Kamis, 22 Juli 2010

Patung dan Rumah Eks Soedirman Jadi Hak Ahli Waris Roto Suwarno

Patung Jenderal Soedirman yang berada di kawasan wisata sejarah Monumen Nasional Panglima Besar Jenderal Soedirman di Bukit Gandrung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, Rabu (21/07). Tempo/ISHOMUDDIN

TEMPO Interaktif, Pacitan - Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pacitan, Daniel R Masadu, menegaskan bahwa aset patung dan rumah yang pernah dijadikan markas Panglima Besar Jenderal Soedirman di Bukit Gandrung, Kampung Sobo, Desa Pakisbaru, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, memang menjadi hak ahli waris Roto Suwarno. Roto adalah bekas ajudan Jenderal Soedirman semasa bergerilya di wilayah setempat.

“Kalau tanahnya sebenarnya tidak bermasalah. Yang sekarang jadi masalah bangunan di atasnya yakni patung yang berdiri diatas tanah negara dan juga rumah yang berdiri di atas tanah hak milik Roto Suwarno,” kata Daniel saat ditemui TEMPO di kantornya Jalan Letjen Soeprapto, Rabu (21/7).

Meski patung dan rumah tersebut jadi hak ahli waris Roto, Daniel menghimbau agar ahli waris menyerahkannya ke negara. “Saya yakin pihak ahli waris sadar karena patung dan rumah yang pernah dijadikan markas itu bersejarah,” katanya.

Bupati Pacitan Sujono, mengaku heran dengan sikap ahli waris Roto yang tetap kukuh meminta ganti rugi Rp 40 milyar atas tanah dan aset di atas tanah hak milik almarhum Roto itu. “Kami sudah beberapa kali bicara tapi mereka tetap enggak mau," katanya.

Menurut Sujono, selama ini Pemkab menawarkan ganti-rugi senilai Rp 4,2 miliar.

Untuk membicarakan masalah ini, Jum’at mendatang Pemerintah Kabupaten Pacitan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Pekerjaan Umum dan Cipta Karya, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI), dan pihak ahli waris berencana menggelar pertemuan di Jakarta.

Pemkab setempat sudah menaksir harga tanah yang dikuasai ahli waris sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah setempat yang berkisar Rp 30.000 per meter persegi. Ini diakui Kepala Urusan Pembangunan Desa Pakisbaru, Lamidi. “Nilai tanah di wilayah sini rata-rata memang sekitar Rp 30.000 per meter persegi,” katanya saat ditemui di lokasi monumen.

Kawasan bekas gerilya Jenderal Soedirman semasa memimpin Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) tahun 1949 saat melawan penjajah Belanda yang kini jadi monumen itu luasnya 10,7 hektar. Lahan 6,4 hektar merupakan tanah negara dan 4,3 hektar sisanya awalnya dimiliki warga dan sudah dibeli serta jadi hak milik Roto.

Almarhum Roto yang meninggal 1993 pernah mengajukan izin hak pakai tanah negara 6,4 hektar itu di tahun 1991 dan izin dari Kantor Pertanahan setempat turun tahun 1993 atas persetujuan bupati dengan masa pakai sepuluh tahun dari 1994 hingga 2004. Lahan itu dimanfaatkan untuk membangun monumen dan patung Soedirman serta mendirikan perpustakaan.

Setelah masa hak pakai habis, pemerintah melakukan revitalisasi monumen sejak awal 2008 hingga diresmikan Desember 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah juga berupaya membeli lahan 4,3 hektar yang jadi hak milik ahli waris Roto. Namun tawaran pemerintah ditolak. Bahkan saat ini ahli waris melelang patung dan rumah bekas markas melalui internet karena dinilai masih jadi hak ahli waris.

Rumah yang pernah dijadikan markas itu memang berdiri diatas tanah hak milik Roto sedangkan patung Soedirman yang digagas Roto dan dibuat seniman asal Yogyakarta, Saptoto, berdiri diatas tanah negara.

Tidak ada komentar: