Sabtu, 24 Juli 2010

Merespon SEMA No.07 Tahun 2010: Institusionalisasi Hukum Tahapan Pemilukada
Oleh: Irvan Mawardi *)

[Senin, 31 May 2010]
Medio April 2010 lalu menjadi awal periode kedua pelaksanaan Pemilukada 2010. Mandat konstitusi sesungguhnya hanya menyiratkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis.

Lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan formulasi jelas tentang demokratisasi dalam pemilihan kepala daerah, yakni dilaksanakan secara langsung. Periode pertama pelaksanaan Pemilukada berlangsung sejak Desember 2004 sampai dengan September 2008 dengan total pelaksanaan kurang lebih 343 Pemilukada dengan rincian pada tahun 2005 telah berlangsung Pilkada di 207 Kab/Kota dan 7 provinsi, pada tahun 2006 terlaksana Pilkada di 70 kabupaten/kota dan 7 provinsi, pada tahun 2007 berlangsung Pilkada di 35 kabupaten/kota dan 6 provinsi, sedangkan untuk tahun 2008 telah berlangsung Pilkada di 11 kab/kota (Data Jaringan Pendidikan pemilih untuk rakyat-JPPR). Untuk Pemilukada pada 2010 ini, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, akan digelar sebanyak 244 pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) mulai dari pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota serta wakil walikota.

Menjelang pelaksanaan periode Pemilukada periode kedua, tahun 2010 ini, banyak pihak yang mendorong agar pelaksanaan Pemilukada ditunda sambil menunggu hasil evaluasi pelaksanaaan pilkada 2005 oleh Depdagri dan KPU. Evaluasi Pemilukada 2005-2008 sangat penting untuk mendapatkan rekomendasi serta refleksi atas kekurangan dan kelemahan yang berlangsung selama periode tersebut.

Ada beberapa cacatatan penting dan fundamental yang mengiringi pelaksanaan pilkada 2005-2008. Pertama, Pemilukada masih belum mampu menghadirkan ruang bagi rakyat untuk mandiri dan memiliki kapasitas yang rasional dalam menentukan pilihannya. Fenomena politik uang selama pilkada mempertegas catatan ini.  Kedua, proses  pelaksanaan pemilukada belum mampu dikelola secara  baik, lancar dan damai sesuai dengan prosedur yang demokratis. Kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul, kampanye yang penuh konflik dan protes atas hasil penghitungan suara menjadi contoh yang sangat jelas. Ketiga, pilkada belum mampu melahirkan pemimpin yang memiliki kapasitas dan akseptabilitas memadai. Pemilukada justru menjadi arena bagi orang-orang yang punya duit dan populer untuk menjadi elit baru. Keempat, kepemimpinan yang dilahirkan oleh proses pilkada harus mampu membentuk pemerintahan bersih dan kuat yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Selama ini sudah banyak keluhan dari masyarakat terkait pemilukada yang berlangsung tapi tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahtaraan rakyat.

Beberapa Persoalan
Tulisan ini tidak bermaksud membahas semua poin evaluasi pemilukada tersebut. Yang menarik dibahas adalah salah satu  faktor lemahnya pengelolaan pelaksanaan pemilukada selama ini adalah karena kegagalan institusionalisasi hukum dalam proses penyelenggaraan pilkada. Hukum tentang pemilukada belum terlembagakan secara baik, sehingga proses penyelesaian pelanggaran dan penyimpangan tidak dapat dikelola secara elegan tapi justru memicu konflik berkepanjangan.

Ada beberapa faktor fundamental yang menghambat proses pelembagaan hukum dalam penyelesaian perkara hukum pemilukada selama ini. Pertama, masih cukup rendahnya pemahaman masyarakat tentang mekanisme hukum yang harus ditempuh ketika berhadapan dengan persoalan yang terkait dengan penyimpangan dan pelanggaran selama berlangsung pemilukada. Kekecewaan publik terhadap proses penyelengaraan pemilu belum mampu terlembagakan dalam proses hukum. Sebaliknya yang muncul adalah kekecewaan yang berujung pada anarkisme dan kekerasan massa.  Kedua, institusi penegak hukum dalam Pilkada, dalam hal ini Bawaslu dan Panwaslu, tidak bisa bekerja maksimal karena secara yuridis eksistensi lembaga tersebut memang tidak memiliki kewenangan yang kuat. Kelemahan Panwaslu selama ini terletak pada ketidakmampuan menindaklanjuti pelanggaran yang dilaporkan masyarakat. Terlihat bahwa Panwaslu tidak memiliki daya eksekusi yang kuat dalam menangani laporan pelanggaran.

Dalam konteks Pilkada, UU. 32 Tahun 2004, pasal 66 ayat (4), menggarisbawahi Panitia Pengawas Pemilihan mempunyai tugas dan wewenang: a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; b. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah d. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan e. mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semua tingkatan.

Panwaslu selalu berdalih bahwa salah satu tugasnya adalah;” meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; klausul ini sering sekali dijadikan dalih ketika panwaslu dihadapkan pada pelanggaran pilkada. Lemahnya daya eksekusi langsung oleh Bawaslu juga terlihat pada UU 22 tahun 2007 yang mengatur tentang tugas dan wewenang Bawaslu. Dijelaskan pada pasal 73 huruf b, c dan d;  b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu; c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU untuk ditindaklanjuti; d. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang.

Pasal ini menujukkan bahwa Bawaslu sesungguhnya sekedar mengumpulkan laporan pelanggaran yang terjadi pada semua tahapan pemilu. Sedangkan tugas dan  kapasitasnya masih bergantung dengan pihak lain. Bahkan tugas dan wewenang yang melekat pada Petugas Pemilih Lapangan (Panwaslu di level desa) hanya sekedar menerima laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara terhadap berbagai tahapan pemilu (Pasal 82). Bukan pelanggaran yang dilakukan masyarakat atau peserta pemilu.

Ketiga, pelembagaan hukum dalam pemilukada juga gagal karena secara substansi UU No. 32 Tahun 2004 bahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah --- tidak secara jelas mengatur proses hukum, materil formil- yang bisa ditempuh ketika berhadapan dengan pelanggaran atau persoalan hukum dalam pemilukada. Misalnya dalam persoalan Penetapan Pasangan Calon. Pasal 61 UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengatur mekanisme hukum apabila ada pasangan yang keberatan tentang keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon. Begitu juga dengan tahapan lainnya. Karena tidak jelasnya mekanisme hukum yang mengatur, maka formula penyelesaian sering berakhir kepada bentrokan dan anarkhisme seperti yang terjadi baru-baru ini di Pemilukada Mojokerto. Jawa Timur.

Selama ini, UU Pemilukada, dalam hal ini UU No. 32 Tahun 2004 -maupun UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 - hanya akomodatif terhadap persoalan sengketa pemilukada yang terkait dengan penghitungan suara, namun tidak mengakomodir persoalan yang terjadi dalam tahapan-tahapan sebelum penghitungan suara. Misalnya, apabila calon merasa dirugikan dan keberatan dengan hasil pengitungan suara oleh KPUD, maka pasangan calon memiliki kesempatan menyampaikan keberatan kepada Mahkamah Agung  dengan catatan keberatan yang dimaksud memang secara nyata mempengaruhi  terpilihnya pasangan  calon. Pasal 106  UU No. 32 Tahun 2004: 1): Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.  2); Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.


Konteks SEMA No. 5 Tahun 2005
Namun demikian, meskipun secara detail beberapa persoalan yang muncul terkait keluarnya Keputusan KPUD selaku pejabat negara tentang berbagai tahapan pemilukada tidak diatur dalam UU Pemilukada (Vide UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12  tahun 2008), namun pelembagaan hukum dalam konteks ini adalah menyelesaikan sengketa atau persoalan dalam ranah hukum administrasi.

Penyelesaian sengketa pilkada lewat mekanisme sengketa tata usaha negara dapat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang   Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat (10): Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pasal 1 ayat (8), yang dimaksud dengan Pejabat tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara, ayat (9) menjelaskan definisi Keputusan Tata usaha Negara, yakni  suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dalam konteks Pemilukada, maka segala keputusan KPUD berpotensi menjadi obyek sengketa dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam 1 (satu)  hal, yakni Keputusan KPUD yang terkait dengan hasil Pemilukada. Dalam UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, khususnya pasal 2 huruf g:  tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Artinya, selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara dalam PTUN.

Mengingat peluang gugatan tersebut, maka dapat diprediksi bahwa KPU memiliki peluang yang cukup besar untuk digugat oleh peserta pemilu atau pemilih. Hal ini dimungkinkan kerena beberapa tahapan krusial yang akan dilewati oleh stakeholders pemilu. Di antaranya, pertama, tahapan pemutakhiran DPT. Tahapan ini sangat terbuka digugat oleh pihak yang merasa tidak terdaftar sebagai pemilih namun secara faktual dan administratif memiliki hak untuk memilih. Kedua, tahapan pengadaan logistik pemilu. Tahapan ini rawan digugat pada tahapan pelelangan sejumlah pengadaan logistic pemilu. Beberapa pihak biasanya tidak puas atas mekanisme tender yang dilakukan KPU. Ketiga, tahapan penetapan calon legislatif dan calon presiden sebagai peserta pemilu. Para calon peserta pemilu yang tidak puas atas proses verifikasi calon akan menggugat keputusan KPU.

Namun harapan akan munculnya dinamika sengketa tata usaha negara dalam periode pemilukada 2005-2008 tidak tercapai akibat keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2005 tentang Petunjuk Tekhnis tentang Sengketa mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada). Pada butir 2 SEMA tersebut disebutkan bahwa dihubungkan dengan pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-undang nomro 9 tahun 2004 tentang Peradilan tata usaha Negara, maka keputusan ataupun penetapannya (KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili.

Menurut SEMA ini, sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilihan umum, namun haruslah diartikan sebagai meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan pemilihan umum, sebab apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan, bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA juga menunjuk putusan Nomor 482 K/TUN/2003 tanggal 18 agustus 2004 sebagai Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan Peradilan tata usaha Negara  untuk memeriksa dan mengadilinya.

Subtansi materi SEMA No. 8 Tahun 2005 ini kemudian memicu pro kontra. Bagi kelompok yang pro, SEMA ini sudah cukup relevan karena memahami bahwa PTUN memang tidak berhak memeriksa persoalan hukum dalam  Pemilu. Bagi mereka yang menyetujui SEMA ini memahami bahwa Pemilu  itu adalah semua proses yang berlangsung sejak tahapan awal, yakni penetapan daftar pemilih sampai dengan penghitungan hasil akhir. Selain itu, mengikuti alur pemikiran J. Downer bahwa penyelengaraan negara itu adalah bagian politik (taatstelling)/penentuan tugas (politik), maka kelompok ini meyakini bahwa Proses pemilu dengan segala tahapannya merupakan agenda atau kerja-kerja pemilihan yang merupakan agenda politik, sementara sebagai bentuk kerja administrasi (taatsvervaling) PTUN hanya berwenang mengadili KTUN yang dikeluarkan oleh pejabat TUN sebagai bagian pelaksanaan segala hal yang telah ditentukan oleh  agenda politik   (Laica; 2009).

