Kamis, 23 September 2010

Hakim dan Panitera Dilaporkan ke KY, MA, dan KPK PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Administrator   
Rabu, 22 September 2010 01:58
JAKARTA (Suara Karya): Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara pimpinan Purwanto, seorang panitera, dan panitera kepala pengadilan setempat akan diadukan ke Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemberantasan Korupsi serta Mabes Polri oleh Kustiadi Wirawardhana dengan penasihat hukumnya Petrus Selestinus dan C Suhadi terkait hilangnya alat bukti kasus penggunaan akta nikah palsu.
Petrus Selestinus mengutarakan hal itu kepada wartawan di PN Jakarta Utara, Selasa, seusai menemui Ketua Majelis Hakim Purwanto, Selasa. "Pak Purwanto tidak bisa menjelaskan keberadaan alat bukti itu kepada kami. Padahal, jaksa menyusun surat dakwaan maupun tuntutannya berdasarkan alat bukti yang sangat menentukan pembuktian itu," kata Petrus yang didampingi C Suhadi.
    Akibat raibnya alat bukti itu, kata Petrus, terdakwa pengguna akta palsu Maria Magdalena Andrianti Hartono yang sebelumnya dinyatakan terbukti bersalah oleh majelis hakim PN Jakarta Utara menjadi dibebaskan dari segala dakwaan maupun tuntutan hukum oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
    "Hakim PT DKI Jakarta menjadi tidak punya dasar untuk menghukum terdakwa karena alat bukti "kunci" akan adanya kejahatan yang melanggar Pasal 266 KUHP tak ada lagi dalam berkas perkara," papar Petrus.
    Purwanto membantah kalau pihaknya dituding telah menghilangkan alat bukti perkara yang ditanganinya beberapa bulan silam. "Alat bukti yang disebutkan hilang itu ada kok, tetapi bukan pada kami atau di pengadilan, melainkan ada pada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Endang Rahmawati. Mungkin saat ini disimpan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara," jelas Purwanto.
    Mengenai akan dilaporkan pihaknya ke KY, MA, KPK dan Mabes Polri, Purwanto mempersilakannya. "Itu hak mereka," tutur Purwanto.
    Lebih lanjut Petrus dan C Suhadi menjelaskan bahwa alat bukti yang diduga raib tersebut menguatkan kepalsuan akta nikah yang dibuat Kantor Catatan Sipil Duisburg, Jerman. Dalam akta palsu itu dikesankan Denianto Wirawardhana menikah dengan Maria Magdalena Andrianti Hartono.
    Padahal, berdasarkan keterangan Mittmann (petugas Catatan Sipil Duisburg) kepada petugas Kepolisian RI, AKBP Hilman, Denianto Wirawardhana dengan Maria Magdalena Andrianti Hartono tidak pernah dinikahkan di Jerman.
    Disebutkan dalam akta nikah dengan Nomor 32 Tahun 1987 tersebut pasangan yang menikah adalah Dieter Becker dan Gisella Zagar.
    "Yang sangat kami sayangkan, dalam putusan PN Jakarta Utara tidak dijadikan pula bahwan pertimbangan atau disebutkan alat bukti yang hilang tersebut. Hakim menghukum terdakwa hanya berdasarkan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan," kata Petrus.
    Oleh sebab itu, Petrus dan C Suhadi berkeinginan keras menyertakan alat bukti penting tersebut dalam kasasinya guna menggugurkan vonis bebas PT DKI Jakarta. (Wilmar P)

Sabtu, 18 September 2010

Dari Sinode Godang Amandemen AP HKBP di Sipoholon Pembangunan 19 Gereja HKBP Mengalami Hambatan Sinodestan Usulkan Pimpinan dan Pendeta HKBP Demo ke Istana Negara

Posted in Berita Utama by Redaksi on September 17th, 2010
lilin
JAKARTA,16/9 – LILIN KEBEBASAN BERAGAMA. Warga yang tergabung dalam Forum Solidaritas Kebebasan Beragama menggelar aksi seribu lilin keprihatinan di Bundaran HI, Jakarta, Kamis (16/9). Aksi itu mengecam tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama dan menuntut Presiden mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang dinilai belum menjamin kebebasan beragama. FOTO ANTARA/Fanny Octavianus/ama/10.
* Jika Presiden SBY Tak Selesaikan Masalah HKBP Dalam Satu Bulan
* Satgas HKBP Diusulkan Dibentuk Tangani Persoalan dan Gangguan
Sipoholon (SIB)
Sejumlah sinodestan pada Sinode Godang Amandemen AP HKBP 2002 pada sidang ke-6, Kamis (16/9) di Auditorium HKBP Seminarium Sipoholon mengusulkan dilakukan gerakan untuk mendesak pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi HKBP terutama penghambatan pembangunan Gereja HKBP dI sejumlah tempat yang dilakukan pemerintah sendiri dan kelompok masyarakat.
Pdt Adian Pasaribu menegaskan, apabila Presiden SBY tidak berhasil menyelesaikan masalah pelarangan pembangunan Gereja HKBP Pondok Timur Indah (PTI) Bekasi dan penusukan serta pemukulan yang dilakukan segerombolan orang kepada pengurus Gereja HKBP PTI Bekasi Asian Sihombing dan Pdt Luspida Simanjuntak, maka pimpinan dan seluruh pendeta serta bila perlu warga jemaat berdemontrasi ke Istana Negara.
Usulan yang sama disampaikan Pdt Juaris Pardede STh, St P Lumbantobing, St B Lumban Gaol, Pdt David Simatupang STh, Pdt Pantun Silitonga STh dalam sidang sinode tersebut.
Pendapat yang mengemuka dari para sinodestan tersebut menyatakan masalah yang menimpa HKBP sungguh di luar kepatutan. Untuk itu dihimbau kepada seluruh jemaat HKBP terutama para pendeta untuk memiliki rasa satu penderitaan dan punya komitmen yang sama memperjuangkan hak-hak HKBP di Indonesia.
Pimpinan HKBP terutama Ephorus didesak untuk segera melakukan audensi dengan Presiden SBY untuk menunjukkan bahwa HKBP ada dengan jumlah warganya cukup banyak dan punya pimpinan.
Pdt Pantun Silitonga mengusulkan HKBP perlu membentuk tim yang langsung dipimpin Ephorus HKBP dalam penyelesaian pemasalahan yang dihadapi HKBP saat ini dengan menjumpai langsung Presiden SBY.
Menurutnya, melalui upaya bertemu Presiden SBY nantinya akan diketahui bagaimana sikap Presiden SBY yang sebenarnya terhadap HKBP. “Pimpinan HKBP untuk bertemu Presiden mungkin sulit, tapi harus diusahakan,” sebutnya.
Sinodestan juga mengusulkan agar dalam gerakannya berupa demonstrasi yang akan dilakukan, HKBP tidak boleh melakukan kekerasan dan menjauhkan hal yang berhubungan dengan emosi.
Dalam gerakannya tersebut, HKBP juga dipandang perlu mengajak gereja-geraja lain memperjuangkan kebebasan beribadah dan kemerdekaan mendirikan rumah ibadah di seluruh bumi Indonesia.
Dengan suara keras, Pdt Pantun Silitonga STh dan Pdt David Simatupang STh mengatakan, supaya HKBP berdiri teguh dengan jemaatnya yang berjumlah jutaan orang tersebar di seluruh Nusantara. “Hendaknya pimpinan HKBP secepatnya melakukan pertemuan dengan Presiden SBY,” sebut Pdt David Simatupang.
Dia juga mengusulkan, agar salah satu pimpinan HKBP (Ephorus, Sekjen, Kadep Diakonia, Kadep Marturia dan Kadep Koinonia) berkantor di Jakarta agar pemerintah RI lebih mengenal dan semakin memperhitungkan HKBP.
Dengan salah satu pimpinannya berkantor di Jakarta katanya, maka HKBP mendapat undangan menghadiri acara nasional. Termasuk lebih mudah melakukan hubungan kerjasama dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), PBNU, Muhammadiyah dan organisasi keagamaan lainnya.
Sementara itu, Pdt Rustam Marbun mengusulkan HKBP membentuk suatu satuan tugas (Satgas) atau badan atau berupa forum seperti yang dimiliki sejumlah organisasi keagamaan lainnya.
Organisasi ini nantinya berfungsi sebagai lembaga yang akan menangani persoalan dan gangguan yang dihadapi HKBP.
Selain itu, juga diusulkan dibentuk semacam Krisis Center untuk membantu mengatasi masalah-masalah yang muncul pada HKBP bahkan gereja-gereja lain yang tergabung dalam PGI.
Hingga berita ini dikirimkan ke redaksi, sinode HKBP masih berlangsung dan para sinodestan masih menyampaikan berbagai permasalahan yang dialami HKBP di berbagai distrik dan resort.
Alihkan Materi Rapat ke Penghempangan Pembangunan Gereja
Hari ketiga Sinode Godang Amandemen Aturan Peraturan (AP) HKBP, Kamis (16/9) sekira pukul 15.00 WIB yang memasuki sidang ke-6 dengan agenda pembahasan amandemen Pasal 11 AP 2002 tentang tugas Ephorus dan syarat menjadi Ephorus dihentikan pembahasannya.
Peserta sinode menyepakati menunda pembahasan pasal tersebut dan sejumlah pasal lainnya meliputi lima (5) poin yang telah masuk dalam konsep amandemen untuk dilanjutkan pada Sinode Godang HKBP yang akan dilakukan tahun 2012 mendatang.
Sinode HKBP memandang lebih penting membicarakan persoalan yang dihadapi HKBP akhir-akhir ini menyangkut pelarangan dan penghempangan pembangunan Gereja HKBP di sejumlah daerah dan kota di Indonesia baik oleh pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu.
Salah satu yang paling mengemuka saat ini yaitu pelarangan dan penyerangan terhadap jemaat HKBP Pondok Timur Indah (PTI) Bekasi dalam beribadah dan mendirikan gereja. Disusul penusukan dan pemukulan yang dilakukan segerombolan orang terhadap pengurus Gereja HKBP PTI Bekasi Asia Sihombing dan Pdt Luspida Simanjuntak, Minggu (12/9) lalu.
Ephorus HKBP Pdt DR Bonar Napitupulu dalam paparannya menyampaikan ada sebanyak 19 Gereja HKBP yang mengalami penghalangan membangun Gereja antara lain HKBP Pondok Timur Indah (PTI) Bekasi, HKBP Filadelfia, HKBP Getsemane, HKBP Gunung Putri, HKBP Parung Panjang, HKBP Simpang Muriani, HKBP Karawang, HKBP Sibuhuan, HKBP Lau Dendang, HKBP Pangkalan Jati Gandul, HKBP Gunung Putri, HKBP Pondok Gede, HKBP Binjai Baru, HKBP Padang Lawas, HKBP Tembilahan dan HKBP Binanga.
Dengan kesepakatan pengalihan materi pembahasan Sinode Godang Amandemen AP HKBP 2002 kepada hal-hal yang dialami HKBP, maka hingga sidang ke-5 yang dipimpin Pdt Marudur Tampubolon (Praeses Kepulauan Riau), Pdt Hotman Panjaitan (Pendeta Resort Medan Sunggal) dan St Drs AG Sinambela (utusan MPS) baru menghasilkan keputusan menyangkut 4 poin dari 9 poin yang diajukan dalam konsep amandemen.
Sekjen HKBP Pdt Ramlan Hutahaen MTh selaku Ketua Tim Amandemen yang diwawancarai SIB di Auditorium HKBP Komplek Seminarium Sipoholon di sela-sela berlangsungnya sidang menyebutkan empat (4) poin dalam AP yang telah berhasil diamandemen adalah pertama: tentang seksi sekolah minggu, kedua: pembentukan seksi Lansia, ketiga: amandemen tentang pembentukan Resort Khusus dan keempat: syarat pembentukan distrik ditinjau dari jumlah resort.
Sementara lima poin lainnya yang belum sempat dibahas dalam Sinode Godang Amandemen tersebut, menurut Ketua Tim Amandemen Pdt Ramlan Hutahaean MTh akan dibahas dalam Sinode Godang HKBP tahun 2012 yang juga merupakan Sinode pemilihan pimpinan HKBP terdiri dari Ephorus, Sekjen, Kadep Diakonia, Kadep Marturia, Kadep Koinonia dan 26 Praeses HKBP.
Adapun sejumlah poin yang belum sempat dibahas dalam sidang Sinode yang dilangsungkan kemarin antara lain Pasal 11 AP HKBP 2002 menyangkut tugas dan persyaratan menjadi Ephorus.
Pasal 12 tentang persyaratan menjadi Sekjen, Pasal 13, 14 dan 15 tentang syarat dan pemilihan Kepala Departemen Koinonia, Marturia dan Diakonia yang didalamnya juga menyangkut masa kerja para pimpinan HKBP tersebut.
Perlu ditambahkan, bahwa pada sidang sebelumnya menyangkut pembahasan poin syarat menjadi Praeses HKBP belum mendapat keputusan yang pasti, sebab peserta sinode tidak menyetujui konsep amandemen yang diajukan Tim Amandemen. Namun pimpinan sidang juga tidak mengakomodir usulan peserta sidang dan sama sekali juga tidak menetapkan keputusan apakah tetap memberlakukan AP 2002. (PR3/x)

Minggu, 12 September 2010

Penusukan Pemuka Gereja HKBP Masuk New York Times

Tribunnews.com - Senin, 13 September 2010 07:47 WIB
Penusukan Pemuka Gereja HKBP Masuk New York Times
Dokumen Pribadi/Tribunnews.com
Pendeta Asian Lumbantoruan Sihombing dalam perawatan dokter.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus penusukan terhadap Asian Lumbantoruan Sihombing, pemuka agama di Gereja HKBP Pondok Timur Indah, Bekasi, Jawa Barat, menjadi laporan di New York Times, Senin (12/9/2010).

New York Times menyebutkan, penyerang tak dikenal melakukan penusukan terhadap seorang pemuka agama dan memukul seorang Pendeta di bagian kepala saat keduanya berangkat ke gereja untuk menunaikan ibadah. Serangan itu mengancam nyawa pemuka agama tersebut.

Tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Tapi dicurigai penyerangan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang telah berulang kali memperingatkan anggota Gereja HKBP Pondok Timur Indah untuk menutup tempat ibadah di lokasi tersebut.

Dalam beberapa bulan terakhir, anggota jemaat gereja itu telah mendapat beberapa kali gangguan dari pihak yang menginginkan jemaat gereja tidak melakukan ibadah di tempat tersebut.

"Gangguan terhadap jemaat gereja itu juga dilakukan dengan meletakkan sejumlah kotoran hewan di sekitar lokasi pelaksanaan ibadah," lapor New York Times.

Disebutkan, Penatua Sihombing sedang dalam perjalanan ke lapangan ketika penyerang melompat dari sepeda motor dan menusuknya di perut. Sementara, Pendeta Wahyu Lusfida Simanjuntak dipukul di bagian kepala saat mencoba datang membantunya.

New York Times juga melaporkan, Indonesia adalah sebuah negara sekuler yang memiliki umat muslim terbanyak di dunia. Walaupun memiliki sejarah panjang toleransi beragama, sebuah kelompok ekstremis kecil menjadi lebih vokal dalam beberapa tahun terakhir.(nytimes.com)

Editor : Juang_Naibaho

Selasa, 07 September 2010

Opini
Inilah Kritik kepada Presiden Itu...
Senin, 6 September 2010 | 18:38 WIB
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato mengenai hubungan RI-Malaysia usai berbuka puasa bersama prajurit dan perwira TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (1/9/2010) petang.
Catatan Redaksi:
Tulisan yang dimuat di halaman Opini Harian Kompas ini menjadi perbincangan ramai di Twitter dan media lain. Karena itu, Redaksi Kompas.com mengangkat kembali tulisan ini.

Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan
Oleh: Adjie Suradji
Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.
Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.
Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.
Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.
Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503-1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.
Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?
Keberanian
Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.
Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.
Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.
Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?
Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?
Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).
Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.
Adjie Suradji, Anggota TNI AU

Sabtu, 04 September 2010

Penegakan Hukum tidak Boleh Pilih Kasih

Sabtu, 4 September 2010 19:19 WIB
KITA hargai langkah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mendukung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melanjutkan pengungkapan kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia. Meski setengah dari 26 anggota DPR periode 1999-2004 yang terlibat kasus suap adalah anggota PDIP, namun mereka datang menemui pimpinan KPK bukan untuk meminta agar rekan-rekannya dibebaskan dari proses hukum.

Kita tidak boleh sedikit pun surut dalam upaya pemberantasan korupsi. Semua pihak tanpa kecuali harus mendukung agar KPK menjadi institusi yang lepas dari intervensi politik mana pun, agar mereka bisa menjadi lembaga yang benar-benar bisa kita andalkan untuk membersihkan praktik korupsi.

Penegakan hukum tidak boleh pilih kasih. Apabila kita ingin menjadikan hukum sebagai pilar utama demokrasi, maka ia harus berjalan lurus dan tidak boleh goyah oleh kepentingan.

 Memang pahit rasanya ketika hukum mengena pada orang yang kita kenal. Namun seperti halnya simbol hukum, dewi keadilan matanya haruslah tertutup. Ia tidak boleh bias hanya karena hubungan pribadi. Meski ia adalah orang terdekat kita sekali pun, ketika orang itu melakukan pelanggaran hukum, maka ia harus memertanggungjawabkan perbuatannya.

Hanya saja proses pembuktian hukum haruslah  berjalan adil. Mereka yang dipersangkakan melakukan korupsi harus juga kita berikan kesempatan untuk membela diri. Kita tidak boleh sampai menghukum orang yang tidak bersalah.

Seperti harapan Fraksi PDIP, pengungkapan kasus suap jangan hanya mengena kepada yang mereka yang menerima suap. Mereka yang memberikan suap harus dimintai pertanggungjawaban. Sebab, suap tidak mungkin dilakukan sendiri. It's take two to tango, harus ada dua pihak dalam proses suap menyuap.

Sejauh ini KPK belum bertindak tegas kepada para penyuap. Meski dalam persidangan sebelumnya yang menjadikan  empat anggota DPR sebagai tersangka, terungkap nama-nama penyuap seperti Nunun Nurbaeti, namun KPK belum menindaklanjuti. Dengan alasan mengalami sakit ingatan, KPK menerima saja pengakuan itu dan tidak mencoba mencari opini kedua dari dokter lain.

Inilah yang selama ini dianggap sebagai tebang pilih. Pemberantasan korupsi seringkali tidak berlaku sama kepada setiap orang. Hanya karena memunyai akses terhadap kekuasaan, seringkali ada orang yang mendapat keistimewaan.

Keistimewaan bisa dalam bentuk terlepas dari proses hukum, tetapi bisa juga bebas dalam menjalani hukuman. Banyak orang yang sudah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung, namun tidak pernah menjalaninya karena terlebih dulu bisa kabur ke luar negeri.

Begitu banyak kasus yang seperti itu. Mulai dari Edy Tansil hingga yang terakhir Joko Tjandra. Ironisnya, mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin yang divonis dalam kasus yang sama, harus mendekam tiga tahun di dalam penjara, sementara Joko Tjandra bisa hidup bebas di Singapura.

Para penegak hukum pun tidak berupaya untuk mencari tahu di mana keberadaan sang terpidana. Sepanjang media massa tidak pernah mengangkatnya sebagai berita, seakan sah saja aparat hukum untuk tidak mengejar buronan itu.

Bahkan kuat dugaan, buronan kakap seperti itu dibiarkan bebas berkeliaran, karena bisa dijadikan kesempatan untuk memeras. Para penegak hukum bisa datang setiap saat ke tempat sang buronan, namun bukan untuk menangkap tetapi meminta sangu.

Kehadiran anggota fraksi PDIP sepantasnya membuat KPK untuk bersikap adil dan tidak tebang pilih. Kalau bukti hukum kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI memang sangat kuat, maka semua pihak yang terlibat dalam kasus suap harus diperlakukan sama, tidak boleh pilih kasih.

Melihat nama-nama orang yang terlibat dalam kasus suap, pengungkapan kasus terakhir ini bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada KPK. Namun kuncinya, KPK bukan hanya harus tegas, tetapi juga harus bersikap adil.

Sejauh ini KPK memang sudah berhasil membawa empat anggota DPR mendekam dalam penjara dalam kasus yang sama. Meski diyakini bahwa ada korupsi yang dilakukan beramai-ramai, baru kali ini 26 anggota DPR lainnya dijadikan tersangka. Tetapi masih ada penyuapnya yang belum juga tersentuh oleh KPK.

 Kita tidak boleh membiarkan kasus ini menguap begitu saja. Kita harus terus mengingatkan dan mendesak KPK untuk memproses kasus itu hingga tuntas. Kita tidak boleh bosan mengingatkan karena tanpa ada tekanan dari masyarakat, aparat kita cenderung cepat berpuas diri dan melupakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.