itu juga mengatakan,penyelesaian sengketa pilkada di MK juga memunculkan kerawanan.Sebab, seorang calon tidak akan segan-segan berusaha memberikan uang dalam jumlah besar kepada hakim MK.
”Betapa MK rentan soal penyuapan,maka pengawasan jadi hal penting. Itu pendapat pribadi Mahfud yang kebetulan Ketua MK,”jelasnya. Kepada media, Mahfud juga sempat mengungkapkan dirinya sepakat apabila hakim MK diawasi oleh lembaga eksternal. Hal itu diungkapkan Mahfud pada 11 Desember 2008. Guru besar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra mengaku sepakat jika hakim MK diawasi, sebab tidak mungkin kekuasaan tanpa pengawasan.Maka, ketika KY tidak mampu mengawasi MK,hal itu dapat disiasati melalui revisi UU KY.Dalam draf revisi UU KY, salah satu yang menjadi poin penting adalah adanya majelis kehormatan hakim untuk hakim MK.
”Komposisinya (majelis kehormatan) ada hakim konstitusi, kelompok masyarakat,dan kelompok lain.Saya termasuk salah satu yang mendorong itu,”jelasnya. Sementara itu,sembilan hakim MK dilaporkan ke Mabes Polri oleh pasangan calon Bupati Mukti Keliobas dan Wakil Bupati Yusuf Rumatoras dari daerah Seram Timur, Maluku,kemarin. Kedua pasangan tersebut melalui kuasa hukumnya Daniel Nirahua mengatakan, Mahfud MD dan yang lainnya dianggap telah menyalahgunakan jabatannya dalam menangani kasus pilkada di Seram Timur, Maluku.
”Mereka tidak memperhatikan fakta-fakta persidangan, padahal keterangan saksi dan bukti-bukti yang diajukan pemohon sangat jelas,” ujarnya di Mabes Polri kemarin. (kholil/sucipto)
PRAPERADILAN ELLY LASUT
Kejati Sulut Dituding
Lakukan Pembangkangan


Senin, 23 Agustus 2010

JAKARTA (Suara Karya): Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara (Sulut) dituding melakukan pembangkangan terhadap perintah pengadilan karena tidak melaksanakan putusan praperadilan atas nama Elly Lasut, Bupati Talaud nonaktif.
Kuasa hukum Elly Lasut, OC Kaligis di Jakarta, Sabtu, mengatakan, Pengadilan Negeri Manado pada 13 Agustus 2010 telah mengabulkan permohonan praperadilan Elly Lasut.
Dalam putusan praperadilan tersebut, hakim menyatakan bahwa penahanan Elly Lasut oleh penuntut umum pada Kejaksaan Tinggi Sulut tidak sah. Oleh karena itu hakim memerintahkan termohon praperadilan untuk segera membebaskan Elly Lasut dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Manado sesaat setelah putusan tersebut diucapkan.
"Faktanya Kejati Sulut tidak melaksanakan putusan praperadilan tersebut. Bahkan Kejati Sulut kembali melakukan upaya akal-akalan untuk menghindari pelaksanaan putusan praperadilan dengan cara mengajukan kasasi," kata Kaligis.
Kaligis mengatakan, sesuai ketentuan Undang-Undang No 5 tahun 2004 tentang Perubahan pertama Undang-Undang No 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung No 7 tahun 2005, kasasi atas putusan praperadilan tidak dapat diterima.
Dia juga mengatakan bahwa pada sidang praperadilan 9 Agustus 2010 pihak Kejati Sulut selaku termohon telah menghadiri persidangan.
Artinya, dengan demikian Kejati Sulut mengetahui mengenai permohonan praperadilan tersebut. Namun pada 10 Agustus, pada acara jawaban dari termohon, Kejati Sulut melimpahkan berkas perkara ke pengadilan pada pukul 13.00 Wita.
"Pelimpahan berkas perkara itu dilakukan Kejati Sulut untuk menghindari pelaksanaan putusan praperadilan dan melemparkan tanggung jawab ke PN Manado,"kata Kaligis.
Dia mengatakan, sebenarnya sejak 20 Juli 2010 Elly Lasut tidak boleh ditahan oleh kejaksaan. Hal ini sesuai dengan surat Jampidsus kepada seluruh kepala kejaksaan tinggi No.B-217/F/Fd.1/02/2009 tertanggal 2 Februari dan surat pada Mei 2010 yang intinya menyatakan penanganan perkara pidana korupsi saat pemilu ditengarai ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan isu tindak pidana korupsi untuk merusak pencitraan, bahkan menggagalkan pencalonan pihak tertentu.
Kaligis mengatakan, dengan putusan praperadilan tersebut PN Manado harus membuat penetapan untuk mengembalikan berkas perkara yang dikirim oleh jaksa penuntut umum yang tidak sah agar diselesaikan secara benar, dengan membuat surat perintah penunjukan penuntut umum (P-16 a) kemudian diproses secara benar untuk dilimpahkan ke PN Manado.
"Setelah itu perkara atas nama Elly Lasut dapat dilaksanakan.Kalau perkara dipaksakan untuk disidang, maka semua proses dalam persidangan tidak sah, termasuk hakim, jaksa dan semua acara persidangan,"kata Kaligis. (Lerman Sipayung)

Minggu, 22 Agustus 2010


  Transparansi dan Akuntabilitas, Persoalan Mendasar Pelayanan Publik
Dikirim oleh humas pada 2010/8/19 12:00:00

Jakarta, 19 Agustus 2010. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelenggarakan rapat evaluasi supervisi peningkatan pelayanan publik untuk mendorong agar secepatnya ada perbaikan signifikan di sektor layanan publik. KPK kerap menemukan persoalan mendasar dalam pelayanan publik, yaitu belum transparan dan akuntabelnya pelayanan serta prosedur yang panjang. Demikian disampaikan Wakil Ketua KPK, Mochammad Jasin dalam rapat evaluasi supervisi di Balai Agung, Kantor Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jl. Medan Merdeka Selatan No. 8 – 9 Jakarta Pusat, hari ini (19/8).
Berdasarkan pantauan KPK terhadap unit-unit pelayanan publik di lingkungan DKI Jakarta, baik instansi vertikal maupun horizontal, masih ditemukan sejumlah kekurangan yang harus diperbaiki. Misalnya, pengenaan biaya tambahan yang tidak jelas, petugas yang mempersulit penyelesaian dan  bahkan mengarahkan untuk menggunakan jasa calo, perlakuan diskriminatif terhadap pengguna layanan yang mengurus sendiri dibandingkan yang menggunakan calo, masih  ditemukan pembayaran tidak di kasir, bahkan secara sembunyi-sembunyi di tempat-tempat tertentu, dan masih ada pelayanan jalan pintas dengan biaya lebih yang diberikan kepada petugas. “Masyarakat juga perlu 'dididik' untuk tidak melakukan jalan pintas dalam memperoleh pelayanan, sebab dapat menyuburkan praktik-praktik korupsi”, tambah Jasin.
Di sisi lain, KPK juga memberikan apresiasi kepada 5 pemerintah kota di DKI Jakarta terhadap sejumlah perbaikan yang dilakukan. Beberapa unit layanan di 5 pemkot tersebut telah menerima sertifikasi ISO serta memperoleh penghargaan nasional dan internasional. Perbaikan lainnya, sebagai contoh,  di Jakarta Timur, dalam pengurusan KIR, Dinas Perhubungan Provinsi DKI mewajibkan setiap penguji KIR untuk langsung datang ke loket-loket dan tidak berhubungan dengan perantara. Informasi ini diumumkan setiap 10 menit melalui pengeras suara. Selain itu, juga dibuat papan informasi mengenai prosedur pengujian, biaya uji, hingga larangan berhubungan dengan perantara dalam mengurus perpanjangan uji KIR. Di BPN Jakarta Barat dipasang papan pengumuman yang berisi larangan memberi/menerima imbalan, dan penerapan sanksi yang tegas kepada petugas yang menerima imbalan. Di Jakarta Pusat, perbaikan layanan publik di antaranya dilakukan dengan penambahan unit pelayanan prima terpadu, pengembangan jaringan informasi dan komunikasi serta perubahan layanan manual ke elektronik. Di Jakarta Utara sendiri terdapat 6 unit layanan publik yang telah menerima sertifikasi ISO. Sedangkan di Jakarta Selatan, upaya pencegahan korupsi dilakukan dengan mencanangkan penandatanganan Kontrak Indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicator). 
Dalam rapat tersebut, KPK kembali mengharapkan komitmen tinggi instansi-instansi layanan publik untuk secara konsisten melaksanakan rencana tindak yang telah dibuat. Rapat evaluasi ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap layanan publik di DKI Jakarta, sebagai bagian program supervisi KPK di sektor pencegahan korupsi, yang didasarkan pada hasil survei integritas KPK 2008.
Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
Johan Budi SP

Selasa, 17 Agustus 2010

SKB Tiga Menteri Ancam Pluralisme Tanah Air
 
Minggu, 15 Agustus 2010 17:04 WIB       
Penulis : Amahl Sharif Azwar


SKB_Tiga_Menteri_Ancam_Pluralisme_Tanah_Air_ Siti Musdah Mulia---MI/Usman Iskandar/ip
JAKARTA--MI: Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia mengemukakan desain Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang pendirian rumah ibadah telah melanggar konstitusi negara.

Menurutnya, pendirian rumah ibadah dan pelaksanaan ibadah itu sendiri sudah berbeda. Misalnya, umat Islam dimana-mana saja bisa beribadah tanpa di rumah ibadah tertentu.
"Lantas kenapa umat lain ini tidak boleh? Jadi, prinsip saya dari awal adalah keberadaan SKB 3 Menteri itu sangat bermasalah dan menganggu teman-teman minoritas," ungkap Siti yang ketika dihubungi sedang berada di depan Monumen Nasional (Monas) acara ibadah bersama Forum Solidaritas Kebebasan Beragama, Minggu (15/8).

Siti menilai ada beberapa kritik yang dapat dilancarkan terhadap SKB Tiga Menteri. Pertama, SKB Tiga Menteri dinilai tidak masuk akal karena untuk mendirikan sebuah rumah ibadah perlu ada izin dari forum SKUB. "Siapa mereka?" ujar Siti kepada Media Indonesia.

Kedua, kelompok-kelompok perwakilan yang ada di forum itu hanya berasal dari enam agama resmi yang diakui pemerintah. Hal itu merugikan kelompok lain yang tidak punya perwakilan dan tidak dapat menyuarakan kepentingan mereka. Ketiga, persetujuan 90 Kepala Keluarga (KK) sebagai syarat pendirian rumah ibadah. Siti menganggap hal ini tidak dapat dilakukan untuk tempat-tempat terpencil dimana tidak ada populasi penduduk yang cukup memenuhi kuota.

Lebih lanjut, Siti mengasumsikan pendirian rumah ibadah kelompok minoritas, di bawah SKB Tiga Menteri, harus mendapatkan izin dari kelompok mayoritas.

"Kenapa sih mesti mengotak-kotakkan masyarakat ke mayoritas dan mayoritas? Ini kan menyangkut salah satu pemenuhan hak-hak sipil yang paling mendasar yaitu masalah keyakinan," tandas Siti.

Di sisi lain, cendekiawan KH Sholahuddin Wahid menyatakan bahwa keberadaan SKB 3 Menteri itu justru cukup baik. Namun, penerapan dari SKB 3 Menteri itu masih menemui masalah. Menurut pria yang akrab dipanggil Gus Sholah itu, pemerintah daerah perlu aktif untuk menentukan dimana kelompok Nasrani dapat mendirikan gereja.

"Supaya mereka bisa membebaslan tanah itu lalu membangun gereja di atasnya," papar pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, Jawa Timur itu.

Gus Sholah kemudian menambahkan jumlah gereja yang dibangun harus sesuai dengan kebutuhan dan populasi warga Nasrani.(*/X-11)

Sabtu, 14 Agustus 2010

Hakim Harus Dibiasakan Takut Jika Buat Putusan Salah
 Ditulis oleh Administrator Kamis, 05 Agustus 2010 02:20
Jakarta (Hukum Online) - Persoalan boleh atau tidaknya memeriksa hal-hal yang berbau teknis yudisial, termasuk putusan hakim, menjadi persoalan terbesar selama 5 tahun Komisi Yudisial berdiri. Lima tahun sudah Komisi Yudisial (KY) berdiri. Sejumlah pro-kontra mengawali perjalanan lembaga yang memiliki fungsi utama menyeleksi calon hakim agung dan mengawasi perilaku hakim itu. Kewenangan yang disebut terakhir, pengawasan, kerap menimbulkan hawa panas dengan lembaga yang diawasi, yakni pihak kehakiman. Mahkamah Agung (MA) beberapa kali menyampaikan penolakannya terkait tindakan KY yang memeriksa putusan hakim. Para petinggi MA meminta KY hanya memeriksa perilaku, bukan putusan. Pasalnya, menurut mereka, bila ada yang tak sependapat dengan putusan hakim, para pihak bisa menempuh upaya hukum yang tersedia mulai dari banding, kasasi atau peninjauan kembali (PK). Sedangkan, KY menilai memeriksa putusan hakim merupakan pintu masuk untuk memeriksa perilaku hakim. Ketua KY Busyro Muqoddas mengatakan sikap MA yang tak mau diawasi terkait hal-hal berbau teknis judisial (seperti putusan) menjadi problem terbesar dalam menjalankan kewenangan KY. “Pencari keadilan juga terhambat dengan sikap MA ini,” ujarnya dalam seminar refleksi dan proyeksi lima tahun KY, Senin (2/8). Advokat Senior Todung Mulya Lubis mengatakan perlunya kompromi antara pihak Mahkamah Agung (MA) dengan KY untuk menyelesaikan persoalan ini. Di satu sisi, lanjutnya, sikap MA yang menyatakan putusan adalah mahkota hakim yang tak bisa diutak-atik kecuali melalui upaya hukum dapat dibenarkan. Namun, di sisi lain, sikap KY yang ingin menggunakan putusan sebagai pintu masuk memeriksa perilaku hakim juga tak bisa disalahkan. Todung menyarankan di era transisi, dimana MA belum terlalu mapan, ini harus dikompromikan bahwa KY bisa masuk memeriksa putusan para hakim. Todung menyebut masa transisi ini selama 10 tahun. Artinya, KY seharusnya diperbolehkan memeriksa putusan hakim selama tenggat waktu itu. Menurutnya, jangka waktu satu dasawarsa itu sudah cukup untuk membuat para hakim terbiasa lebih hati-hati dalam membuat putusan. “Setelah 10 tahun, baru KY lepas tak bisa memeriksa putusan hakim. Para hakim harus dibiasakan takut membuat putusan yang salah,” ujarnya. Namun, usulan ini tampaknya belum diterima oleh kedua belah pihak. Hakim Agung Abdul Gani Abdullah, yang hadir mewakili MA, menilai proyeksi KY ke depan harus mengacu kepada pengalaman-pengalaman sebelumnya untuk menghindari benturan dengan MA. “Satu hal yang menurut MA yang perlu ditarik manfaat referensialitas-nya oleh KY agar tidak memasuki unsur-unsur wilayah teknis peradilan yang menjadi wilayah kewenangan MA,” ujar Abdul Gani. Ia mengatakan tindakan yang melampaui kewenangan dengan memeriksa putusan hakim dapat mengganggu kemerdekaan hakim dan kekuasaan kehakiman. Lebih lanjut, Abdul Gani mengatakan seharusnya KY tak selalu mencari-cari kesalahan para hakim, melainkan juga mencari penyebab-penyebab lain mengapa terjadi judicial corruption. Ia meminta agar KY meneliti apakah gaji atau take home pay para hakim dan pejabat pengadilan lainnya sudah layak. “Apakah unsur itu turut memberikan kontribusi bagi tumbuhnya virus judicial corruption atau karena sebab lain,” tuturnya. Sebagai catatan, tiga undang-undang bidang peradilan yang baru sebenarnya telah membuka pintu bagi KY untuk menilai putusan. Diatur dalam UU Peradilan Umum, UU PTUN, dan UU Peradilan Agama, KY diberi kewenangan menilai putusan. Hanya saja, kewenangan itu dalam rangka mutasi dan promosi hakim.