Sementara pendapat kontra meyakini bahwa substansi dari SEMA ini sudah keluar dari materi pasal 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN. Karena pasal ini secara jelas menggunakan kalimat “Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”. Kalimat hasil Pemilihan Umum menunjukkan secara tegas bahwa hanya satu tahapan, yakni terkait dengan hasil pemilu yang saat ini hanya dapat diperiksa dan diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan Laica Marzuki menilai bahwa dalam kajian tentang  beleidsregel, maka SEMA ini ini termasuk menyimpang dari UU. Menurut Laica, beleidsregel, sehari-hari dikenal adalah Juklak kemudian yang kedua adalah Surat Edaran, namun biasanya beleidsregel, ini dalam bentuk pengumuman yang diumumkan atau juga dalam bentuk nota yang diedarkan. Dalam kajian beleidsregel, penting membedakan antara peraturan perundang-undangan dan Undang-Undang. Menurut Laica, peraturan perundang-undangan pengertiannya cukup luas, mulai dari konstitusi, UU, Peraturan Pemerintah, Perda dan sebagainya. Jadi, UU termasuk peraturan Perundang-undangan. Tapi tidak semua peraturan Perundang-undangan adalah UU. Dalam konteks Mahkamah Agung misalnya, Perma termasuk peraturan perundang-undangan, sedangkan SEMA masuk kategori peraturan kebijakan.

Mengingat SEMA merupakan bentuk freiez ermessen atau diskresi, maka SEMA memiliki koridor yang sangat penting yakni tidak boleh terjadi penyimpangan. Dalam pandangan Laica, freiez ermessen atau diskresi menyimpang dalam dua hal yakni, melanggar dari UU dan menyimpang dari (asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUUAPB). Sehingga ada kekhawatiran apabila SEMA 8 ini termasuk kategori  freiez ermessen atau diskresi yang menyimpang.  Meskipun demikian, pada prakteknya beberapa hakim PTUN yang menerima sengketa tahapan pemilu di luar tahapan hasil pemiliha umum.

Ketika menjelang pemilu 2009 lalu, setidaknya ada empat putusan pengadilan yang menghiasi pelaksanaan tahapan pemilu 2009. Keempat putusan yang kesemuanya diputuskan PTUN bisa kita kaji. Pertama, Putusan PTUN Jakarta tentang dikabulkannya permohonan 4 empat partai yang mencapai Electoral Treshold pada pemilu 2004 untuk ikut secara otomatis pada pemilu 2009. Kedua, putusan PTUN Jakarta yang memenangkan gugatan Partai Republiku terhadap keputusan KPU yang tidak meloloskan mereka ikut pemilu. Partai Republiku oleh PTUN Jakarta  dianggap berhak ikut pemilu karena fakta di persidangan membuktikan bahwa Partai Republiku memiliki struktur di 29 Provinsi, melebihi persyararatan minimal, yakni 15 provinsi. KPU tidak meloloskan dalam proses verikasi karena KPU menganggap bahwa Partai Republiku hanya memiliki struktur di 14 provinsi. Dalam perkara ini, KPU kalah dua kali sehingga saat saat itu KPU mengajukan kasasi ke MA.

Ketiga, putusan sela yang dikeluarkan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan PKB versi Gus Dur yang menggugat pengambilalihan kantor sekretariat DPP PKB oleh PKB versi Muhaimin. Putusan PTUN membatalkan Keputusan MenhunHAM yang menyebut bahwa alamat Sekretariat DPP PKB di Jalan Siliwangi Jakarta. Keempat, ditolaknya gugatan PKB versi Gus Dur oleh PTUN Jakarta yang menggugat keputusan Menteri Hukum dan HAM yang mengesahkan kepengurusan DPP PKB versi Muhaimi Iskandar. Dari empat gugatan tersebut, sebenarnya dapat dikategorikan menjadi dua ranah perkara. Yakni perkara dalam tahapan verifikasi peserta pemilu dan perkara yang terkait dengan keabsahan partai politik yang berkaitan dengan kepesertaan dalam pemilu 2009. Kesemua perkara tersebut berada dalam ranah tahapan yang tidak terkait dengan hasil pemilihan umum.

Merajut Optimisme dengan SEMA No. 7 Tahun 2010
Terlepas pro kontra atas SEMA No. 8 Tahun 2005, optimisme terhadap proses pelembagaan hukum dalam pemilukada kembali muncul pasca Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2010 (SEMA 2010) tentang Petunjuk Tekhnis Sengketa Mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) pada tanggal 11 Mei 2010. Secara substansi, materi  SEMA 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA 2005. Bahkan materi  SEMA 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi SEMA 2005. Dalam hal ini SEMA 2010 menegaskan bahwa pasal 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1986 menyiratkan bahwa keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan yang diterbitkan oleh KPU/KPUD mengenai hasil Pemilihan Umum, tidak dapat digugat di PTUN.

Namun SEMA ini membedakan dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan di lain pihak keputusan yang berisi mengenai hasil pemiliha umum. Dengan Demikian SEMA 2010 ini mengatur bahwa keputusan-keputusan yang belum atau tidak merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di bidang urusan pemerintahan dan oleh karenanya sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat (9) maka tetap menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Hal ini disebabkan karena keputusan tersebut berada di luar jangkauan perkecualian sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 2 huruf g UU PTUN.

Tegasnya, SEMA 2010 memberikan peluang kepada pencari keadilan untuk menyelesaikan persoalan hukum pemilukada pada semua tahapan kecuali yang terkait dengan tahapan hasil penghitungan suara di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Namun demikian, dalam pelaksanaan SEMA 2010 Mahkamah Agung memberi dua catatan penting. Pertama, Pemeriksaan terhadap sengketanya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara agar dilakukan secara prioritas dengan mempercepat proses penyelesaian sengketanya. Kedua, Dalam proses peradilan, Ketua Pengadilan Tata usaha Negara atau Majelis Hakim yang ditunjuk memeriksa sengketanya agar secara arif dan bijaksana mempertimbangkan dalam kasus demi kasus tentang kemanfaatan bagi penggugat ataupun tergugat apabila akan menerapkan perintah penundaan yang dimaksudkan ketentuan pasaln 67 ayat (2), (3), dan (4) UU PTUN. Pesan penting dari kehadiran SEMA 2010 ini bahwa Mahkamah Agung berkeinginan agar seperti apapun konflik dan perselisihan dalam pilkada, sebaiknya dikelola bahkan diakhiri dengan melawati ketentuan hukum yang ada. Memang sangat menyedihkan ketika konflik dalam pilkada terus berlarut dengan diiringi oleh tindakan kekerasan dan anarkisme.

Tantangan ke Depan
Beberapa hari ke depan, dengan hadirnya SEMA 2010 akan mempengaruhi dinamika dalam proses penyelesaian perkara di PTUN. Ada 244 pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang telah, sedang dan akan berlangsung sepanjang tahun 2010 ini. Sering dengan intensifnya penyelengaraan pilkada di berbagai daerah, maka para pencari keadilan akan mencoba mendasarkan SEMA 2010 ini untuk menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi selama pemilukada. Dalam hal ini, PTUN hendaknya merespon kondisi ini dengan beberapa agenda.

Pertama, para hakim yang akan memeriksa perkara pemilukada hendaknya  mendalami lebih jauh dan detail tentang mekanisme dan proses pelaksanaan pemilukada. Terkait hal ini, penting menyimak rekomendasi Bawaslu dalam revisi UU Pemilu yang menghendaki adanya Pengadilan Pemilu sebagai salah satu Pengadilan Khusus. Pertimbangannya karena penyelesaian hukum pemilukada oleh hakim selama ini tidak cukup memadai dan belum konprehensif dalam menyelesaikan persoalan.

Kedua, mengantisipasi beberapa tahapan yang paling berpotensi menjadi sengketa pemilukada yang akan diselesaikan di PTUN. Seperti misalnya, Tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Berbagai masalah yang biasanya memicu gagalnya bakal calon  menjadi calon resmi adalah misalnya sang bakal calon  terkait ijazah palsu, tidak terpenuhinya dukungan 15 % parpol pendukung atau adanya dualisme kepemimpinan parpol pengusung. Untuk konteks saat ini, tahapan pendaftaran dan penetapan calon semakin krusial seiring keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon independent maju dalam Pilkada. Persoalan akurasi dukungan jumlah KTP sangat rawan menjadi sumber sengketa.

Ketiga, perlunya persiapan  yang bersifat non yudisial terkait dengan situasi ketika pelaksanaan persidangan. Mengingat setiap persidangan berpeluang dihadiri oleh massa yang cukup banyak. Bahkan mengalami mungkin “ mengalami” ketegangan ketika harus ada perintah penundaan dll. Namun satu hal yang penting adalah menghindari adanya putusan atau penetapan yang akan mengganggu proses dan jadwal pelaksnaan pemilu. Hal ini dikarenakan dalam proses pemilihan umum perlu segera ada kepastian hukum sehingga dapat dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan.

Semoga hadirnya SEMA No. 7 tahun 2010 menjadi babak baru bagi Pengadilan Tata Usaha Negara.


-------
*) Penulis adalah calon hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. Tinggal di Yogyakarta.


BAHAN BACAAN
Marzuki, Laica, 2009. Beleidsregel, Materi Kuliah Diklat Calon Hakim PTUN
Mawardi, Irvan.2009.  “ Gugatan Hukum dalam Pemilu 2009”. www.berpolitik.com
-------------------. 2007, ” Anatomi Konflik Dalam Pilkada”. www.jppr.or.id
SEMA No. 8 tahun 2005
UU. No. 5 tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
UU. No. 9 tahun 2004 Tentang pengadilan Tata Usaha negara (Perubahan pertama)
UU. No. 51 tahun 2009 Tentang pengadilan Tata Usaha negara (Perubahan kedua)
UU. No. 22. Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
UU. No. 32. Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU. No. 12. Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah (perubahan kedua)

Jumat, 23 Juli 2010

KASUS TANAH MERUYA

Pengadilan Negeri Jakarta Barat akhirnya menunda eksekusi terhadap tanah Meruya Selatan yang sedianya dilakukan hari ini. Bentrok antara warga dan eksekutor seperti yang dikhawatirkan banyak orang pun tak terjadi.
Tapi, sampai kapan? Tak ada seorang pun yang tahu.
Yang jelas, kasus tanah Meruya menggambarkan betapa buruk dan sembrononya kerja aparat pemerintah kita, terutama Badan Pertanahan Nasional (BPN), dalam sistem pendataan dan sertifikasi tanah.
Kok bisa?
Kasus ini bermula pada 1972. Waktu itu, Haji Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin Haji Geni, dan Muhammad Yatim Tugono membeli tanah-tanah girik dari warga Meruya Udik, yang kini menjadi Kelurahan Meruya Selatan. Seluruh tanah ini mencapai luas 78 hektare dan kemudian dijual dengan harga Rp 300 per meter persegi ke perusahaan properti milik Beny Rachmat itu.
Masalah muncul ketika Portanigra menuduh tiga mandor itu belakangan membuat girik palsu dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa pihak. Kasus pemalsuan girik ini ditemukan oleh Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pusat pimpinan Laksamana Sudomo pada 1978.
Dalam proses pemeriksaan, tiga mandor tadi mengaku menjual lagi girik tersebut kepada beberapa perusahaan. Di antaranya ke pemerintah DKI Jakarta pada 1974 seluas 15 hektare, kepada PT Intercone (2 hektare) dan PT Copylas (2,5 hektare) pada 1975, serta kepada BRI seluas 3,5 hektare pada 1977.
Pada 1986, Djuhri divonis hukuman setahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Di tingkat banding, Yahya terkena vonis setahun penjara. Adapun Tugono, kasasinya ditolak Mahkamah Agung sehingga ia harus masuk penjara pada 1989.
Berbekal putusan pidana itu, Portanigra kemudian menggugat perdata ketiga mandor tersebut pada 1996. Ketika itu, Pengadilan Negeri Jakarta Barat sudah meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas 44 hektare yang diklaim milik Porta. Gugatan ini sempat ditolak di tingkat pertama dan banding.
Namun, pada 2001, nasib berbalik memihak Porta ketika perkara sampai di Mahkamah Agung. Mahkamah memenangkan Porta. Putusan perkara pidana dan bukti jual-beli yang jadi pegangan putusan kasasi.
Meskipun bukan pihak yang bersengketa, warga kini berusaha melawan putusan Mahkamah Agung dengan mengajukan gugatan perlawanan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Warga juga berusaha menghalangi eksekusi dengan mengadukan Portanigra ke polisi karena adanya sejumlah kejanggalan di berkas perkara.
Kejanggalan itu di antaranya menyangkut domisili perusahaan tersebut di Duta Merlin yang ternyata kosong dan nomor wajib pajak ganda atas nama Portanigra.
Dari tiga terpidana, kini cuma Haji Djuhri yang sudah berusia 80 tahun dan pikun itu yang ikut melawan. Sebab, Yahya sudah meninggal dan Tugono pindah entah ke mana.
Portanigra sendiri kini menunggu upaya Dewan Perwakilan Rakyat mencari solusi untuk tak merugikan pihak ketiga atau warga dalam sengketa tanah tersebut.
Badan Pertanahan Jakarta yang disebut-sebut ikut punya andil membuat masalah ini jadi kisruh sepertinya malah tak diganggu gugat. Padahal jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di atas lahan yang terlibat sengketa.
Nasi telah menjadi bubur. BPN mengeluarkan sertifikat itu dan kini jadi masalah. Warga Meruya pun berada dalam ketidakpastian entah sampai kapan …
[Ulasan lengkap tentang kasus sengketa tanah Meruya Selatan bisa Anda ikuti di majalah Tempo terbaru yang beredar hari ini]
EIGENDOM VERPONDING

Berikut ini adalah artikel kiriman dari Bp. Bambang Sukamto, SH dari PT. KTU Verluis Indonesia.
Masalah Eigendom verponding yang sering diucapkan oleh sementara orang,baik itu awam atau orang instansi berdasarkan pengalaman kerja kami yang sekian lama,pada dasarnya mereka kurang  mengerti arti inti hukum dari  istilah itu apa lagi dengan kekuatan berdirinya Departemen Hukum Dan Hak Asasasi Manusia kini.
Di bawah ini kami ingin memberikan keterangan inti dari arti dan status hak kepemilikan tanah dan bangunan Eigendom dalam scope umum;
1 .Dalam bahasa Belanda  “ Eigendom” berarti sebagai suatu hak pemilikan tetap terhadap suatu aset tanah atau bangunan, biasanya di daftar Letter C.
2.Verponding adalah surat nomor tagihan pajak atas tanah /bangunan yang dimaksudkan.
3.Istilah Verponding ini kemudian diganti dengan Surat Pajak Hasil Bumi dan Bangunan yang sekarang kita kenal dengan nama SPPT PBB.
4.Istilah Eigendom atas tanah/bangunan hanyalah suatu istilah nama yang mana karena kurangnya penegasan pengetahuan umum bahasa dan hukum sering dipastikan milik Belanda/asing non Belanda.
5. Kalau kita –kita paham sekali,lalu bagaimana menyikapi masalah penyerobotan tanah Eigendom dimana pemiliknya adalah jelas-jelas WNI? Kita bisa mengambil contoh kasus Tanah Eigendom milik pejuang  bangsa kita Alm Dr Soetama. Beliau semula memiliki tanah Eigendom seluas 7 Ha. Namun pada akhirnya hanya bersisa 2.400 M2 saja.
Ada pula tanah/bangunan Eigendom milik Alm R. Surya Gondo Kusuma (mantan Gubernur Jateng) yang begitu saja diduduki instansi Dinas Pembibitan Dep.Pertanian. Karena dikategorikan tanah bangunan milik Belanda, ahli waris pemilk hanya bisa gigit jari.
Ini kami paparkan karena kami adalah orang lapangan yang sehari-hari bergelut dengan masalah tersebut yang beraneka ragam bentuknya terhadap/pada setiap obyek.
6. Jadi pemilik-pemilik tanah bangunan Eigendom bisa saja;
    a. pemilik awal dahulu adalah orang asing yang berwarga negara RI di zaman Belanda.
    b. ahli waris orang tersebut yang WNI ,karena ahli waris itu seorang pribumi ( Nyai-
nyai ) apa lagi anak-anaknya. Dari pisahnya ikatan pernikahan setelah suami
meninggal  dunia maka status istri /ahli waris kembali menjadi pribumi.
    c. orang-orang WNI dan pribumi bangsa kita yang kebanyakan ekonominya lemah
hingga tidak mampu melaksanakan konversi/pendaftaran  ulang seperti kesempatan
dari negara tahun 1964 dan 1974.
Permasalahan yang sering terjadi di lingkungan perkotaan adalah: 90 % terjadi okupasi (pendudukan) terhadap tanah-tanah tersebut. Okupasi tersebut dilakukan baik oleh instansi maupun perorangan, yang terkadang bahkan dilakukan atas dasar rekomendasi dari P3MB. Hal ini sangat kuat dan secara tidak tertulis diakui oleh semua pihak. Sebab pada saat itu Presiden menyatakan bahwa negara dalam keadaan “Darurat  Perang” ( sepanjang ingatan kami, hal ini terjadi waktu kasus Irian Barat).
Sejak dari sinilah  timbul kerancuan-kerancuan mengenai pemilikan atas tanah-
tanah tersebut. Timbulnya salah pengertian mengenai Eigendom tersebut adalah
identik dengan Belanda. Dengan bukti dasar semu sejak pendudukan Jepang, Belanda-
(bahkan bangsa kita yang berpostur mirip Belanda-Arab) lari meninggalkan tanah dan
rumahnya mengungsi sampai keluar negeri. Sehingga mulai saat itu kalau ada rumah
kosong dipastikan milik orang Belanda atau mirip Belanda. Mereka semua lari
mengungsi karena takut dibantai oleh Jepang.
Sebagai lanjutan dari uraian keterangan kami tersebut di atas, sebenarnya banyak sekali contoh bukti kasus Eigendom dan sejenisnyayang kami tangani. Ada yang selesai dengan posisi ahli waris babak belur dan harus mau terima apa adanya.Terutama  tanah /bangunan yang dikuasai TNI/POLRI.
Semua ulasan ini kami sumbangkan kepada Bapak Joyo Winoto sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)  guna bantuan menyikapi penataan sistem  koordinasi antar instansi dan badan hukum legal dan sosialisasi kepada lurah-lurah /Kepala Desa karena 99% keruwetan mulai timbul dari level ini.
Mohon  perhatian bahwa di Kantor-kantor Kelurahan/Kepala Desa, sering kita temui bahwa Buku Letter C tidak ada. Dengan alasan dibawa oleh Lurah/Kepala Desa terdahulu dan (dinyatakan ) hilang. Inilah sumber dari gelapnya situasi dan kondisi. Menurut peraturan Undang-Undang Kepegawaian Negeri bukankah menghilangkan buku Letter C yang merupakan panduan kepemilikan utama dapat dikenakan berbagai sanksi, yang bahkan sampai dengan Pidana? Hal ini mohon benar-benar disikapi tegas.
Demikian ulasan kami semoga bisa membanntu kebijakan Reforma Agraria. Dengan point memediasi representasi legal menekan Opportunity lost ketitik nol dan obsesi 1000 Trilliun Rupiah masuk ke Sistem Ekonomi dan Politik di Indonesia.
Hormat kami.
Bambang Sukamto SH
PT Kantor Tata Usaha Versluis Indonesia
No HP :  081913144631
E-mail : bambang1@hotmail com

Warga Bearland Nyatakan Tanah Perumahan Status Quo

TEMPO Interaktif, Jakarta - Warga perumahan Bearland menyatakan tanah di perumahan Bearland berstatus quo. Warga mengklaim bahwa tanah seluas kurang lebih 42 hektar ini tidak ada yang memiliki.
"Kami sudah mengumpulkan data dan terbukti tanah ini bukan hak milik TNI, tetapi disebut sebagai tanah negara," kata Ketua RT 03 Bearland, Soejatmanto saat konferensi pers di Perumahan Bearland, Senin (22/02).

Pria yang biasa dipanggil Totok ini menjelaskan, tanah yang terletak di RW 03 Kelurahan Kebon Manggis Kecamatan Matraman Jakarta Timur ini sebenarnya milik Tuan Fam Faber. Keterangan kepemilikan itu tertuang dalam Eigendom Verponding No 3566 No 95 a, 95 b dan 96 tahun 1940 dan 1941. "Itu riwayatnya," ujar Totok.

Dokumen dasar hukum kepemilikan yang dikumpulkan warga, kata Totok juga mempertegas bahwa tanah perumahan belum ada yang memiliki. Berdasarkan surat dari kantor pertanahan Jakarta Timur disebutkan bahwa tanah belum mempunyai surat hak atas tanah/belum bersertifikat/belum terdaftar.
Bahkan kantor pertanahan menyarankan agar masyarakat melakukan pengukuran dan kemudian dicatatkan dalam peta kantor pertanahan Jakarta Timur. Dari sudut aset negara, tanah ini juga belum tercatat di Departemen Keuangan sebagai tanah di bawah naungan Departemen Pertahanan.

"Karena itu kami himbau agar TNI AD tidak semena-mena mengusir kami dari sini, sebab TNI AD juga bukan pemilik tanah ini," ujar Totok.

Ketua RW 03 Bearland Suamiati Amansyah memastikan bahwa warga Bearland akan mempertahankan tanah tersebut sampai titik darah penghabisan. "Kami akan pertahankan sampai titik akhir," ujarnya. Sebab sebagian besar warga yang tinggal di kompleks ini mengaku mendapatkan rumah dengan cara membeli dari penghuni sebelumnya.

Pengacara warga setempat Baginda Syafri mengatakan bahwa penetapan status quo oleh warga ini sudah tepat. "Sebab baik warga maupun TNI AD tidak ada yang punya hak milik," ujarnya. Namun jika dilihat dari fungsi sosial tanah maka warga berhak mengklaim. Pasalnya warga telah melakukan tindakan yang membuktikan penguasaan atas tanah. Misalnya dengan membayar Pajak Bumi dan Bangunan.

"TNI AD hanya pengguna tanah ini, tapi sama sekali tidak punya hak untuk menyatakannya sebagai hak milik," kata Syafri.

Kamis, 22 Juli 2010

Agung Podomoro dituding intervensi hakim, KY didesak mengusut PDF Print E-mail
Written by Administrator   
Tuesday, 18 May 2010 02:02
Jakarta (Primair Online) - Komisi Yudisial (KY) diminta untuk mengusut keterlibatan PT Agung Podomoro dalam dugaan mengintervensi putusan tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara perkara pemalsuan surat tanah di wilayah Sunter, Jakarta.
Tiga orang terdakwa dinyatakan bersalah menyerobot tanah yang diserahkan oleh PT Agung Podomoro sebagai fasilitas sosial dan umum. Padahal, salah satu terdakwa, Donald Guilaime Wolfe, sebelumnya sedang mempersoalkan penyerahan lahan tersebut lantaran ada bukti fatwa waris dari Saamah berdasarkan salinan penetapan Nomor: 87/1989 yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bogor.

"Proses peradilan yang dialami oleh para terdakwa adalah sangat dipaksakan karena para terdakwa didakwa atas dasar hasil penyelidikan yang tidak berimbang. Para terdakwa juga telah diperiksa dan diadili dalam persidangan atas perbuatan yang tidak mereka lakukan dan persidangan sarat dengan rekayasa dan penuh kebohongan," kata kuasa hukum para terdakwa, Parulian Tarihoran, saat melakukan audiensi dengan KY, di Gedung KY, Jakarta, Senin (17/5).

Selain Donald, terdakwa lainnya dalam perkara ini adalah Husein Watilehu serta Budhi Kurniawan. Mereka disidangkan terpisah terkait dengan masalah yang sama.

Persoalan ini bermula pada Maret 2009. PT Agung Podomoro dan Pemda DKI Jakarta dilaporkan melakukan tindak pidana korupsi ke Kejaksaan Agung terkait dengan serah terima lahan fasilitas sosial dan umum itu. Tapi, perusahaan pengembang properti itu melaporkan balik para terdakwa yang mempersoalkan keabsahan serah terima lahan.

Di persidangan, ketua majelis hakim Purwanto memberikan komentar yang mencengangkan. Kata Parulian, hakim tersebut menyebutkan bahwa perkara ini tidak akan pernah disidangkan jika terpidana Donald Guilaime Wolfe tidak melaporkan PT Agung Podomoro dan Pemda DKI Jakarta ke Kejaksaan Agung.

"Patut diduga Ketua Majelis Hakim telah berupaya untuk menghukum para terpidana demi mengabulkan niat PT Agung Podomoro menguasai tanah orang lain tanpa alas hak yang sah," ujar dia.

Bukti-bukti menurut dia sudah jelas, Donald memiliki bukti kepemilihan tanah berupa akta eigendom verponding Nomor 309 atas nama Saamah seluas 300 ribu m2 tertanggal 16 Agustus 1935, Meetbrieft Nomor 27. A (surat ukur) tanah eigendom sebagai surat pengganti surat ukur tanggal 10 November 1922 yang dikuatkan dengan putusan PN Jakut, Nomor 164/Pdt/P/2005/PN. Jkt. Ut berkekuatan hukum tetap. Hal tertsebut berbeda dengan bukti Agung Podomoro yang hanya memperlihatkan foto kopi surat-surat kepemilikan lahan. "Menurut hukum tidak sah sebagai alat bukti," ujarnya.

Putusan perkara ini sendiri dijatuhkan cepat dan terburu. Putusan dijatuhkan dalam hari yang sama seusai pembelaan penasehat hukum terdakwa dibacakan. "Patut diduga putusan tersebut telah ada jauh sebelum pemeriksaan perkara ini selesai disidangkan," kata dia.

Atas putusan yang dijatuhkan jelang dua bulan yang lalu itu, pihaknya sedang mengupayakan banding. Namun, hingga kini salinan putusan PN Jakut tersebut belum diterimanya.

Lantaran curiga adanya intervensi, pihaknya mengadukan hakim tersebut ke KY. Adapun hakim yang diadukan adalah Purwanto, Muzaini Achmad, Prim Haryadi, Muchtar Ritonga, Putu Supadmi, Haryanto, Eko Supriyono serta K Simanjuntak. Pengaduan ke KY tadi siang merupakan kali kedua. Sebelumnya, ia sudah pernah memberikan pengaduan saat majelis menolak memberikan kesempatan terdakwa menghadirkan ahli pidana.

Sementara itu, anggota KY Zainal Arifin menyatakan akan mengkaji lebih jauh permasalahan ini bila salinan putusan tersebut sudah sampai di pihaknya. "Akan kita kaji," kata dia.

(aka)

Warga Sunter Demo Balai Kota

TEMPO Interaktif, Jakarta -Sekitar lima puluh warga Sunter, Jakarta Utara, unjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, siang ini. Mereka menuntut Pemerintah Provinsi DKI untuk membayar janji menyelesaikan sengketa tanah di Sunter.

“Kami merasa dibohongi Pemerintah. Sampai sekarang belum ada tanggapan dari mereka meski kami sudah berulang kali mengirimkan surat permohonan penyelesaian ke gubernur,” kata koordinator aksi, Irwansyah.

Sengketa bermula pada 1993. Lahan berupa sawah seluas 4,2 hektare milik Abdoel Hamid, warga RW 04 Kelurahan Sunter Jaya, Jakarta Utara, tiba-tiba diuruk oleh PT. Indofica Housing. Perusahaan itu mengklaim memiliki surat perjanjian kerjasama operasional dengan Pemerintah Provinsi DKI per 7 April 1993. Tanah itu ada dalam penguasaan PT. Agung Podomoro, dan digunakan untuk perumahan mewah, serta sarana rekreasi dan olahraga.

Merasa tanahnya diserobot, para ahli waris Abdoel Hamid menanyakan status kepemilikan tanah pada PT. Agung Podomoro. Namun pihak perusahaan menyatakan bahwa tanah itu merupakan tanah Badan Pengawas Pelaksana Pembangunan Lingkungan (BP3L) Sunter dan dikuasai oleh Agung Podomoro atas dasar adanya perjanjian kerjasama Pemprov DKI-Indofica.

“Padahal kami punya akta Eigendom Verponding, sebagai bukti kepemilikan. Syarat-syarat kami lengkap, lah,” kata Irwansyah, kuasa ahli waris Abdoel Hamid. Ahli waris Abdoel Hamid merasa tak pernah melakukan transaksi penjualan tanah dengan pihak mana pun.

Menurut Irwansyah, berbagai langkah sudah pernah ditempuh ahli waris. Pada 13 Desember 1994, mereka pernah bertemu Gubernur DKI saat itu, Surjadi Soedirdja. “Pada pertemuan itu Pak Surjadi meminta PT Indofica membayar ganti rugi tanah pada kami,” ujarnya.

Pada 1998, PT Indofica pun lantas mengundang Irwansyah dkk, dan Direktur Utamanya, Trihatma K Haliman, mengatakan akan membayar gantu rugi. Namun setelah itu, tak ada kelanjutannya. Pengacara PT Indofica justru mempersilakan Irwansyah dkk lapor ke pengadilan untuk menggugat tanah itu.

Pemprov DKI pada November 2006 akhirnya memfasilitasi mediasi antara ahli waris Abdoel Hamid dengan PT Indofica. Namun setelah itu, tak ada kelanjutan proses penyelesaian sengketa tanah. “Kami tetap ingin tanah kami dikembalikan." Jika tidak bisa, Irwansyah menginginkan ganti rugi. Menurut dia,  Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di lahan sengketa itu bisa mencapai Rp 10 juta per meter persegi.

Subianti, ahli waris Abdoel Hamid, merasa kecewa dengan sikap Pemprov DKI yang tak kunjung memenuhi janjinya untuk menyelesaikan sengketa. “Saya ingin tanah kami dikembalikan,” kata perempuan 45 tahun, cucu Abdoel Hamid, yang kini akhirnya terpaksa tinggal di pinggir rel kereta api di kawasan Kebon Baru, Jakarta Selatan.

ISMA SAVITRI
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertemu Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk membahas raibnya aset negara dalam bentuk tanah dan gedung termasuk di DKI Jakarta, kemarin.

Pertemuan berlangsung di Kantor KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. "KPK mengundang BPN sebagai tindak lanjut aset negara", jelas M Sigit, Direktur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Hadir memenuhi panggilan KPK adalah Sekretaris Utama BPN M Manurung, Kepala Biro Umum Anjar, dan Simbolon, salah seorang Direktur BPN. Di pihak KPK, hadir M Sigit, Suryohadi, penasihat KPK, Adlinsyah M Nasution, ketua tim, serta 9 anggota tim.

Dalam pertemuan tersebut, KPK mempertanyakan pelayanan dan sertifikat yang dikeluarkan BPN. Tim juga membahas sertifikat PT Perkebunan Nusantara (PN) III Medan, PTPN VIII Gunung Mas, dan PT Kereta Api.

Mengenai kasus aset negara yang telah beralih kepemilikan di DKI Jakarta, Sigit mengatakan sedang mempelajari. "Kalau memang ada aset yang berpindah tangan, kami akan bicarakan dengan instansi terkait."

Terkait dengan raibnya 5.302 kendaraan dan aset berbentuk lahan milik Pemprov DKI, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar meminta supaya pejabat berwenang memberikan data. "Tolong laporkan ke KPK. Kami juga akan mengumpulkan data dan segera mengambil tindakan. Yang jelas pasti kami tindak lanjuti."

Mengenai langkah yang akan dilakukan, Haryono menjelaskan KPK akan memanggil pihak Pemprov DKI dan BPN. Aset paling mencolok yang raib adalah lahan dan gedung bekas Kantor Wali Kota Jakbar bernilai puluhan miliar.

Mantan Kepala Bagian Hukum Organisasi dan Tata Laksana Jakarta Barat Manihar Situmorang menyebutkan Yayasan Saweri Gading memenangi kasus tersebut karena mendapat surat keterangan dari tiga mantan pejabat Pemprov DKI.

Pertama, surat Sekda DKI 1994 yang menyatakan lahan di lokasi tersebut bukan milik Pemprov DKI. Kedua, surat Lurah Tomang yang menyebutkan Yayasan Saweri Gading memiliki lahan seluas 20 ribu meter persegi termasuk Kantor Wali Kota Jakbar, serta surat perintah bongkar Wali Kota Jakbar yang menguatkan Yayasan Saweri Gading sebagai pemilik lahan.

Lebih Rp15 triliun

Aset dalam bentuk lahan yang raib bernilai lebih Rp 15 triliun. Kewajiban fasos fasum 2.026 pengembang saja terealisasi Rp3,3 triliun dari puluhan triliun rupiah. DPRD DKI pada 2000 sudah meminta Kejaksaan Tinggi DKI untuk mengungkap kasus tersebut.

Di Jakut, aset milik Pemprov DKI berupa tanah seluas 26,5 ha juga terancam hilang. Lahan yang dikenal dengan Taman BMW itu diklaim perorangan dan telah mendapatkan penetapan dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Warga Jalan Sunter Muara RT 17/5, Kelurahan Sunter Agung, Donald Guilamme bin Moh Darwis mengklaim tanah tersebut milik ahli waris Saamah. Klaim itu dilakukan setelah mendapat penetapan PN Jakut nomor 164/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Ut tanggal 25 November 2005.

Dalam penetapan pengadilan yang ditandatangani hakim tunggal Saut H Pasaribu dan Panitera Pengganti Suyahyo disebutkan tanah milik Saamah berlokasi di Kampung Papanggo, Jalan RE Martadinata dan Jalan Sunter Permai Raya, Kelurahan Papanggo. Kepemilikan tto berdasarkan- Eigendom Verponding Nomor 309, surat ukur tanggal 16 Agustus 1935, yang merupakan pengganti dari surat ukur tanggal 10 November 1922 nomor 10.

Wali Kota Jakut Effendi Anas yang dimintai konfirmasi, kemarin, menegaskan tanah tersebut mumi milik Pemprov DKI. Lahan itu berasal dari kewajiban tujuh perusahaan di wilayah Jakut. Ketujuh perusahaan itu memberikan lahan Taman BMW sebagai untuk fasos/fasum.

Ketujuh perusahaan itu adalah PT Astra Internasional, PT Agung Podomoro, PT Prospect Motor, PT Indofica Housing, PT Sumber Brothers, PT REAM, dan PT Yakin Gloria.

"Kami sudah menelusuri Eigendom Verponding Nomor 309. Hasilnya, lokasi tanah tersebut pada 1935 terletak di Kampung Papanggo, sedangkan Taman BMW baru masuk dalam wilayah Kelurahan Papanggo pada 1989," tukas Effendi. ***

Sumber : Media Indonesia, 24 Juni 2008