Oleh: Irvan Mawardi *)
[Senin, 31 May 2010]
Medio April 2010 lalu menjadi awal periode kedua pelaksanaan Pemilukada 2010. Mandat konstitusi sesungguhnya hanya menyiratkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis.
Lahirnya
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
formulasi jelas tentang demokratisasi dalam pemilihan kepala daerah,
yakni dilaksanakan secara langsung. Periode pertama pelaksanaan
Pemilukada berlangsung sejak Desember 2004 sampai dengan September 2008
dengan total pelaksanaan kurang lebih 343 Pemilukada dengan rincian pada tahun 2005 telah berlangsung Pilkada di 207 Kab/Kota
dan 7 provinsi, pada tahun 2006 terlaksana Pilkada di 70 kabupaten/kota
dan 7 provinsi, pada tahun 2007 berlangsung Pilkada di 35
kabupaten/kota dan 6 provinsi, sedangkan untuk tahun 2008 telah
berlangsung Pilkada di 11 kab/kota (Data Jaringan Pendidikan pemilih untuk rakyat-JPPR). Untuk Pemilukada pada 2010 ini, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, akan digelar sebanyak 244
pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) mulai dari pemilihan gubernur
dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota serta wakil
walikota.
Menjelang pelaksanaan periode Pemilukada periode kedua, tahun 2010 ini,
banyak pihak yang mendorong agar pelaksanaan Pemilukada ditunda sambil
menunggu hasil evaluasi pelaksanaaan pilkada 2005 oleh Depdagri dan KPU.
Evaluasi Pemilukada 2005-2008 sangat penting untuk mendapatkan
rekomendasi serta refleksi atas kekurangan dan kelemahan yang
berlangsung selama periode tersebut.
Ada beberapa cacatatan penting dan fundamental yang mengiringi pelaksanaan pilkada 2005-2008. Pertama,
Pemilukada masih belum mampu menghadirkan ruang bagi rakyat untuk
mandiri dan memiliki kapasitas yang rasional dalam menentukan
pilihannya. Fenomena politik uang selama pilkada mempertegas catatan
ini. Kedua, proses pelaksanaan pemilukada belum mampu dikelola secara baik, lancar dan damai sesuai dengan prosedur yang demokratis. Kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul, kampanye yang penuh konflik dan protes atas hasil penghitungan suara menjadi contoh yang sangat jelas. Ketiga, pilkada belum mampu melahirkan pemimpin yang memiliki kapasitas dan akseptabilitas memadai. Pemilukada justru menjadi arena bagi orang-orang yang punya duit dan populer untuk menjadi elit baru. Keempat,
kepemimpinan yang dilahirkan oleh proses pilkada harus mampu membentuk
pemerintahan bersih dan kuat yang berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan rakyat. Selama ini sudah banyak keluhan dari masyarakat
terkait pemilukada yang berlangsung tapi tidak memiliki dampak yang
signifikan terhadap peningkatan kesejahtaraan rakyat.
Beberapa Persoalan
Tulisan ini tidak bermaksud membahas semua poin evaluasi pemilukada tersebut. Yang menarik dibahas adalah salah satu faktor lemahnya pengelolaan pelaksanaan pemilukada selama ini adalah karena kegagalan institusionalisasi hukum dalam proses
penyelenggaraan pilkada. Hukum tentang pemilukada belum terlembagakan
secara baik, sehingga proses penyelesaian pelanggaran dan penyimpangan
tidak dapat dikelola secara elegan tapi justru memicu konflik
berkepanjangan.
Ada beberapa faktor fundamental yang menghambat proses pelembagaan hukum dalam penyelesaian perkara hukum pemilukada selama ini. Pertama,
masih cukup rendahnya pemahaman masyarakat tentang mekanisme hukum yang
harus ditempuh ketika berhadapan dengan persoalan yang terkait dengan
penyimpangan dan pelanggaran selama berlangsung pemilukada. Kekecewaan
publik terhadap proses penyelengaraan pemilu belum mampu terlembagakan
dalam proses hukum. Sebaliknya yang muncul adalah kekecewaan yang
berujung pada anarkisme dan kekerasan massa. Kedua, institusi penegak hukum dalam Pilkada, dalam hal ini Bawaslu dan Panwaslu,
tidak bisa bekerja maksimal karena secara yuridis eksistensi lembaga
tersebut memang tidak memiliki kewenangan yang kuat. Kelemahan Panwaslu selama ini terletak pada ketidakmampuan menindaklanjuti pelanggaran yang dilaporkan masyarakat. Terlihat bahwa Panwaslu tidak memiliki daya eksekusi yang kuat dalam menangani laporan pelanggaran.
Dalam konteks Pilkada, UU. 32 Tahun 2004, pasal 66 ayat (4), menggarisbawahi Panitia Pengawas Pemilihan mempunyai tugas dan wewenang: a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; b. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah d. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan e. mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semua tingkatan.
Panwaslu selalu berdalih bahwa salah satu tugasnya adalah;” meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang;
klausul ini sering sekali dijadikan dalih ketika panwaslu dihadapkan
pada pelanggaran pilkada. Lemahnya daya eksekusi langsung oleh Bawaslu
juga terlihat pada UU 22 tahun 2007 yang mengatur tentang tugas dan
wewenang Bawaslu. Dijelaskan pada pasal 73 huruf b, c dan d; b.
menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai Pemilu; c. menyampaikan temuan dan laporan
kepada KPU untuk ditindaklanjuti; d. meneruskan temuan dan laporan yang
bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang.
Pasal
ini menujukkan bahwa Bawaslu sesungguhnya sekedar mengumpulkan laporan
pelanggaran yang terjadi pada semua tahapan pemilu. Sedangkan tugas dan kapasitasnya
masih bergantung dengan pihak lain. Bahkan tugas dan wewenang yang
melekat pada Petugas Pemilih Lapangan (Panwaslu di level desa) hanya
sekedar menerima laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh
penyelenggara terhadap berbagai tahapan pemilu (Pasal 82). Bukan
pelanggaran yang dilakukan masyarakat atau peserta pemilu.
Ketiga, pelembagaan hukum dalam pemilukada juga gagal karena secara substansi UU No. 32 Tahun 2004 – bahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah --- tidak secara jelas mengatur proses hukum, materil formil-
yang bisa ditempuh ketika berhadapan dengan pelanggaran atau persoalan
hukum dalam pemilukada. Misalnya dalam persoalan Penetapan Pasangan
Calon. Pasal 61 UU No. 32 Tahun 2004 tidak
mengatur mekanisme hukum apabila ada pasangan yang keberatan tentang
keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon. Begitu juga dengan
tahapan lainnya. Karena tidak jelasnya mekanisme hukum yang mengatur,
maka formula penyelesaian sering berakhir kepada bentrokan dan
anarkhisme seperti yang terjadi baru-baru ini di Pemilukada Mojokerto.
Jawa Timur.
Selama ini, UU Pemilukada, dalam hal ini UU No. 32 Tahun 2004 -maupun UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 - hanya
akomodatif terhadap persoalan sengketa pemilukada yang terkait dengan
penghitungan suara, namun tidak mengakomodir persoalan yang terjadi
dalam tahapan-tahapan sebelum penghitungan suara. Misalnya, apabila
calon merasa dirugikan dan keberatan dengan hasil pengitungan suara
oleh KPUD, maka pasangan calon memiliki kesempatan menyampaikan
keberatan kepada Mahkamah Agung dengan catatan keberatan yang dimaksud memang secara nyata mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004: 1):
Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah
Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 2);
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan
hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
Konteks SEMA No. 5 Tahun 2005
Namun
demikian, meskipun secara detail beberapa persoalan yang muncul terkait
keluarnya Keputusan KPUD selaku pejabat negara tentang berbagai tahapan
pemilukada tidak diatur dalam UU Pemilukada (Vide UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 tahun
2008), namun pelembagaan hukum dalam konteks ini adalah menyelesaikan
sengketa atau persoalan dalam ranah hukum administrasi.
Penyelesaian
sengketa pilkada lewat mekanisme sengketa tata usaha negara dapat
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara pasal 1 ayat (10): Sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat
tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pasal 1 ayat (8), yang dimaksud dengan Pejabat
tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah
badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara, ayat (9) menjelaskan definisi Keputusan Tata usaha Negara, yakni suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Dalam
konteks Pemilukada, maka segala keputusan KPUD berpotensi menjadi obyek
sengketa dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam 1 (satu) hal, yakni Keputusan KPUD yang terkait dengan hasil Pemilukada. Dalam UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, khususnya pasal 2 huruf g: tidak
termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang-Undang ini adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat
maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Artinya,
selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki
peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan
pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU
tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara
dalam PTUN.
Mengingat
peluang gugatan tersebut, maka dapat diprediksi bahwa KPU memiliki
peluang yang cukup besar untuk digugat oleh peserta pemilu atau pemilih.
Hal ini dimungkinkan kerena beberapa tahapan krusial yang akan dilewati
oleh stakeholders pemilu. Di antaranya, pertama, tahapan
pemutakhiran DPT. Tahapan ini sangat terbuka digugat oleh pihak yang
merasa tidak terdaftar sebagai pemilih namun secara faktual dan
administratif memiliki hak untuk memilih. Kedua, tahapan pengadaan logistik
pemilu. Tahapan ini rawan digugat pada tahapan pelelangan sejumlah
pengadaan logistic pemilu. Beberapa pihak biasanya tidak puas atas
mekanisme tender yang dilakukan KPU. Ketiga, tahapan penetapan calon legislatif
dan calon presiden sebagai peserta pemilu. Para calon peserta pemilu
yang tidak puas atas proses verifikasi calon akan menggugat keputusan
KPU.
Namun
harapan akan munculnya dinamika sengketa tata usaha negara dalam
periode pemilukada 2005-2008 tidak tercapai akibat keluarnya Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun
2005 tentang Petunjuk Tekhnis tentang Sengketa mengenai Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pilkada). Pada butir 2 SEMA tersebut disebutkan bahwa
dihubungkan dengan pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
telah diubah dengan Undang-undang nomro 9 tahun 2004 tentang Peradilan
tata usaha Negara, maka keputusan ataupun penetapannya (KPUD) tidak
dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan merupakan
kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili.
Menurut
SEMA ini, sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan
pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilihan umum, namun haruslah
diartikan sebagai meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan
pemilihan umum, sebab apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga
pengadilan yang berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk
keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu
KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal
pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat
menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan, bahkan putusan-putusan
pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA
juga menunjuk putusan Nomor 482 K/TUN/2003 tanggal 18 agustus 2004
sebagai Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan
yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus
pemilihan tidak menjadi kewenangan Peradilan tata usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.
Subtansi materi SEMA No. 8 Tahun 2005 ini kemudian memicu pro kontra. Bagi kelompok yang pro, SEMA ini sudah cukup relevan karena memahami bahwa PTUN memang tidak berhak memeriksa persoalan hukum dalam Pemilu. Bagi mereka yang menyetujui SEMA ini memahami bahwa Pemilu itu
adalah semua proses yang berlangsung sejak tahapan awal, yakni
penetapan daftar pemilih sampai dengan penghitungan hasil akhir. Selain
itu, mengikuti alur pemikiran J. Downer bahwa penyelengaraan negara itu adalah bagian politik (taatstelling)/penentuan tugas (politik),
maka kelompok ini meyakini bahwa Proses pemilu dengan segala tahapannya
merupakan agenda atau kerja-kerja pemilihan yang merupakan agenda
politik, sementara sebagai bentuk kerja administrasi (taatsvervaling)
PTUN hanya berwenang mengadili KTUN yang dikeluarkan oleh pejabat TUN
sebagai bagian pelaksanaan segala hal yang telah ditentukan oleh agenda politik (Laica; 2009).
Sementara pendapat kontra meyakini bahwa substansi dari SEMA ini sudah keluar dari materi pasal 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN. Karena pasal ini secara jelas menggunakan kalimat “Keputusan
Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum”. Kalimat hasil Pemilihan Umum menunjukkan secara tegas
bahwa hanya satu tahapan, yakni terkait dengan hasil pemilu yang saat
ini hanya dapat diperiksa dan diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
Bahkan Laica Marzuki menilai bahwa dalam kajian tentang beleidsregel, maka SEMA ini ini termasuk menyimpang dari UU. Menurut Laica, beleidsregel, sehari-hari dikenal adalah Juklak kemudian yang kedua adalah Surat Edaran, namun biasanya beleidsregel, ini dalam bentuk pengumuman yang diumumkan atau juga dalam bentuk nota yang diedarkan. Dalam kajian beleidsregel, penting membedakan antara peraturan perundang-undangan dan Undang-Undang. Menurut Laica, peraturan perundang-undangan pengertiannya cukup luas, mulai dari konstitusi, UU, Peraturan Pemerintah, Perda dan sebagainya. Jadi, UU termasuk peraturan Perundang-undangan. Tapi tidak semua peraturan Perundang-undangan adalah UU. Dalam konteks Mahkamah Agung misalnya, Perma termasuk peraturan perundang-undangan, sedangkan SEMA masuk kategori peraturan kebijakan.
Mengingat SEMA merupakan bentuk freiez ermessen atau diskresi, maka SEMA memiliki koridor yang sangat penting yakni tidak boleh terjadi penyimpangan. Dalam pandangan Laica, freiez ermessen atau diskresi menyimpang dalam dua hal yakni, melanggar dari UU dan menyimpang dari (asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUUAPB). Sehingga ada kekhawatiran apabila SEMA 8 ini termasuk kategori freiez ermessen atau diskresi yang menyimpang. Meskipun
demikian, pada prakteknya beberapa hakim PTUN yang menerima sengketa
tahapan pemilu di luar tahapan hasil pemiliha umum.
Ketika menjelang pemilu 2009 lalu, setidaknya
ada empat putusan pengadilan yang menghiasi pelaksanaan tahapan pemilu
2009. Keempat putusan yang kesemuanya diputuskan PTUN bisa kita kaji. Pertama, Putusan PTUN Jakarta tentang dikabulkannya permohonan 4 empat partai yang mencapai Electoral Treshold pada pemilu 2004 untuk ikut secara otomatis pada pemilu 2009. Kedua,
putusan PTUN Jakarta yang memenangkan gugatan Partai Republiku terhadap
keputusan KPU yang tidak meloloskan mereka ikut pemilu. Partai
Republiku oleh PTUN Jakarta dianggap berhak ikut pemilu karena fakta di persidangan
membuktikan bahwa Partai Republiku memiliki struktur di 29 Provinsi,
melebihi persyararatan minimal, yakni 15 provinsi. KPU tidak meloloskan
dalam proses verikasi karena KPU menganggap bahwa Partai Republiku hanya
memiliki struktur di 14 provinsi. Dalam perkara ini, KPU kalah dua kali
sehingga saat saat itu KPU mengajukan kasasi ke MA.
Ketiga,
putusan sela yang dikeluarkan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan PKB
versi Gus Dur yang menggugat pengambilalihan kantor sekretariat DPP PKB
oleh PKB versi Muhaimin. Putusan PTUN membatalkan Keputusan MenhunHAM
yang menyebut bahwa alamat Sekretariat
DPP PKB di Jalan Siliwangi Jakarta. Keempat, ditolaknya gugatan PKB
versi Gus Dur oleh PTUN Jakarta yang menggugat keputusan Menteri Hukum
dan HAM yang mengesahkan kepengurusan DPP PKB versi Muhaimi Iskandar.
Dari empat gugatan tersebut, sebenarnya dapat dikategorikan menjadi dua
ranah perkara. Yakni perkara dalam tahapan verifikasi peserta pemilu dan
perkara yang terkait dengan keabsahan partai politik yang berkaitan
dengan kepesertaan dalam pemilu 2009. Kesemua perkara tersebut berada dalam ranah tahapan yang tidak terkait dengan hasil pemilihan umum.
Merajut Optimisme dengan SEMA No. 7 Tahun 2010
Terlepas pro kontra atas SEMA No. 8 Tahun 2005, optimisme terhadap proses pelembagaan hukum dalam pemilukada kembali muncul pasca Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2010 (SEMA 2010) tentang
Petunjuk Tekhnis Sengketa Mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pilkada) pada tanggal 11 Mei 2010. Secara substansi, materi SEMA 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA 2005. Bahkan materi SEMA 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi SEMA 2005. Dalam hal ini SEMA 2010 menegaskan bahwa pasal 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1986 menyiratkan bahwa keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan yang diterbitkan oleh KPU/KPUD mengenai hasil Pemilihan Umum, tidak dapat digugat di PTUN.
Namun SEMA ini membedakan dua
jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan
dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan di lain pihak
keputusan yang berisi mengenai hasil pemiliha umum. Dengan Demikian SEMA
2010 ini mengatur bahwa keputusan-keputusan yang belum atau tidak
merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di
bidang urusan pemerintahan dan oleh karenanya sepanjang keputusan
tersebut memenuhi kriteria UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat (9) maka tetap menjadi kewenangan PTUN untuk
memeriksa dan mengadilinya. Hal ini disebabkan karena keputusan
tersebut berada di luar jangkauan perkecualian sebagaimana yang dimaksud
oleh pasal 2 huruf g UU PTUN.
Tegasnya, SEMA
2010 memberikan peluang kepada pencari keadilan untuk menyelesaikan
persoalan hukum pemilukada pada semua tahapan kecuali yang terkait
dengan tahapan hasil penghitungan suara di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Namun demikian, dalam pelaksanaan SEMA 2010 Mahkamah Agung memberi
dua catatan penting. Pertama, Pemeriksaan terhadap sengketanya oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara agar dilakukan secara prioritas dengan
mempercepat proses penyelesaian sengketanya. Kedua, Dalam proses
peradilan, Ketua Pengadilan Tata usaha Negara atau Majelis Hakim yang
ditunjuk memeriksa sengketanya agar secara arif dan bijaksana
mempertimbangkan dalam kasus demi kasus tentang kemanfaatan bagi
penggugat ataupun tergugat apabila akan menerapkan perintah penundaan
yang dimaksudkan ketentuan pasaln 67 ayat (2), (3), dan (4) UU PTUN. Pesan penting dari kehadiran SEMA 2010 ini bahwa Mahkamah Agung berkeinginan agar seperti
apapun konflik dan perselisihan dalam pilkada, sebaiknya dikelola
bahkan diakhiri dengan melawati ketentuan hukum yang ada. Memang sangat
menyedihkan ketika konflik dalam pilkada terus berlarut dengan diiringi
oleh tindakan kekerasan dan anarkisme.
Tantangan ke Depan
Beberapa hari ke depan, dengan hadirnya SEMA 2010 akan mempengaruhi dinamika dalam proses penyelesaian perkara di PTUN. Ada 244 pemilihan umum kepala daerah (pemilukada)
yang telah, sedang dan akan berlangsung sepanjang tahun 2010 ini.
Sering dengan intensifnya penyelengaraan pilkada di berbagai daerah,
maka para pencari keadilan akan mencoba mendasarkan SEMA 2010 ini untuk
menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi selama pemilukada. Dalam hal
ini, PTUN hendaknya merespon kondisi ini dengan beberapa agenda.
Pertama, para hakim yang akan memeriksa perkara pemilukada hendaknya mendalami
lebih jauh dan detail tentang mekanisme dan proses pelaksanaan
pemilukada. Terkait hal ini, penting menyimak rekomendasi Bawaslu dalam
revisi UU Pemilu yang menghendaki adanya Pengadilan Pemilu sebagai salah
satu Pengadilan Khusus. Pertimbangannya karena penyelesaian hukum
pemilukada oleh hakim selama ini tidak cukup memadai dan belum
konprehensif dalam menyelesaikan persoalan.
Kedua,
mengantisipasi beberapa tahapan yang paling berpotensi menjadi sengketa
pemilukada yang akan diselesaikan di PTUN. Seperti misalnya, Tahapan
pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang gugur
atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Berbagai masalah
yang biasanya memicu gagalnya bakal calon menjadi calon resmi adalah misalnya sang bakal calon terkait
ijazah palsu, tidak terpenuhinya dukungan 15 % parpol pendukung atau
adanya dualisme kepemimpinan parpol pengusung. Untuk konteks saat ini,
tahapan pendaftaran dan penetapan calon semakin krusial seiring
keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon independent
maju dalam Pilkada. Persoalan akurasi dukungan jumlah KTP sangat rawan menjadi sumber sengketa.
Ketiga, perlunya persiapan yang
bersifat non yudisial terkait dengan situasi ketika pelaksanaan
persidangan. Mengingat setiap persidangan berpeluang dihadiri oleh massa
yang cukup banyak. Bahkan mengalami mungkin “ mengalami” ketegangan
ketika harus ada perintah penundaan dll. Namun satu hal yang penting
adalah menghindari adanya putusan atau penetapan yang akan mengganggu
proses dan jadwal pelaksnaan pemilu. Hal ini dikarenakan dalam proses
pemilihan umum perlu segera ada kepastian hukum sehingga dapat
dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Semoga hadirnya SEMA No. 7 tahun 2010 menjadi babak baru bagi Pengadilan Tata Usaha Negara.
-------
*) Penulis adalah calon hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. Tinggal di Yogyakarta.
BAHAN BACAAN
Marzuki, Laica, 2009. Beleidsregel, Materi Kuliah Diklat Calon Hakim PTUN
Mawardi, Irvan.2009. “ Gugatan Hukum dalam Pemilu 2009”. www.berpolitik.com
SEMA No. 8 tahun 2005
UU. No. 5 tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
UU. No. 9 tahun 2004 Tentang pengadilan Tata Usaha negara (Perubahan pertama)
UU. No. 51 tahun 2009 Tentang pengadilan Tata Usaha negara (Perubahan kedua)
UU. No. 22. Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
UU. No. 32. Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU. No. 12. Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah (perubahan kedua)