Jumat, 23 Juli 2010

KASUS TANAH MERUYA

Pengadilan Negeri Jakarta Barat akhirnya menunda eksekusi terhadap tanah Meruya Selatan yang sedianya dilakukan hari ini. Bentrok antara warga dan eksekutor seperti yang dikhawatirkan banyak orang pun tak terjadi.
Tapi, sampai kapan? Tak ada seorang pun yang tahu.
Yang jelas, kasus tanah Meruya menggambarkan betapa buruk dan sembrononya kerja aparat pemerintah kita, terutama Badan Pertanahan Nasional (BPN), dalam sistem pendataan dan sertifikasi tanah.
Kok bisa?
Kasus ini bermula pada 1972. Waktu itu, Haji Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin Haji Geni, dan Muhammad Yatim Tugono membeli tanah-tanah girik dari warga Meruya Udik, yang kini menjadi Kelurahan Meruya Selatan. Seluruh tanah ini mencapai luas 78 hektare dan kemudian dijual dengan harga Rp 300 per meter persegi ke perusahaan properti milik Beny Rachmat itu.
Masalah muncul ketika Portanigra menuduh tiga mandor itu belakangan membuat girik palsu dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa pihak. Kasus pemalsuan girik ini ditemukan oleh Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pusat pimpinan Laksamana Sudomo pada 1978.
Dalam proses pemeriksaan, tiga mandor tadi mengaku menjual lagi girik tersebut kepada beberapa perusahaan. Di antaranya ke pemerintah DKI Jakarta pada 1974 seluas 15 hektare, kepada PT Intercone (2 hektare) dan PT Copylas (2,5 hektare) pada 1975, serta kepada BRI seluas 3,5 hektare pada 1977.
Pada 1986, Djuhri divonis hukuman setahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Di tingkat banding, Yahya terkena vonis setahun penjara. Adapun Tugono, kasasinya ditolak Mahkamah Agung sehingga ia harus masuk penjara pada 1989.
Berbekal putusan pidana itu, Portanigra kemudian menggugat perdata ketiga mandor tersebut pada 1996. Ketika itu, Pengadilan Negeri Jakarta Barat sudah meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas 44 hektare yang diklaim milik Porta. Gugatan ini sempat ditolak di tingkat pertama dan banding.
Namun, pada 2001, nasib berbalik memihak Porta ketika perkara sampai di Mahkamah Agung. Mahkamah memenangkan Porta. Putusan perkara pidana dan bukti jual-beli yang jadi pegangan putusan kasasi.
Meskipun bukan pihak yang bersengketa, warga kini berusaha melawan putusan Mahkamah Agung dengan mengajukan gugatan perlawanan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Warga juga berusaha menghalangi eksekusi dengan mengadukan Portanigra ke polisi karena adanya sejumlah kejanggalan di berkas perkara.
Kejanggalan itu di antaranya menyangkut domisili perusahaan tersebut di Duta Merlin yang ternyata kosong dan nomor wajib pajak ganda atas nama Portanigra.
Dari tiga terpidana, kini cuma Haji Djuhri yang sudah berusia 80 tahun dan pikun itu yang ikut melawan. Sebab, Yahya sudah meninggal dan Tugono pindah entah ke mana.
Portanigra sendiri kini menunggu upaya Dewan Perwakilan Rakyat mencari solusi untuk tak merugikan pihak ketiga atau warga dalam sengketa tanah tersebut.
Badan Pertanahan Jakarta yang disebut-sebut ikut punya andil membuat masalah ini jadi kisruh sepertinya malah tak diganggu gugat. Padahal jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di atas lahan yang terlibat sengketa.
Nasi telah menjadi bubur. BPN mengeluarkan sertifikat itu dan kini jadi masalah. Warga Meruya pun berada dalam ketidakpastian entah sampai kapan …
[Ulasan lengkap tentang kasus sengketa tanah Meruya Selatan bisa Anda ikuti di majalah Tempo terbaru yang beredar hari ini]

Tidak ada komentar: