Pengadilan Negeri Jakarta Barat akhirnya menunda eksekusi terhadap
tanah Meruya Selatan yang sedianya dilakukan hari ini. Bentrok antara
warga dan eksekutor seperti yang dikhawatirkan banyak orang pun tak
terjadi.
Tapi, sampai kapan? Tak ada seorang pun yang tahu.
Yang jelas, kasus tanah Meruya menggambarkan betapa buruk dan
sembrononya kerja aparat pemerintah kita, terutama Badan Pertanahan
Nasional (BPN), dalam sistem pendataan dan sertifikasi tanah.
Kok bisa?
Kasus ini bermula pada 1972. Waktu itu, Haji Djuhri bin Haji Geni,
Yahya bin Haji Geni, dan Muhammad Yatim Tugono membeli tanah-tanah girik
dari warga Meruya Udik, yang kini menjadi Kelurahan Meruya Selatan.
Seluruh tanah ini mencapai luas 78 hektare dan kemudian dijual dengan
harga Rp 300 per meter persegi ke perusahaan properti milik Beny Rachmat
itu.
Masalah muncul ketika Portanigra menuduh tiga mandor itu belakangan
membuat girik palsu dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa pihak.
Kasus pemalsuan girik ini ditemukan oleh Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban Pusat pimpinan Laksamana Sudomo pada 1978.
Dalam proses pemeriksaan, tiga mandor tadi mengaku menjual lagi girik
tersebut kepada beberapa perusahaan. Di antaranya ke pemerintah DKI
Jakarta pada 1974 seluas 15 hektare, kepada PT Intercone (2 hektare) dan
PT Copylas (2,5 hektare) pada 1975, serta kepada BRI seluas 3,5 hektare
pada 1977.
Pada 1986, Djuhri divonis hukuman setahun penjara oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Barat. Di tingkat banding, Yahya terkena vonis setahun
penjara. Adapun Tugono, kasasinya ditolak Mahkamah Agung sehingga ia
harus masuk penjara pada 1989.
Berbekal putusan pidana itu, Portanigra kemudian menggugat perdata
ketiga mandor tersebut pada 1996. Ketika itu, Pengadilan Negeri Jakarta
Barat sudah meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas 44 hektare
yang diklaim milik Porta. Gugatan ini sempat ditolak di tingkat pertama
dan banding.
Namun, pada 2001, nasib berbalik memihak Porta ketika perkara sampai
di Mahkamah Agung. Mahkamah memenangkan Porta. Putusan perkara pidana
dan bukti jual-beli yang jadi pegangan putusan kasasi.
Meskipun bukan pihak yang bersengketa, warga kini berusaha melawan
putusan Mahkamah Agung dengan mengajukan gugatan perlawanan hukum ke
Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Warga juga berusaha menghalangi eksekusi dengan mengadukan Portanigra
ke polisi karena adanya sejumlah kejanggalan di berkas perkara.
Kejanggalan itu di antaranya menyangkut domisili perusahaan tersebut
di Duta Merlin yang ternyata kosong dan nomor wajib pajak ganda atas
nama Portanigra.
Dari tiga terpidana, kini cuma Haji Djuhri yang sudah berusia 80
tahun dan pikun itu yang ikut melawan. Sebab, Yahya sudah meninggal dan
Tugono pindah entah ke mana.
Portanigra sendiri kini menunggu upaya Dewan Perwakilan Rakyat
mencari solusi untuk tak merugikan pihak ketiga atau warga dalam
sengketa tanah tersebut.
Badan Pertanahan Jakarta yang disebut-sebut ikut punya andil membuat
masalah ini jadi kisruh sepertinya malah tak diganggu gugat. Padahal
jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah
tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki
sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen
kepemilikan tanah di atas lahan yang terlibat sengketa.
Nasi telah menjadi bubur. BPN mengeluarkan sertifikat itu dan kini
jadi masalah. Warga Meruya pun berada dalam ketidakpastian entah sampai
kapan …
[Ulasan lengkap tentang kasus sengketa tanah Meruya Selatan bisa Anda ikuti di majalah Tempo terbaru yang beredar hari ini]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar