Rabu, 27 Oktober 2010

Advokat Harus Paham Kode Etik Hakim


Ditulis oleh Administrator   
Jumat, 22 Oktober 2010 02:10
Hukum Online - Di Amerika Serikat, problem advokat tak memahami kode etik hakim dapat diminimalisir dengan memasukan pertanyaan-pertanyaan kode etik hakim ke dalam ujian advokat.
Secara teoritis, negara memiliki tiga cabang kekuasaan yakni legislatif (parlemen), eksekutif (pemerintah), dan yudikatif (peradilan). Untuk menunjang demokrasi, tiga cabang kekuasaan ini harus setara dan seimbang sehingga dapat mewujudkan checks and balances satu sama lain. Pada awal sejarah pemisahan kekuasaan ini, yudikatif disebut-sebut sebagai lembaga yang paling lemah di antara tiga cabang kekuasaan itu.Karakteristik ketiga cabang kekuasaan ini memang berbeda. Eksekutif mempunyai kekuatan karena memiliki tentara, dan legislatif memiliki ‘uang’ dengan memainkan peran mengatur anggaran negara. Sedangkan, yudikatif dianggap kekuasaan terlemah karena hanya bertugas memutus perkara yang diajukan oleh masyarakat.
Hakim Banding di Pengadilan Federal di Amerika Serikat (AS) John Clifford Wallace menjelaskan hal ini dalam sebuah diskusi yang digagas oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Wallace memandang perlunya penguatan lembaga peradilan di setiap negara.
“Saya memandang penting reformasi peradilan agar kekuasaan yudikatif benar-benar setara dan seimbang dengan dua cabang kekuasaan yang lain. Peran yudikatif sebagai pengawal rule of law sangat penting. Peran ini tak akan berjalan bila peradilan dapat diintervensi dan tidak independen,” jelasnya di Jakarta, Rabu (20/10).
Wallace mengingatkan bahwa kekuatan lembaga peradilan sebenarnya ada pada masyarakat. Lembaga peradilan, lanjutnya, harus bisa menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. “Peradilan harus direformasi sehingga bisa dekat dengan masyarakat,” ujar pria yang berprofesi sebagai hakim sejak 40 tahun yang lalu ini.
Wallace mencatat beberapa poin penting dalam reformasi peradilan ini. Pertama, ia memandang perlu adanya penyesuaian gaji hakim yang bisa menunjang dirinya dan keluarganya. Hal ini bertujuan agar peradilan tetap independen dan terhindar dari suap. Ia pernah mengutarakan hal ini ketika ‘terlibat’ dalam proses reformasi peradilan di Nigeria.
“Saya bilang ke mereka. Hal pertama yang dilakukan adalah menaikkan gaji hakim sehingga dapat mencukupi kehidupannya beserta keluarga. Ini sangat penting,” tegasnya. Di Nigeria, lanjutnya, dibentuk sebuah komisi yudisial yang bertugas mengkaji gaji hakim dan membandingkannya dengan gaji advokat dan dekan fakultas hukum di universitas negara itu.
Kedua, soal penanganan perkara. Wallace menambahkan perlu ada manajemen perkara agar hakim bisa memutus perkara yang dapat diterima oleh masyarakat. Ia mencontohkan ada pembagian perkara, mana perkara yang bisa diselesaikan di pengadilan dan mana perkara yang bisa diselesaikan di luar pengadilan lewat proses mediasi. Semakin sedikit perkara yang ditangani tentu membuat hakim semakin fokus dalam membuat putusan.
Sedangkan, poin ketiga adalah kode etik hakim. Wallace menilai kode etik hakim harus bisa diakses oleh masyarakat seluas-luasnya. “Apakah advokat-advokat di Indonesia telah membaca dan memahami kode etik hakim?” tanyanya.
Di Amerika Serikat, ungkap Wallace, problem advokat tak memahami kode etik hakim sempat terjadi. Fenomena ini dapat diminimalisir dengan memasukan pertanyaan-pertanyaan kode etik hakim ke dalam ujian advokat.
“Setiap advokat harus paham dengan kode etik hakim dan masyarakat juga harus tahu. Sehingga dia paham setiap tindak-tanduk hakim itu bertentangan dengan kode etik atau tidak,” Wallace menegaskan.
Langkah-langkah ini, lanjut Wallace, bertujuan agar masyarakat semakin dekat dengan lembaga peradilan. “Kekuasaan yudikatif harus bisa menjawab persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat,” tuturnya.
Citra Buruk
Lalu bagaimana dengan lembaga peradilan di Indonesia? Alih-alih memperoleh simpati masyarakat, citra lembaga peradilan justru semakin terpuruk. Dalam Rapat Kerja Nasional MA (Rakernas MA) 2010 di Balikpapan minggu lalu, Ketua MA Harifin A Tumpa mengakui kondisi ini.
Harifin mengatakan lembaga peradilan harus bisa keluar dari stigma buruk tersebut. “MA harus keluar dari citra buruk, lambat, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,-red) dan ujung-ujungnya duit,” ujarnya saat membuka acara Rakernas MA, pekan lalu.
Lebih lanjut, Harifin mengatakan untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibutuhkan agen-agen perubahan lembaga peradilan di daerah-daerah. Menurutnya, seluruh ketua pengadilan tinggi dan panitera di Indonesia yang akan memainkan peran sebagai agen perubahan tersebut. “Para ketua pengadilan tinggi diharapkan menjadi ujung tombak perubahan ini,” tuturnya.
 

Tidak ada komentar: