Senin, 29 November 2010

Kasus Gayus Digeber, Century Digantung?
Headline
IST
Oleh: R Ferdian Andi R
Nasional - Senin, 29 November 2010 | 15:12 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Momentum terpilihnya tiga pimpinan penegak hukum di Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung memunculkan kecenderungan pilih kasih penanganan kasus yang menyita perhatian publik. Yang muncul justru prioritas kasus Gayus H Tambunan dan mengenyampingkan Century.
Sikap tiga lembaga penegak hukum yang sigap dalam penaganan kasus Gayus H Tambunan dengan rencana menggelar gelar perkara Selasa (30/11/2010) besok, memang positif. Namun langkah tersebut menimbulkan tanda tanya besar, mengapa penegak hukum justru mengenyampingkan skandal bailout Bank Century sebesar Rp6,7 triliun.
Mantan anggota Pansus Century Bambang Soesatyo menilai, sikap tebang pilih aparat penegak hukum telah ditunjukkan dengan perlakuan berbeda dalam penanganan kasus Gayus dan Century. "Ini memperjelas terjadinya tebang pilih penegakan hukum," katanya kepada INILAH.COM di Jakarta, Senin (29/11/2010).
Ia menilai penanganan yang mencolok dalam kasus Gayus H Tambunan ditunjukkan oleh aparat penegak hukum. "Mengapa mereka, ditambah Satgas Pemberantasan Hukum termotivasi keroyokan untuk menuntaskan kasus Gayus," tanya Bambang heran.
Situasi inilah yang membuat gusar salah satu inisiator angket Century itu. Bahkan Bambang mengaku, DPR merasa dilecehkan dengan perbedaan penanganan kasus Gayus dan Century yang telah menjadi keputusan paripurna DPR pada 3 Maret 2010. "Saya mengecam keras perbedaan perlakuan terhadap dua kasus itu," tegasnya.
Bambang menegaskan, skandal Bank Century layak mendapat perlakuan serupa dari penegak hukum, mengingat sidang Paripurna DPR memerintahkan dilakukannya proses hukum terhadap semua pihak yang diduga terlibat dalam skandal itu.
Seperti diketahui, Mabes Porli akan melakukan gelar perkara kasus Gayus, Selasa (30/11/2010) besok dengan mengundang KPK, Kejaksaan Agung dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.
Kasus Gayus kembali menyita perhatian publik saat diketahui Gayus H Tambunan keluar dari sel tahanan selama 68 kali salahs atunya pelesiran ke Bali sekaligusm menonton tenis.
Situasi kontras justru terjadi di kasus Bank Century. Sejak putusan DPR pada Rapat Paripurna DPR 3 Maret 2010 lalu, hingga saat ini belum ada kemajuan proses hukumnya. Meski telah dibentuk Tim Pengawas Kasus Century DPR, justru kasus ini jalan di tempat. Dalam beberapa kesempatan KPK justru menyebutkan belum ada temuan indikasi korupsi dalam kasus Century.
Pandangan berbeda muncul dari Juru Bicara Partai Demokrat Ruhut Poltak Sitimpul. Menurut dia, kasus Century telah selesai. Buktinya aktor utama dalam kasus Century telah diproses di pengadilan seperti Robert Tantular.
"Kasus Century sudah selesai. Recovery aset tengah dilakukan Mabes Polri," ujarnya kepada INILAH.COM di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/11/2010).
Ia menegaskan, maksud angket Century beberapa waktu lalu untuk menargetkan Boediono dan Sri Mulyani namun nyatanya tidak terbukti. "Semua tidak terbukti tuduhan ke Boediono dan Sri Mulyani," tandasnya.
Anggota Komisi III DPR ini membantah jika aparat penegak hukum melakukan pilih kasih penanganan kasus Gayus. Ruhut menegaskan kasus Gayus tengah berjalan yang memungkinkan pengembangan kasus yang dapat ditangani aparat penegak hukum lainnya selain Mabes Polri seperti KPK. "Ini kan belum selesai, masih pengembangan kasus. Kenapa harus kebakaran jenggot kader Partai Golkar," sindir Ruhut.
Tidak salah jika aparat penegak hukum bergerak mengusut kasus Gayus H Tambunan dalam perkara mafia pajak. Namun di saat bersamaan, tiga lembaga penegak hukum juga jangan abai atas rekomendasi DPR yang mengamanatkan mengusut tuntas kasus Century.
Karena bagaimanapun, kasus Century diduga merugikan uang negara yang tidak kecil. Memperjelas status kasus Century sama saja tidak menyandera pihak-pihak yang disebut dalam rekomendasi DPR beberapa waktu lalu.
Jangan sampai institusi penegak hukum menjadi subordinat kepentingan penguasa. Karena bagaimanapun kasus Century telah menyeret lingkar dalam Istana dalam kasus ini. Dengan gerak cepat aparat penegak hukum dalam kasus Century sama saja membersihkan wajah Istana yang telah tercoreng jika pada akhirnya tidak terbukti. [mdr]
Dapatkan berita populer pilihan Anda gratis setiap pagi disini atau akses mobile langsung http://m.inilah.com via ponsel dan Blackberry !

Rabu, 24 November 2010

Jaksa Agung Baru Harus Miliki Nyali Tinggi Sikat Mafia Hukum 
Indra Subagja - detikNews




"Kita harapkan Jaksa Agung yang baru di samping menguasai bidang tugasnya, juga memiliki idealisme dan nyali yang tinggi," kata anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat di Jakarta, Rabu (24/11/2010).

Dia menjelaskan idealisme di sini artinya, bagaimana membuat institusi kejaksaan efektif dan jujur melaksanakan tugasnya. Untuk itu Jaksa Agung perlu membenahi internalnya, dan mampu menyuntikkan idealisme atau semangat pengabdian pada anak buahnya.

"Itu yang dirasakan orang mulai tergerus belakangan ini," imbuhnya.

Sedang nyali yang tinggi maksudnya, memiliki keberanian melindungi jajaran kejaksaan dalam melaksanakan penuntutan, meskipun terhadap tekanan kekuasaan dan orang berduit.

"Sekaligus keberanian bertindak tegas terhadap penyimpangan yang dilakukan anak-anak buahnya, dan berkomitmen untuk memberantas mafia hukum yang bercokol di institusinya," imbuh politisi Gerindra ini.

Dia berharap, presiden membuat dan memberi target yang jelas, apa yang harus dicapai oleh Jaksa Agung dalam 1 tahun, 2 tahun, atau 3 tahun ke depan.

"Dan tidak ragu-ragu menggantinya di tengah jalan apabila tidak menunjukkan prestasi. Saya berharap SBY yang sudah 6 tahun memimpin penegakan hukum sudah lama memantau calon yang pas untuk itu, oleh karenanya jangan ragu-ragu lagi memutuskannya dalam minggu ini, sebab rakyat sudah terlalu lama menanti," tutupnya.

Sebelumnya Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Sudi Silalahi menyampaikan bahwa nama Jaksa Agung baru akan diumumkan minggu ini. Hanya ada 1 nama calon Jaksa Agung.

"Iya, mudah-mudahan (minggu ini)," kata Sudi usai menghadiri acara peresmian Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara 2010 di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Kehutanan, Jl Gatot Subroto, Jakarta.

(ndr/nvt)

Senin, 15 November 2010

Lagi-lagi Fuad Minta Koruptor Dihukum Mati
Minggu, 14 November 2010 , 18:05:00 WIB
Laporan: Wahyu Sabda Kuncahyo

KORUPSI/IST
  

RMOL. Korupsi adalah musuh bersama yang dampaknya melebihi kejahatan terorisme. Oleh karena itu, setiap pelaku korupsi layak diberikan hukuman mati.

Hal itu disampaikan politisi Hanura Fuad Bawazier pada diskusi "Makelar Kasus, Mafia Pengadilan dan Politik Hukum Penguasa di kawasan Cikini, Minggu (14/11).

"Saya setuju banget. Ini (koruspsi) lebih berat dari teroris. Lebih baik menghukum mati koruptor daripada menghukum mati teroris," kata mantan Menkeu era Presiden Soeharto.

Hukuman mati memang harus diberikan kepada koruptor. Karena efek korupsi menyerang seluruh sendi kehidupan dan membuat rakyat terus-menerus menderita. [arp]

Rabu, 27 Oktober 2010

Pengadilan Bisa Batalkan Sertifikat Tanah

Rabu, 27 Oktober 2010, 14:44 WIB
 
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kantor Wilayah Jakarta Barat, Tjahyo Widianto mengatakan bahwa pengadilan bisa membatalkan sertifikat tanah yang dikeluarkan BPN.

"Sertifikat bisa dibatalkan atas penilaian hakim," ujar Tjahyo saat ditemui di kantor pemerintah kota Jakarta Barat, Rabu (27/10). "Namun, bukan berarti setiap sertifikat tanah rawan pembatalan."

Tjahyo menuturkan sertifikat adalah bukti kepemilikan tanah yang kuat, tapi tidak mutlak. Secara normatif diakui dan harus dipertimbangkan oleh lembaga penegak hukum. Sebelum hakim menjatuhkan vonis pembatalan sebuah sertifikat, lanjut dia, hakim pasti akan mempelajari kasusnya dengan teliti.

BPN tidak sembarangan dalam menerbitkan sertifikat. Saat ada permohonan pembuatan sertifikat, maka BPN akan menganggap semua dokumen yang dibawa pemohon adalah benar secara formal.

"Jika persyaratan pembuatan sertifikat dipenuhi, maka BPN akan menerbitkan sertifikat" tutur Tjahyo " Jika ada masalah maka pengadilan yang akan menilai."

Sertifikat bisa diuji dengan tiga aspek yaitu secara yuridis, teknis, dan administratif. Sementara jika sertifikat dihadapkan dengan keberadaan girik, maka akan timbul pertanyaan apakah girik tersebut sudah diuji secara yuridis di pengadilan.

Tjahyo menuturkan girik dibuat oleh kantor pajak sebelum 1960. Untuk membuktikan keberadaan girik sangat sulit sebab undang-undang dan aturan yang terkait tidak bisa diberlakukan lagi.

Masalah sengketa tanah yang terkait dengan sertifikat dan girik dialami Yayasan Pendidikan Kristen Ketapang tepatnya di Sekolah Kristen Ketapang (SKK) II di Green Garden, Kedoya, Jakarta Barat.

Pengacara SKK II, Sheila Salomo mengatakan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) YPKK bernomor HGB 205/Kedoya Utara berasal dari/pecahan dari HGB 4067/Kedoya milik PT Taman Kedoya Barat Indah selaku pengembang Green Garden.

Menurutnya, gambar dari situasi No.72-B-/1998 pada sertifikat HGB No.4067/Kedoya, tidak terdapat tanah berdasarkan Girik C 530 Persil 58 S.I dan No. Persil S II.

"Tidak jelas bagian mana dari sertifikat 205/Kedoya Utara atas nama YPPK yang luasnya 8.195 meter persegi yang menjadi bagian Girik C530," kata Sheila.

Pihak SKK II merasa bahwa mereka adalah pemilik sah lahan tempat gedung SKK II berdiri. Namun, sertifikat hak guna bangunan sekolah itu dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum oleh pengadilan sampai ke tingkat Mahkamah Agung.

Ahli waris H Musa bin Djiung memenangkan kasus tersebut. Sehingga ratusan siswa SKK II saat ini terancam kehilangan tempat belajar mereka.
Red: Endro Yuwanto
Rep: Maryana
Advokat Harus Paham Kode Etik Hakim


Ditulis oleh Administrator   
Jumat, 22 Oktober 2010 02:10
Hukum Online - Di Amerika Serikat, problem advokat tak memahami kode etik hakim dapat diminimalisir dengan memasukan pertanyaan-pertanyaan kode etik hakim ke dalam ujian advokat.
Secara teoritis, negara memiliki tiga cabang kekuasaan yakni legislatif (parlemen), eksekutif (pemerintah), dan yudikatif (peradilan). Untuk menunjang demokrasi, tiga cabang kekuasaan ini harus setara dan seimbang sehingga dapat mewujudkan checks and balances satu sama lain. Pada awal sejarah pemisahan kekuasaan ini, yudikatif disebut-sebut sebagai lembaga yang paling lemah di antara tiga cabang kekuasaan itu.Karakteristik ketiga cabang kekuasaan ini memang berbeda. Eksekutif mempunyai kekuatan karena memiliki tentara, dan legislatif memiliki ‘uang’ dengan memainkan peran mengatur anggaran negara. Sedangkan, yudikatif dianggap kekuasaan terlemah karena hanya bertugas memutus perkara yang diajukan oleh masyarakat.
Hakim Banding di Pengadilan Federal di Amerika Serikat (AS) John Clifford Wallace menjelaskan hal ini dalam sebuah diskusi yang digagas oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Wallace memandang perlunya penguatan lembaga peradilan di setiap negara.
“Saya memandang penting reformasi peradilan agar kekuasaan yudikatif benar-benar setara dan seimbang dengan dua cabang kekuasaan yang lain. Peran yudikatif sebagai pengawal rule of law sangat penting. Peran ini tak akan berjalan bila peradilan dapat diintervensi dan tidak independen,” jelasnya di Jakarta, Rabu (20/10).
Wallace mengingatkan bahwa kekuatan lembaga peradilan sebenarnya ada pada masyarakat. Lembaga peradilan, lanjutnya, harus bisa menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. “Peradilan harus direformasi sehingga bisa dekat dengan masyarakat,” ujar pria yang berprofesi sebagai hakim sejak 40 tahun yang lalu ini.
Wallace mencatat beberapa poin penting dalam reformasi peradilan ini. Pertama, ia memandang perlu adanya penyesuaian gaji hakim yang bisa menunjang dirinya dan keluarganya. Hal ini bertujuan agar peradilan tetap independen dan terhindar dari suap. Ia pernah mengutarakan hal ini ketika ‘terlibat’ dalam proses reformasi peradilan di Nigeria.
“Saya bilang ke mereka. Hal pertama yang dilakukan adalah menaikkan gaji hakim sehingga dapat mencukupi kehidupannya beserta keluarga. Ini sangat penting,” tegasnya. Di Nigeria, lanjutnya, dibentuk sebuah komisi yudisial yang bertugas mengkaji gaji hakim dan membandingkannya dengan gaji advokat dan dekan fakultas hukum di universitas negara itu.
Kedua, soal penanganan perkara. Wallace menambahkan perlu ada manajemen perkara agar hakim bisa memutus perkara yang dapat diterima oleh masyarakat. Ia mencontohkan ada pembagian perkara, mana perkara yang bisa diselesaikan di pengadilan dan mana perkara yang bisa diselesaikan di luar pengadilan lewat proses mediasi. Semakin sedikit perkara yang ditangani tentu membuat hakim semakin fokus dalam membuat putusan.
Sedangkan, poin ketiga adalah kode etik hakim. Wallace menilai kode etik hakim harus bisa diakses oleh masyarakat seluas-luasnya. “Apakah advokat-advokat di Indonesia telah membaca dan memahami kode etik hakim?” tanyanya.
Di Amerika Serikat, ungkap Wallace, problem advokat tak memahami kode etik hakim sempat terjadi. Fenomena ini dapat diminimalisir dengan memasukan pertanyaan-pertanyaan kode etik hakim ke dalam ujian advokat.
“Setiap advokat harus paham dengan kode etik hakim dan masyarakat juga harus tahu. Sehingga dia paham setiap tindak-tanduk hakim itu bertentangan dengan kode etik atau tidak,” Wallace menegaskan.
Langkah-langkah ini, lanjut Wallace, bertujuan agar masyarakat semakin dekat dengan lembaga peradilan. “Kekuasaan yudikatif harus bisa menjawab persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat,” tuturnya.
Citra Buruk
Lalu bagaimana dengan lembaga peradilan di Indonesia? Alih-alih memperoleh simpati masyarakat, citra lembaga peradilan justru semakin terpuruk. Dalam Rapat Kerja Nasional MA (Rakernas MA) 2010 di Balikpapan minggu lalu, Ketua MA Harifin A Tumpa mengakui kondisi ini.
Harifin mengatakan lembaga peradilan harus bisa keluar dari stigma buruk tersebut. “MA harus keluar dari citra buruk, lambat, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,-red) dan ujung-ujungnya duit,” ujarnya saat membuka acara Rakernas MA, pekan lalu.
Lebih lanjut, Harifin mengatakan untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibutuhkan agen-agen perubahan lembaga peradilan di daerah-daerah. Menurutnya, seluruh ketua pengadilan tinggi dan panitera di Indonesia yang akan memainkan peran sebagai agen perubahan tersebut. “Para ketua pengadilan tinggi diharapkan menjadi ujung tombak perubahan ini,” tuturnya.
 

Kamis, 21 Oktober 2010

Tutup Peluang Korupsi Lewat Layanan Publik Berkualitas
Dikirim oleh humas pada 2010/10/21
Makassar, 21 Oktober 2010 –  Kualitas pelayanan publik yang prima akan menutup peluang terjadinya tindak pidana korupsi dalam bentuk suap maupun imbalan yang diberikan kepada petugas pelayanan publik kepada masyarakat untuk mempercepat pelayanan yang diberikan.

”Persoalan mendasar pelayanan publik adalah terletak pada pola pikir oknum aparatur pemerintah, yakni paradigma yang berorientasi kekuasaan,” kata Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan KPK, Eko Soesamto Tjiptadi saat menjadi pembicara kunci Seminar “Pemberantasan Korupsi Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik” yang diadakan di Hotel Kenari, Makassar, Kamis (21/10).

Menurut Eko, salah satu persoalan yang sering ditemui dalam pelayanan publik lainnya adalah belum transparan dan akuntabelnya pelayanan, serta prosedur yang panjang.”Hal-hal seperti itu,  selain “mendidik” masyarakat untuk melakukan jalan pintas dalam memperoleh pelayanan, juga menyuburkan praktik-praktik korupsi.”

Dalam seminar ini, KPK memaparkan temuan yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung beberapa instansi layanan publik di Makassar, antara lain di Kantor Pertanahan Kota Makassar, Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, Kantor Samsat Kota Makassar dan yang lainnya.

Eko menambahkan, KPK terus berupaya mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Melalui pemaparan ini, tambahnya, KPK akan melanjutkan evaluasi dengan instansi pelayanan publik termasuk melakukan pengamatan dan peninjauan di unit pelayanan publik Sulawesi Selatan dan Makassar khususnya. “Kami berharap kegiatan ini bisa memberi kontribusi besar dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi,” tandasnya.

Seminar yang dibuka oleh Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo ini juga dihadiri oleh Kepala Samsat Bandung Timur untuk memberikan contoh yang bisa menginspirasi layanan publik di Makassar untuk melakukan hal serupa.
Samsat Bandung Timur   sudah menerapkan drive thru, CCTV, access control, antrian micromatic, serta tiga tombol layanan publik yang mengharuskan masyarakat penerima layanan untuk menekan satu dari tiga tombol tersebut sebagai ungkapan atau feedback tingkat kepuasan.

Melalui kegiatan supervisi peningkatan layanan publik yang dilakukan secara berkesinambungan ini, diharapkan akan menumbuhkan keseriusan dan tekad kuat dari instansi-instansi pelayanan publik untuk terus meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat. *****

Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Johan Budi SP
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. HR. Rasuna Said Kav C-1
Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
www.kpk.go.id | twitter : @KPK_RI

Selasa, 05 Oktober 2010

Kurikulum Antikorupsi Diterapkan di Kampus
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memberikan pelajaran antikorupsi ke perguruan tinggi.

Wakil Ketua KPK Haryono Umar mengatakan, KPK sedang menjalin kerja sama dengan Kemendiknas untuk menerapkan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) diseluruh jenjang pendidikan, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Kerja sama ini diharapkan dapat dijadikan contoh bagi kementerian lainnya.


"Kerja sama ini sekaligus untuk membangun Kemendiknas sebagai percontohan kementerian yang antikorupsi karena tidak hanya dunia pendidikan, tapi juga birokrasi di kementerian nya," tegas Haryono seusai bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh di Gedung Kemendiknas, Jakarta, kemarin.

Sebelumnya program serupa telah diterapkan menteri pertanian dengan "Zona Bebas Korupsi"nya. "Sekarang di Kemendiknas, semoga percontohan ini dapat ditiru oleh kementerian lain," tandasnya. Menurut Haryono, Pendidikan Anti Korupsi ini sebenarnya telah dibangun cukup lama, bahkan sudah diuji cobakan pada 50 sekolah di 10 provinsi di Indonesia.

Mendiknas Mohammad Nuh menjamin pendidikan antikorupsi ini tidak akan menambah beban bagi anak didik. Program ini tidak akan menjadi mata pelajaran baru. "Nilai-nilainya saja yang ditanamkan ke dalam semua mata pelajaran, dan nilai itu juga yang dipraktikkan dalam kegiatan sehari-hari disekolah," katanya.

Sumber : Seputar Indonesia

Jumat, 01 Oktober 2010

Korupsi Bisa Membuat Negara Gagal
Dikirim oleh humas pada 2010/10/1
Berita
Korupsi merupakan masalah yang mengerikan dan meresahkan karena dapat membuat negara gagal. Karena itu, pemberantasan korupsi membutuhkan usaha ekstra dari aspek pencegahan hingga penindakan.
"Studi World Economic Forum dan Universitas Harvard pada tahun 2002 tentang negara gagal, dari 59 negara, Indonesia masuk karakteristik negara gagal karena tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi merajalela, serta suasana ketidakpastian yang tinggi," kata Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, Kamis (30/9) di Palembang, Sumatera Selatan.

Irman menyampaikan hal itu dalam seminar Pemberantasan Korupsi Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Pembicara lain dalam seminar itu adalah Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi M Jasin, dan Wakil Ketua Komisi Ombudsman Masdar F Mas'udi.

Irman menuturkan, ilmuwan Noam Chomsky pernah menjelaskan beberapa karakter negara gagal, yakni tidak mampu melindungi warganya dari tindak kekerasan, tidak terjaminnya hak warga negara, lemahnya institusi demokrasi dan lembaga penegak hukum, serta maraknya penyalahgunaan kekuasaan.

Saat ditanya apakah ancaman negara gagal akibat korupsi masih terjadi di Indonesia, Irman menjawab, "Indeks persepsi korupsi tahun 2009 menurut Transparency International, Indonesia di peringkat ke-111 dari 180 negara. Posisi itu sama dengan negara-negara seperti Aljazair, Togo, Solomon, dan Mali." Pencegahan dan penindakan, kata M Jasin, harus dilakukan bersama-sama dalam pemberantasan korupsi. Tingkat korupsi menurun tajam di negara-negara yang memperbaiki sistem dengan reformasi birokrasi.

Sumber : Kompas

Kamis, 23 September 2010

Hakim dan Panitera Dilaporkan ke KY, MA, dan KPK PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Administrator   
Rabu, 22 September 2010 01:58
JAKARTA (Suara Karya): Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara pimpinan Purwanto, seorang panitera, dan panitera kepala pengadilan setempat akan diadukan ke Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemberantasan Korupsi serta Mabes Polri oleh Kustiadi Wirawardhana dengan penasihat hukumnya Petrus Selestinus dan C Suhadi terkait hilangnya alat bukti kasus penggunaan akta nikah palsu.
Petrus Selestinus mengutarakan hal itu kepada wartawan di PN Jakarta Utara, Selasa, seusai menemui Ketua Majelis Hakim Purwanto, Selasa. "Pak Purwanto tidak bisa menjelaskan keberadaan alat bukti itu kepada kami. Padahal, jaksa menyusun surat dakwaan maupun tuntutannya berdasarkan alat bukti yang sangat menentukan pembuktian itu," kata Petrus yang didampingi C Suhadi.
    Akibat raibnya alat bukti itu, kata Petrus, terdakwa pengguna akta palsu Maria Magdalena Andrianti Hartono yang sebelumnya dinyatakan terbukti bersalah oleh majelis hakim PN Jakarta Utara menjadi dibebaskan dari segala dakwaan maupun tuntutan hukum oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
    "Hakim PT DKI Jakarta menjadi tidak punya dasar untuk menghukum terdakwa karena alat bukti "kunci" akan adanya kejahatan yang melanggar Pasal 266 KUHP tak ada lagi dalam berkas perkara," papar Petrus.
    Purwanto membantah kalau pihaknya dituding telah menghilangkan alat bukti perkara yang ditanganinya beberapa bulan silam. "Alat bukti yang disebutkan hilang itu ada kok, tetapi bukan pada kami atau di pengadilan, melainkan ada pada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Endang Rahmawati. Mungkin saat ini disimpan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara," jelas Purwanto.
    Mengenai akan dilaporkan pihaknya ke KY, MA, KPK dan Mabes Polri, Purwanto mempersilakannya. "Itu hak mereka," tutur Purwanto.
    Lebih lanjut Petrus dan C Suhadi menjelaskan bahwa alat bukti yang diduga raib tersebut menguatkan kepalsuan akta nikah yang dibuat Kantor Catatan Sipil Duisburg, Jerman. Dalam akta palsu itu dikesankan Denianto Wirawardhana menikah dengan Maria Magdalena Andrianti Hartono.
    Padahal, berdasarkan keterangan Mittmann (petugas Catatan Sipil Duisburg) kepada petugas Kepolisian RI, AKBP Hilman, Denianto Wirawardhana dengan Maria Magdalena Andrianti Hartono tidak pernah dinikahkan di Jerman.
    Disebutkan dalam akta nikah dengan Nomor 32 Tahun 1987 tersebut pasangan yang menikah adalah Dieter Becker dan Gisella Zagar.
    "Yang sangat kami sayangkan, dalam putusan PN Jakarta Utara tidak dijadikan pula bahwan pertimbangan atau disebutkan alat bukti yang hilang tersebut. Hakim menghukum terdakwa hanya berdasarkan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan," kata Petrus.
    Oleh sebab itu, Petrus dan C Suhadi berkeinginan keras menyertakan alat bukti penting tersebut dalam kasasinya guna menggugurkan vonis bebas PT DKI Jakarta. (Wilmar P)

Sabtu, 18 September 2010

Dari Sinode Godang Amandemen AP HKBP di Sipoholon Pembangunan 19 Gereja HKBP Mengalami Hambatan Sinodestan Usulkan Pimpinan dan Pendeta HKBP Demo ke Istana Negara

Posted in Berita Utama by Redaksi on September 17th, 2010
lilin
JAKARTA,16/9 – LILIN KEBEBASAN BERAGAMA. Warga yang tergabung dalam Forum Solidaritas Kebebasan Beragama menggelar aksi seribu lilin keprihatinan di Bundaran HI, Jakarta, Kamis (16/9). Aksi itu mengecam tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama dan menuntut Presiden mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang dinilai belum menjamin kebebasan beragama. FOTO ANTARA/Fanny Octavianus/ama/10.
* Jika Presiden SBY Tak Selesaikan Masalah HKBP Dalam Satu Bulan
* Satgas HKBP Diusulkan Dibentuk Tangani Persoalan dan Gangguan
Sipoholon (SIB)
Sejumlah sinodestan pada Sinode Godang Amandemen AP HKBP 2002 pada sidang ke-6, Kamis (16/9) di Auditorium HKBP Seminarium Sipoholon mengusulkan dilakukan gerakan untuk mendesak pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi HKBP terutama penghambatan pembangunan Gereja HKBP dI sejumlah tempat yang dilakukan pemerintah sendiri dan kelompok masyarakat.
Pdt Adian Pasaribu menegaskan, apabila Presiden SBY tidak berhasil menyelesaikan masalah pelarangan pembangunan Gereja HKBP Pondok Timur Indah (PTI) Bekasi dan penusukan serta pemukulan yang dilakukan segerombolan orang kepada pengurus Gereja HKBP PTI Bekasi Asian Sihombing dan Pdt Luspida Simanjuntak, maka pimpinan dan seluruh pendeta serta bila perlu warga jemaat berdemontrasi ke Istana Negara.
Usulan yang sama disampaikan Pdt Juaris Pardede STh, St P Lumbantobing, St B Lumban Gaol, Pdt David Simatupang STh, Pdt Pantun Silitonga STh dalam sidang sinode tersebut.
Pendapat yang mengemuka dari para sinodestan tersebut menyatakan masalah yang menimpa HKBP sungguh di luar kepatutan. Untuk itu dihimbau kepada seluruh jemaat HKBP terutama para pendeta untuk memiliki rasa satu penderitaan dan punya komitmen yang sama memperjuangkan hak-hak HKBP di Indonesia.
Pimpinan HKBP terutama Ephorus didesak untuk segera melakukan audensi dengan Presiden SBY untuk menunjukkan bahwa HKBP ada dengan jumlah warganya cukup banyak dan punya pimpinan.
Pdt Pantun Silitonga mengusulkan HKBP perlu membentuk tim yang langsung dipimpin Ephorus HKBP dalam penyelesaian pemasalahan yang dihadapi HKBP saat ini dengan menjumpai langsung Presiden SBY.
Menurutnya, melalui upaya bertemu Presiden SBY nantinya akan diketahui bagaimana sikap Presiden SBY yang sebenarnya terhadap HKBP. “Pimpinan HKBP untuk bertemu Presiden mungkin sulit, tapi harus diusahakan,” sebutnya.
Sinodestan juga mengusulkan agar dalam gerakannya berupa demonstrasi yang akan dilakukan, HKBP tidak boleh melakukan kekerasan dan menjauhkan hal yang berhubungan dengan emosi.
Dalam gerakannya tersebut, HKBP juga dipandang perlu mengajak gereja-geraja lain memperjuangkan kebebasan beribadah dan kemerdekaan mendirikan rumah ibadah di seluruh bumi Indonesia.
Dengan suara keras, Pdt Pantun Silitonga STh dan Pdt David Simatupang STh mengatakan, supaya HKBP berdiri teguh dengan jemaatnya yang berjumlah jutaan orang tersebar di seluruh Nusantara. “Hendaknya pimpinan HKBP secepatnya melakukan pertemuan dengan Presiden SBY,” sebut Pdt David Simatupang.
Dia juga mengusulkan, agar salah satu pimpinan HKBP (Ephorus, Sekjen, Kadep Diakonia, Kadep Marturia dan Kadep Koinonia) berkantor di Jakarta agar pemerintah RI lebih mengenal dan semakin memperhitungkan HKBP.
Dengan salah satu pimpinannya berkantor di Jakarta katanya, maka HKBP mendapat undangan menghadiri acara nasional. Termasuk lebih mudah melakukan hubungan kerjasama dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), PBNU, Muhammadiyah dan organisasi keagamaan lainnya.
Sementara itu, Pdt Rustam Marbun mengusulkan HKBP membentuk suatu satuan tugas (Satgas) atau badan atau berupa forum seperti yang dimiliki sejumlah organisasi keagamaan lainnya.
Organisasi ini nantinya berfungsi sebagai lembaga yang akan menangani persoalan dan gangguan yang dihadapi HKBP.
Selain itu, juga diusulkan dibentuk semacam Krisis Center untuk membantu mengatasi masalah-masalah yang muncul pada HKBP bahkan gereja-gereja lain yang tergabung dalam PGI.
Hingga berita ini dikirimkan ke redaksi, sinode HKBP masih berlangsung dan para sinodestan masih menyampaikan berbagai permasalahan yang dialami HKBP di berbagai distrik dan resort.
Alihkan Materi Rapat ke Penghempangan Pembangunan Gereja
Hari ketiga Sinode Godang Amandemen Aturan Peraturan (AP) HKBP, Kamis (16/9) sekira pukul 15.00 WIB yang memasuki sidang ke-6 dengan agenda pembahasan amandemen Pasal 11 AP 2002 tentang tugas Ephorus dan syarat menjadi Ephorus dihentikan pembahasannya.
Peserta sinode menyepakati menunda pembahasan pasal tersebut dan sejumlah pasal lainnya meliputi lima (5) poin yang telah masuk dalam konsep amandemen untuk dilanjutkan pada Sinode Godang HKBP yang akan dilakukan tahun 2012 mendatang.
Sinode HKBP memandang lebih penting membicarakan persoalan yang dihadapi HKBP akhir-akhir ini menyangkut pelarangan dan penghempangan pembangunan Gereja HKBP di sejumlah daerah dan kota di Indonesia baik oleh pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu.
Salah satu yang paling mengemuka saat ini yaitu pelarangan dan penyerangan terhadap jemaat HKBP Pondok Timur Indah (PTI) Bekasi dalam beribadah dan mendirikan gereja. Disusul penusukan dan pemukulan yang dilakukan segerombolan orang terhadap pengurus Gereja HKBP PTI Bekasi Asia Sihombing dan Pdt Luspida Simanjuntak, Minggu (12/9) lalu.
Ephorus HKBP Pdt DR Bonar Napitupulu dalam paparannya menyampaikan ada sebanyak 19 Gereja HKBP yang mengalami penghalangan membangun Gereja antara lain HKBP Pondok Timur Indah (PTI) Bekasi, HKBP Filadelfia, HKBP Getsemane, HKBP Gunung Putri, HKBP Parung Panjang, HKBP Simpang Muriani, HKBP Karawang, HKBP Sibuhuan, HKBP Lau Dendang, HKBP Pangkalan Jati Gandul, HKBP Gunung Putri, HKBP Pondok Gede, HKBP Binjai Baru, HKBP Padang Lawas, HKBP Tembilahan dan HKBP Binanga.
Dengan kesepakatan pengalihan materi pembahasan Sinode Godang Amandemen AP HKBP 2002 kepada hal-hal yang dialami HKBP, maka hingga sidang ke-5 yang dipimpin Pdt Marudur Tampubolon (Praeses Kepulauan Riau), Pdt Hotman Panjaitan (Pendeta Resort Medan Sunggal) dan St Drs AG Sinambela (utusan MPS) baru menghasilkan keputusan menyangkut 4 poin dari 9 poin yang diajukan dalam konsep amandemen.
Sekjen HKBP Pdt Ramlan Hutahaen MTh selaku Ketua Tim Amandemen yang diwawancarai SIB di Auditorium HKBP Komplek Seminarium Sipoholon di sela-sela berlangsungnya sidang menyebutkan empat (4) poin dalam AP yang telah berhasil diamandemen adalah pertama: tentang seksi sekolah minggu, kedua: pembentukan seksi Lansia, ketiga: amandemen tentang pembentukan Resort Khusus dan keempat: syarat pembentukan distrik ditinjau dari jumlah resort.
Sementara lima poin lainnya yang belum sempat dibahas dalam Sinode Godang Amandemen tersebut, menurut Ketua Tim Amandemen Pdt Ramlan Hutahaean MTh akan dibahas dalam Sinode Godang HKBP tahun 2012 yang juga merupakan Sinode pemilihan pimpinan HKBP terdiri dari Ephorus, Sekjen, Kadep Diakonia, Kadep Marturia, Kadep Koinonia dan 26 Praeses HKBP.
Adapun sejumlah poin yang belum sempat dibahas dalam sidang Sinode yang dilangsungkan kemarin antara lain Pasal 11 AP HKBP 2002 menyangkut tugas dan persyaratan menjadi Ephorus.
Pasal 12 tentang persyaratan menjadi Sekjen, Pasal 13, 14 dan 15 tentang syarat dan pemilihan Kepala Departemen Koinonia, Marturia dan Diakonia yang didalamnya juga menyangkut masa kerja para pimpinan HKBP tersebut.
Perlu ditambahkan, bahwa pada sidang sebelumnya menyangkut pembahasan poin syarat menjadi Praeses HKBP belum mendapat keputusan yang pasti, sebab peserta sinode tidak menyetujui konsep amandemen yang diajukan Tim Amandemen. Namun pimpinan sidang juga tidak mengakomodir usulan peserta sidang dan sama sekali juga tidak menetapkan keputusan apakah tetap memberlakukan AP 2002. (PR3/x)

Minggu, 12 September 2010

Penusukan Pemuka Gereja HKBP Masuk New York Times

Tribunnews.com - Senin, 13 September 2010 07:47 WIB
Penusukan Pemuka Gereja HKBP Masuk New York Times
Dokumen Pribadi/Tribunnews.com
Pendeta Asian Lumbantoruan Sihombing dalam perawatan dokter.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus penusukan terhadap Asian Lumbantoruan Sihombing, pemuka agama di Gereja HKBP Pondok Timur Indah, Bekasi, Jawa Barat, menjadi laporan di New York Times, Senin (12/9/2010).

New York Times menyebutkan, penyerang tak dikenal melakukan penusukan terhadap seorang pemuka agama dan memukul seorang Pendeta di bagian kepala saat keduanya berangkat ke gereja untuk menunaikan ibadah. Serangan itu mengancam nyawa pemuka agama tersebut.

Tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Tapi dicurigai penyerangan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang telah berulang kali memperingatkan anggota Gereja HKBP Pondok Timur Indah untuk menutup tempat ibadah di lokasi tersebut.

Dalam beberapa bulan terakhir, anggota jemaat gereja itu telah mendapat beberapa kali gangguan dari pihak yang menginginkan jemaat gereja tidak melakukan ibadah di tempat tersebut.

"Gangguan terhadap jemaat gereja itu juga dilakukan dengan meletakkan sejumlah kotoran hewan di sekitar lokasi pelaksanaan ibadah," lapor New York Times.

Disebutkan, Penatua Sihombing sedang dalam perjalanan ke lapangan ketika penyerang melompat dari sepeda motor dan menusuknya di perut. Sementara, Pendeta Wahyu Lusfida Simanjuntak dipukul di bagian kepala saat mencoba datang membantunya.

New York Times juga melaporkan, Indonesia adalah sebuah negara sekuler yang memiliki umat muslim terbanyak di dunia. Walaupun memiliki sejarah panjang toleransi beragama, sebuah kelompok ekstremis kecil menjadi lebih vokal dalam beberapa tahun terakhir.(nytimes.com)

Editor : Juang_Naibaho

Selasa, 07 September 2010

Opini
Inilah Kritik kepada Presiden Itu...
Senin, 6 September 2010 | 18:38 WIB
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato mengenai hubungan RI-Malaysia usai berbuka puasa bersama prajurit dan perwira TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (1/9/2010) petang.
Catatan Redaksi:
Tulisan yang dimuat di halaman Opini Harian Kompas ini menjadi perbincangan ramai di Twitter dan media lain. Karena itu, Redaksi Kompas.com mengangkat kembali tulisan ini.

Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan
Oleh: Adjie Suradji
Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.
Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.
Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.
Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.
Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503-1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.
Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?
Keberanian
Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.
Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.
Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.
Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?
Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?
Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).
Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.
Adjie Suradji, Anggota TNI AU

Sabtu, 04 September 2010

Penegakan Hukum tidak Boleh Pilih Kasih

Sabtu, 4 September 2010 19:19 WIB
KITA hargai langkah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mendukung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melanjutkan pengungkapan kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia. Meski setengah dari 26 anggota DPR periode 1999-2004 yang terlibat kasus suap adalah anggota PDIP, namun mereka datang menemui pimpinan KPK bukan untuk meminta agar rekan-rekannya dibebaskan dari proses hukum.

Kita tidak boleh sedikit pun surut dalam upaya pemberantasan korupsi. Semua pihak tanpa kecuali harus mendukung agar KPK menjadi institusi yang lepas dari intervensi politik mana pun, agar mereka bisa menjadi lembaga yang benar-benar bisa kita andalkan untuk membersihkan praktik korupsi.

Penegakan hukum tidak boleh pilih kasih. Apabila kita ingin menjadikan hukum sebagai pilar utama demokrasi, maka ia harus berjalan lurus dan tidak boleh goyah oleh kepentingan.

 Memang pahit rasanya ketika hukum mengena pada orang yang kita kenal. Namun seperti halnya simbol hukum, dewi keadilan matanya haruslah tertutup. Ia tidak boleh bias hanya karena hubungan pribadi. Meski ia adalah orang terdekat kita sekali pun, ketika orang itu melakukan pelanggaran hukum, maka ia harus memertanggungjawabkan perbuatannya.

Hanya saja proses pembuktian hukum haruslah  berjalan adil. Mereka yang dipersangkakan melakukan korupsi harus juga kita berikan kesempatan untuk membela diri. Kita tidak boleh sampai menghukum orang yang tidak bersalah.

Seperti harapan Fraksi PDIP, pengungkapan kasus suap jangan hanya mengena kepada yang mereka yang menerima suap. Mereka yang memberikan suap harus dimintai pertanggungjawaban. Sebab, suap tidak mungkin dilakukan sendiri. It's take two to tango, harus ada dua pihak dalam proses suap menyuap.

Sejauh ini KPK belum bertindak tegas kepada para penyuap. Meski dalam persidangan sebelumnya yang menjadikan  empat anggota DPR sebagai tersangka, terungkap nama-nama penyuap seperti Nunun Nurbaeti, namun KPK belum menindaklanjuti. Dengan alasan mengalami sakit ingatan, KPK menerima saja pengakuan itu dan tidak mencoba mencari opini kedua dari dokter lain.

Inilah yang selama ini dianggap sebagai tebang pilih. Pemberantasan korupsi seringkali tidak berlaku sama kepada setiap orang. Hanya karena memunyai akses terhadap kekuasaan, seringkali ada orang yang mendapat keistimewaan.

Keistimewaan bisa dalam bentuk terlepas dari proses hukum, tetapi bisa juga bebas dalam menjalani hukuman. Banyak orang yang sudah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung, namun tidak pernah menjalaninya karena terlebih dulu bisa kabur ke luar negeri.

Begitu banyak kasus yang seperti itu. Mulai dari Edy Tansil hingga yang terakhir Joko Tjandra. Ironisnya, mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin yang divonis dalam kasus yang sama, harus mendekam tiga tahun di dalam penjara, sementara Joko Tjandra bisa hidup bebas di Singapura.

Para penegak hukum pun tidak berupaya untuk mencari tahu di mana keberadaan sang terpidana. Sepanjang media massa tidak pernah mengangkatnya sebagai berita, seakan sah saja aparat hukum untuk tidak mengejar buronan itu.

Bahkan kuat dugaan, buronan kakap seperti itu dibiarkan bebas berkeliaran, karena bisa dijadikan kesempatan untuk memeras. Para penegak hukum bisa datang setiap saat ke tempat sang buronan, namun bukan untuk menangkap tetapi meminta sangu.

Kehadiran anggota fraksi PDIP sepantasnya membuat KPK untuk bersikap adil dan tidak tebang pilih. Kalau bukti hukum kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI memang sangat kuat, maka semua pihak yang terlibat dalam kasus suap harus diperlakukan sama, tidak boleh pilih kasih.

Melihat nama-nama orang yang terlibat dalam kasus suap, pengungkapan kasus terakhir ini bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada KPK. Namun kuncinya, KPK bukan hanya harus tegas, tetapi juga harus bersikap adil.

Sejauh ini KPK memang sudah berhasil membawa empat anggota DPR mendekam dalam penjara dalam kasus yang sama. Meski diyakini bahwa ada korupsi yang dilakukan beramai-ramai, baru kali ini 26 anggota DPR lainnya dijadikan tersangka. Tetapi masih ada penyuapnya yang belum juga tersentuh oleh KPK.

 Kita tidak boleh membiarkan kasus ini menguap begitu saja. Kita harus terus mengingatkan dan mendesak KPK untuk memproses kasus itu hingga tuntas. Kita tidak boleh bosan mengingatkan karena tanpa ada tekanan dari masyarakat, aparat kita cenderung cepat berpuas diri dan melupakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Sabtu, 28 Agustus 2010

Hakim Mahkamah Konstitusi Harus Diawasi PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Administrator   
Jumat, 27 Agustus 2010 03:20
JAKARTA (SINDO) – Pakar hukum tata negara Universitas Khairun Ternate,Margarito Kamis, sepakat jika ada pengawasan terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini karena putusan-putusan MK,menurut Margarito, tidak konsisten. ”Untuk kasus Pilkada Kotawaringin Barat,MK dapat mendiskualifikasi calon, Surabaya diputuskan penghitungan ulang dan pemungutan ulang. Sementara daerah lain yang sama kasusnya tidak diputus serupa,” kata Margarito saat dihubungi kemarin. Menurut dia, ketidakkonsistenan hakim MK akan memunculkan pandangan miring masyarakat. Salah satu kekecewaan terkait putusan MK,massa dan lembaga swadaya masyarakat dari Seram Bagian Timur melaporkan semua hakim MK ke Mabes Polri. ”Hari ini (kemarin) rencananya semua hakim MK dan tiga panitera dilaporkan ke Mabes Polri oleh beberapa LSM dan masyarakat,” jelasnya.
Dengan kenyataan tersebut, lanjut Margarito, layak kiranya ada tim independen untuk mengawasi MK seperti usulan Ketua MK Mahfud MD. Pengawasan tersebut dinilai akan memaksimalkan MK dalam memutuskan perkara. Sebelumnya, Mahfud MD mengemukakan perlunya pengawasan atas hakim MK.Pernyataan tersebut diungkapkan Mahfud untuk kesekian kalinya. Terakhir, Mahfud mengatakannya saat silaturahmi Ramadan antara MK dengan media massa di Gedung MK (19/8). Menurut Mahfud,perihal perlunya pengawasan kepada hakim MK itu merupakan pendapat pribadi, sebab dia mengakui hakim MK sangat rawan terhadap penyimpangan. Khususnya jika idealisme hakim MK dipertanyakan.
”Saat ini tidak ada hakim yang terlibat penyuapan, tapi saya khawatir di masa yang akan datang (hal itu terjadi),” ujarnya. Dia mencontohkan, pernah tiba-tiba ada seorang wanita yang mengaku utusan Ibu Negara Ani Yudhoyono minta bertemu dengannya. Kemudian,ketika wanita tersebut bertemu Mahfud,yang dibicarakan justru masalah perkara. ”Ternyata tidak ada hubungannya dengan Bu Ani,maka langsung saya minta ibu itu keluar (keluar dari ruangannya),”katanya. Menteri Pertahanan di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid itu juga mengatakan,penyelesaian sengketa pilkada di MK juga memunculkan kerawanan.Sebab, seorang calon tidak akan segan-segan berusaha memberikan uang dalam jumlah besar kepada hakim MK.
”Betapa MK rentan soal penyuapan,maka pengawasan jadi hal penting. Itu pendapat pribadi Mahfud yang kebetulan Ketua MK,”jelasnya. Kepada media, Mahfud juga sempat mengungkapkan dirinya sepakat apabila hakim MK diawasi oleh lembaga eksternal. Hal itu diungkapkan Mahfud pada 11 Desember 2008. Guru besar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra mengaku sepakat jika hakim MK diawasi, sebab tidak mungkin kekuasaan tanpa pengawasan.Maka, ketika KY tidak mampu mengawasi MK,hal itu dapat disiasati melalui revisi UU KY.Dalam draf revisi UU KY, salah satu yang menjadi poin penting adalah adanya majelis kehormatan hakim untuk hakim MK.
”Komposisinya (majelis kehormatan) ada hakim konstitusi, kelompok masyarakat,dan kelompok lain.Saya termasuk salah satu yang mendorong itu,”jelasnya. Sementara itu,sembilan hakim MK dilaporkan ke Mabes Polri oleh pasangan calon Bupati Mukti Keliobas dan Wakil Bupati Yusuf Rumatoras dari daerah Seram Timur, Maluku,kemarin. Kedua pasangan tersebut melalui kuasa hukumnya Daniel Nirahua mengatakan, Mahfud MD dan yang lainnya dianggap telah menyalahgunakan jabatannya dalam menangani kasus pilkada di Seram Timur, Maluku.
”Mereka tidak memperhatikan fakta-fakta persidangan, padahal keterangan saksi dan bukti-bukti yang diajukan pemohon sangat jelas,” ujarnya di Mabes Polri kemarin. (kholil/sucipto)
PRAPERADILAN ELLY LASUT
Kejati Sulut Dituding
Lakukan Pembangkangan


Senin, 23 Agustus 2010

JAKARTA (Suara Karya): Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara (Sulut) dituding melakukan pembangkangan terhadap perintah pengadilan karena tidak melaksanakan putusan praperadilan atas nama Elly Lasut, Bupati Talaud nonaktif.
Kuasa hukum Elly Lasut, OC Kaligis di Jakarta, Sabtu, mengatakan, Pengadilan Negeri Manado pada 13 Agustus 2010 telah mengabulkan permohonan praperadilan Elly Lasut.
Dalam putusan praperadilan tersebut, hakim menyatakan bahwa penahanan Elly Lasut oleh penuntut umum pada Kejaksaan Tinggi Sulut tidak sah. Oleh karena itu hakim memerintahkan termohon praperadilan untuk segera membebaskan Elly Lasut dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Manado sesaat setelah putusan tersebut diucapkan.
"Faktanya Kejati Sulut tidak melaksanakan putusan praperadilan tersebut. Bahkan Kejati Sulut kembali melakukan upaya akal-akalan untuk menghindari pelaksanaan putusan praperadilan dengan cara mengajukan kasasi," kata Kaligis.
Kaligis mengatakan, sesuai ketentuan Undang-Undang No 5 tahun 2004 tentang Perubahan pertama Undang-Undang No 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung No 7 tahun 2005, kasasi atas putusan praperadilan tidak dapat diterima.
Dia juga mengatakan bahwa pada sidang praperadilan 9 Agustus 2010 pihak Kejati Sulut selaku termohon telah menghadiri persidangan.
Artinya, dengan demikian Kejati Sulut mengetahui mengenai permohonan praperadilan tersebut. Namun pada 10 Agustus, pada acara jawaban dari termohon, Kejati Sulut melimpahkan berkas perkara ke pengadilan pada pukul 13.00 Wita.
"Pelimpahan berkas perkara itu dilakukan Kejati Sulut untuk menghindari pelaksanaan putusan praperadilan dan melemparkan tanggung jawab ke PN Manado,"kata Kaligis.
Dia mengatakan, sebenarnya sejak 20 Juli 2010 Elly Lasut tidak boleh ditahan oleh kejaksaan. Hal ini sesuai dengan surat Jampidsus kepada seluruh kepala kejaksaan tinggi No.B-217/F/Fd.1/02/2009 tertanggal 2 Februari dan surat pada Mei 2010 yang intinya menyatakan penanganan perkara pidana korupsi saat pemilu ditengarai ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan isu tindak pidana korupsi untuk merusak pencitraan, bahkan menggagalkan pencalonan pihak tertentu.
Kaligis mengatakan, dengan putusan praperadilan tersebut PN Manado harus membuat penetapan untuk mengembalikan berkas perkara yang dikirim oleh jaksa penuntut umum yang tidak sah agar diselesaikan secara benar, dengan membuat surat perintah penunjukan penuntut umum (P-16 a) kemudian diproses secara benar untuk dilimpahkan ke PN Manado.
"Setelah itu perkara atas nama Elly Lasut dapat dilaksanakan.Kalau perkara dipaksakan untuk disidang, maka semua proses dalam persidangan tidak sah, termasuk hakim, jaksa dan semua acara persidangan,"kata Kaligis. (Lerman Sipayung)

Minggu, 22 Agustus 2010


  Transparansi dan Akuntabilitas, Persoalan Mendasar Pelayanan Publik
Dikirim oleh humas pada 2010/8/19 12:00:00

Jakarta, 19 Agustus 2010. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelenggarakan rapat evaluasi supervisi peningkatan pelayanan publik untuk mendorong agar secepatnya ada perbaikan signifikan di sektor layanan publik. KPK kerap menemukan persoalan mendasar dalam pelayanan publik, yaitu belum transparan dan akuntabelnya pelayanan serta prosedur yang panjang. Demikian disampaikan Wakil Ketua KPK, Mochammad Jasin dalam rapat evaluasi supervisi di Balai Agung, Kantor Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jl. Medan Merdeka Selatan No. 8 – 9 Jakarta Pusat, hari ini (19/8).
Berdasarkan pantauan KPK terhadap unit-unit pelayanan publik di lingkungan DKI Jakarta, baik instansi vertikal maupun horizontal, masih ditemukan sejumlah kekurangan yang harus diperbaiki. Misalnya, pengenaan biaya tambahan yang tidak jelas, petugas yang mempersulit penyelesaian dan  bahkan mengarahkan untuk menggunakan jasa calo, perlakuan diskriminatif terhadap pengguna layanan yang mengurus sendiri dibandingkan yang menggunakan calo, masih  ditemukan pembayaran tidak di kasir, bahkan secara sembunyi-sembunyi di tempat-tempat tertentu, dan masih ada pelayanan jalan pintas dengan biaya lebih yang diberikan kepada petugas. “Masyarakat juga perlu 'dididik' untuk tidak melakukan jalan pintas dalam memperoleh pelayanan, sebab dapat menyuburkan praktik-praktik korupsi”, tambah Jasin.
Di sisi lain, KPK juga memberikan apresiasi kepada 5 pemerintah kota di DKI Jakarta terhadap sejumlah perbaikan yang dilakukan. Beberapa unit layanan di 5 pemkot tersebut telah menerima sertifikasi ISO serta memperoleh penghargaan nasional dan internasional. Perbaikan lainnya, sebagai contoh,  di Jakarta Timur, dalam pengurusan KIR, Dinas Perhubungan Provinsi DKI mewajibkan setiap penguji KIR untuk langsung datang ke loket-loket dan tidak berhubungan dengan perantara. Informasi ini diumumkan setiap 10 menit melalui pengeras suara. Selain itu, juga dibuat papan informasi mengenai prosedur pengujian, biaya uji, hingga larangan berhubungan dengan perantara dalam mengurus perpanjangan uji KIR. Di BPN Jakarta Barat dipasang papan pengumuman yang berisi larangan memberi/menerima imbalan, dan penerapan sanksi yang tegas kepada petugas yang menerima imbalan. Di Jakarta Pusat, perbaikan layanan publik di antaranya dilakukan dengan penambahan unit pelayanan prima terpadu, pengembangan jaringan informasi dan komunikasi serta perubahan layanan manual ke elektronik. Di Jakarta Utara sendiri terdapat 6 unit layanan publik yang telah menerima sertifikasi ISO. Sedangkan di Jakarta Selatan, upaya pencegahan korupsi dilakukan dengan mencanangkan penandatanganan Kontrak Indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicator). 
Dalam rapat tersebut, KPK kembali mengharapkan komitmen tinggi instansi-instansi layanan publik untuk secara konsisten melaksanakan rencana tindak yang telah dibuat. Rapat evaluasi ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap layanan publik di DKI Jakarta, sebagai bagian program supervisi KPK di sektor pencegahan korupsi, yang didasarkan pada hasil survei integritas KPK 2008.
Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
Johan Budi SP

Selasa, 17 Agustus 2010

SKB Tiga Menteri Ancam Pluralisme Tanah Air
 
Minggu, 15 Agustus 2010 17:04 WIB       
Penulis : Amahl Sharif Azwar


SKB_Tiga_Menteri_Ancam_Pluralisme_Tanah_Air_ Siti Musdah Mulia---MI/Usman Iskandar/ip
JAKARTA--MI: Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia mengemukakan desain Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang pendirian rumah ibadah telah melanggar konstitusi negara.

Menurutnya, pendirian rumah ibadah dan pelaksanaan ibadah itu sendiri sudah berbeda. Misalnya, umat Islam dimana-mana saja bisa beribadah tanpa di rumah ibadah tertentu.
"Lantas kenapa umat lain ini tidak boleh? Jadi, prinsip saya dari awal adalah keberadaan SKB 3 Menteri itu sangat bermasalah dan menganggu teman-teman minoritas," ungkap Siti yang ketika dihubungi sedang berada di depan Monumen Nasional (Monas) acara ibadah bersama Forum Solidaritas Kebebasan Beragama, Minggu (15/8).

Siti menilai ada beberapa kritik yang dapat dilancarkan terhadap SKB Tiga Menteri. Pertama, SKB Tiga Menteri dinilai tidak masuk akal karena untuk mendirikan sebuah rumah ibadah perlu ada izin dari forum SKUB. "Siapa mereka?" ujar Siti kepada Media Indonesia.

Kedua, kelompok-kelompok perwakilan yang ada di forum itu hanya berasal dari enam agama resmi yang diakui pemerintah. Hal itu merugikan kelompok lain yang tidak punya perwakilan dan tidak dapat menyuarakan kepentingan mereka. Ketiga, persetujuan 90 Kepala Keluarga (KK) sebagai syarat pendirian rumah ibadah. Siti menganggap hal ini tidak dapat dilakukan untuk tempat-tempat terpencil dimana tidak ada populasi penduduk yang cukup memenuhi kuota.

Lebih lanjut, Siti mengasumsikan pendirian rumah ibadah kelompok minoritas, di bawah SKB Tiga Menteri, harus mendapatkan izin dari kelompok mayoritas.

"Kenapa sih mesti mengotak-kotakkan masyarakat ke mayoritas dan mayoritas? Ini kan menyangkut salah satu pemenuhan hak-hak sipil yang paling mendasar yaitu masalah keyakinan," tandas Siti.

Di sisi lain, cendekiawan KH Sholahuddin Wahid menyatakan bahwa keberadaan SKB 3 Menteri itu justru cukup baik. Namun, penerapan dari SKB 3 Menteri itu masih menemui masalah. Menurut pria yang akrab dipanggil Gus Sholah itu, pemerintah daerah perlu aktif untuk menentukan dimana kelompok Nasrani dapat mendirikan gereja.

"Supaya mereka bisa membebaslan tanah itu lalu membangun gereja di atasnya," papar pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, Jawa Timur itu.

Gus Sholah kemudian menambahkan jumlah gereja yang dibangun harus sesuai dengan kebutuhan dan populasi warga Nasrani.(*/X-11)

Sabtu, 14 Agustus 2010

Hakim Harus Dibiasakan Takut Jika Buat Putusan Salah
 Ditulis oleh Administrator Kamis, 05 Agustus 2010 02:20
Jakarta (Hukum Online) - Persoalan boleh atau tidaknya memeriksa hal-hal yang berbau teknis yudisial, termasuk putusan hakim, menjadi persoalan terbesar selama 5 tahun Komisi Yudisial berdiri. Lima tahun sudah Komisi Yudisial (KY) berdiri. Sejumlah pro-kontra mengawali perjalanan lembaga yang memiliki fungsi utama menyeleksi calon hakim agung dan mengawasi perilaku hakim itu. Kewenangan yang disebut terakhir, pengawasan, kerap menimbulkan hawa panas dengan lembaga yang diawasi, yakni pihak kehakiman. Mahkamah Agung (MA) beberapa kali menyampaikan penolakannya terkait tindakan KY yang memeriksa putusan hakim. Para petinggi MA meminta KY hanya memeriksa perilaku, bukan putusan. Pasalnya, menurut mereka, bila ada yang tak sependapat dengan putusan hakim, para pihak bisa menempuh upaya hukum yang tersedia mulai dari banding, kasasi atau peninjauan kembali (PK). Sedangkan, KY menilai memeriksa putusan hakim merupakan pintu masuk untuk memeriksa perilaku hakim. Ketua KY Busyro Muqoddas mengatakan sikap MA yang tak mau diawasi terkait hal-hal berbau teknis judisial (seperti putusan) menjadi problem terbesar dalam menjalankan kewenangan KY. “Pencari keadilan juga terhambat dengan sikap MA ini,” ujarnya dalam seminar refleksi dan proyeksi lima tahun KY, Senin (2/8). Advokat Senior Todung Mulya Lubis mengatakan perlunya kompromi antara pihak Mahkamah Agung (MA) dengan KY untuk menyelesaikan persoalan ini. Di satu sisi, lanjutnya, sikap MA yang menyatakan putusan adalah mahkota hakim yang tak bisa diutak-atik kecuali melalui upaya hukum dapat dibenarkan. Namun, di sisi lain, sikap KY yang ingin menggunakan putusan sebagai pintu masuk memeriksa perilaku hakim juga tak bisa disalahkan. Todung menyarankan di era transisi, dimana MA belum terlalu mapan, ini harus dikompromikan bahwa KY bisa masuk memeriksa putusan para hakim. Todung menyebut masa transisi ini selama 10 tahun. Artinya, KY seharusnya diperbolehkan memeriksa putusan hakim selama tenggat waktu itu. Menurutnya, jangka waktu satu dasawarsa itu sudah cukup untuk membuat para hakim terbiasa lebih hati-hati dalam membuat putusan. “Setelah 10 tahun, baru KY lepas tak bisa memeriksa putusan hakim. Para hakim harus dibiasakan takut membuat putusan yang salah,” ujarnya. Namun, usulan ini tampaknya belum diterima oleh kedua belah pihak. Hakim Agung Abdul Gani Abdullah, yang hadir mewakili MA, menilai proyeksi KY ke depan harus mengacu kepada pengalaman-pengalaman sebelumnya untuk menghindari benturan dengan MA. “Satu hal yang menurut MA yang perlu ditarik manfaat referensialitas-nya oleh KY agar tidak memasuki unsur-unsur wilayah teknis peradilan yang menjadi wilayah kewenangan MA,” ujar Abdul Gani. Ia mengatakan tindakan yang melampaui kewenangan dengan memeriksa putusan hakim dapat mengganggu kemerdekaan hakim dan kekuasaan kehakiman. Lebih lanjut, Abdul Gani mengatakan seharusnya KY tak selalu mencari-cari kesalahan para hakim, melainkan juga mencari penyebab-penyebab lain mengapa terjadi judicial corruption. Ia meminta agar KY meneliti apakah gaji atau take home pay para hakim dan pejabat pengadilan lainnya sudah layak. “Apakah unsur itu turut memberikan kontribusi bagi tumbuhnya virus judicial corruption atau karena sebab lain,” tuturnya. Sebagai catatan, tiga undang-undang bidang peradilan yang baru sebenarnya telah membuka pintu bagi KY untuk menilai putusan. Diatur dalam UU Peradilan Umum, UU PTUN, dan UU Peradilan Agama, KY diberi kewenangan menilai putusan. Hanya saja, kewenangan itu dalam rangka mutasi dan promosi hakim.

Sabtu, 24 Juli 2010

Merespon SEMA No.07 Tahun 2010: Institusionalisasi Hukum Tahapan Pemilukada
Oleh: Irvan Mawardi *)

[Senin, 31 May 2010]
Medio April 2010 lalu menjadi awal periode kedua pelaksanaan Pemilukada 2010. Mandat konstitusi sesungguhnya hanya menyiratkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis.

Lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan formulasi jelas tentang demokratisasi dalam pemilihan kepala daerah, yakni dilaksanakan secara langsung. Periode pertama pelaksanaan Pemilukada berlangsung sejak Desember 2004 sampai dengan September 2008 dengan total pelaksanaan kurang lebih 343 Pemilukada dengan rincian pada tahun 2005 telah berlangsung Pilkada di 207 Kab/Kota dan 7 provinsi, pada tahun 2006 terlaksana Pilkada di 70 kabupaten/kota dan 7 provinsi, pada tahun 2007 berlangsung Pilkada di 35 kabupaten/kota dan 6 provinsi, sedangkan untuk tahun 2008 telah berlangsung Pilkada di 11 kab/kota (Data Jaringan Pendidikan pemilih untuk rakyat-JPPR). Untuk Pemilukada pada 2010 ini, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, akan digelar sebanyak 244 pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) mulai dari pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota serta wakil walikota.

Menjelang pelaksanaan periode Pemilukada periode kedua, tahun 2010 ini, banyak pihak yang mendorong agar pelaksanaan Pemilukada ditunda sambil menunggu hasil evaluasi pelaksanaaan pilkada 2005 oleh Depdagri dan KPU. Evaluasi Pemilukada 2005-2008 sangat penting untuk mendapatkan rekomendasi serta refleksi atas kekurangan dan kelemahan yang berlangsung selama periode tersebut.

Ada beberapa cacatatan penting dan fundamental yang mengiringi pelaksanaan pilkada 2005-2008. Pertama, Pemilukada masih belum mampu menghadirkan ruang bagi rakyat untuk mandiri dan memiliki kapasitas yang rasional dalam menentukan pilihannya. Fenomena politik uang selama pilkada mempertegas catatan ini.  Kedua, proses  pelaksanaan pemilukada belum mampu dikelola secara  baik, lancar dan damai sesuai dengan prosedur yang demokratis. Kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul, kampanye yang penuh konflik dan protes atas hasil penghitungan suara menjadi contoh yang sangat jelas. Ketiga, pilkada belum mampu melahirkan pemimpin yang memiliki kapasitas dan akseptabilitas memadai. Pemilukada justru menjadi arena bagi orang-orang yang punya duit dan populer untuk menjadi elit baru. Keempat, kepemimpinan yang dilahirkan oleh proses pilkada harus mampu membentuk pemerintahan bersih dan kuat yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Selama ini sudah banyak keluhan dari masyarakat terkait pemilukada yang berlangsung tapi tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahtaraan rakyat.

Beberapa Persoalan
Tulisan ini tidak bermaksud membahas semua poin evaluasi pemilukada tersebut. Yang menarik dibahas adalah salah satu  faktor lemahnya pengelolaan pelaksanaan pemilukada selama ini adalah karena kegagalan institusionalisasi hukum dalam proses penyelenggaraan pilkada. Hukum tentang pemilukada belum terlembagakan secara baik, sehingga proses penyelesaian pelanggaran dan penyimpangan tidak dapat dikelola secara elegan tapi justru memicu konflik berkepanjangan.

Ada beberapa faktor fundamental yang menghambat proses pelembagaan hukum dalam penyelesaian perkara hukum pemilukada selama ini. Pertama, masih cukup rendahnya pemahaman masyarakat tentang mekanisme hukum yang harus ditempuh ketika berhadapan dengan persoalan yang terkait dengan penyimpangan dan pelanggaran selama berlangsung pemilukada. Kekecewaan publik terhadap proses penyelengaraan pemilu belum mampu terlembagakan dalam proses hukum. Sebaliknya yang muncul adalah kekecewaan yang berujung pada anarkisme dan kekerasan massa.  Kedua, institusi penegak hukum dalam Pilkada, dalam hal ini Bawaslu dan Panwaslu, tidak bisa bekerja maksimal karena secara yuridis eksistensi lembaga tersebut memang tidak memiliki kewenangan yang kuat. Kelemahan Panwaslu selama ini terletak pada ketidakmampuan menindaklanjuti pelanggaran yang dilaporkan masyarakat. Terlihat bahwa Panwaslu tidak memiliki daya eksekusi yang kuat dalam menangani laporan pelanggaran.

Dalam konteks Pilkada, UU. 32 Tahun 2004, pasal 66 ayat (4), menggarisbawahi Panitia Pengawas Pemilihan mempunyai tugas dan wewenang: a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; b. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah d. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan e. mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semua tingkatan.

Panwaslu selalu berdalih bahwa salah satu tugasnya adalah;” meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; klausul ini sering sekali dijadikan dalih ketika panwaslu dihadapkan pada pelanggaran pilkada. Lemahnya daya eksekusi langsung oleh Bawaslu juga terlihat pada UU 22 tahun 2007 yang mengatur tentang tugas dan wewenang Bawaslu. Dijelaskan pada pasal 73 huruf b, c dan d;  b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu; c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU untuk ditindaklanjuti; d. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang.

Pasal ini menujukkan bahwa Bawaslu sesungguhnya sekedar mengumpulkan laporan pelanggaran yang terjadi pada semua tahapan pemilu. Sedangkan tugas dan  kapasitasnya masih bergantung dengan pihak lain. Bahkan tugas dan wewenang yang melekat pada Petugas Pemilih Lapangan (Panwaslu di level desa) hanya sekedar menerima laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara terhadap berbagai tahapan pemilu (Pasal 82). Bukan pelanggaran yang dilakukan masyarakat atau peserta pemilu.

Ketiga, pelembagaan hukum dalam pemilukada juga gagal karena secara substansi UU No. 32 Tahun 2004 bahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah --- tidak secara jelas mengatur proses hukum, materil formil- yang bisa ditempuh ketika berhadapan dengan pelanggaran atau persoalan hukum dalam pemilukada. Misalnya dalam persoalan Penetapan Pasangan Calon. Pasal 61 UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengatur mekanisme hukum apabila ada pasangan yang keberatan tentang keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon. Begitu juga dengan tahapan lainnya. Karena tidak jelasnya mekanisme hukum yang mengatur, maka formula penyelesaian sering berakhir kepada bentrokan dan anarkhisme seperti yang terjadi baru-baru ini di Pemilukada Mojokerto. Jawa Timur.

Selama ini, UU Pemilukada, dalam hal ini UU No. 32 Tahun 2004 -maupun UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 - hanya akomodatif terhadap persoalan sengketa pemilukada yang terkait dengan penghitungan suara, namun tidak mengakomodir persoalan yang terjadi dalam tahapan-tahapan sebelum penghitungan suara. Misalnya, apabila calon merasa dirugikan dan keberatan dengan hasil pengitungan suara oleh KPUD, maka pasangan calon memiliki kesempatan menyampaikan keberatan kepada Mahkamah Agung  dengan catatan keberatan yang dimaksud memang secara nyata mempengaruhi  terpilihnya pasangan  calon. Pasal 106  UU No. 32 Tahun 2004: 1): Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.  2); Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.


Konteks SEMA No. 5 Tahun 2005
Namun demikian, meskipun secara detail beberapa persoalan yang muncul terkait keluarnya Keputusan KPUD selaku pejabat negara tentang berbagai tahapan pemilukada tidak diatur dalam UU Pemilukada (Vide UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12  tahun 2008), namun pelembagaan hukum dalam konteks ini adalah menyelesaikan sengketa atau persoalan dalam ranah hukum administrasi.

Penyelesaian sengketa pilkada lewat mekanisme sengketa tata usaha negara dapat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang   Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat (10): Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pasal 1 ayat (8), yang dimaksud dengan Pejabat tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara, ayat (9) menjelaskan definisi Keputusan Tata usaha Negara, yakni  suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dalam konteks Pemilukada, maka segala keputusan KPUD berpotensi menjadi obyek sengketa dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam 1 (satu)  hal, yakni Keputusan KPUD yang terkait dengan hasil Pemilukada. Dalam UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, khususnya pasal 2 huruf g:  tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Artinya, selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara dalam PTUN.

Mengingat peluang gugatan tersebut, maka dapat diprediksi bahwa KPU memiliki peluang yang cukup besar untuk digugat oleh peserta pemilu atau pemilih. Hal ini dimungkinkan kerena beberapa tahapan krusial yang akan dilewati oleh stakeholders pemilu. Di antaranya, pertama, tahapan pemutakhiran DPT. Tahapan ini sangat terbuka digugat oleh pihak yang merasa tidak terdaftar sebagai pemilih namun secara faktual dan administratif memiliki hak untuk memilih. Kedua, tahapan pengadaan logistik pemilu. Tahapan ini rawan digugat pada tahapan pelelangan sejumlah pengadaan logistic pemilu. Beberapa pihak biasanya tidak puas atas mekanisme tender yang dilakukan KPU. Ketiga, tahapan penetapan calon legislatif dan calon presiden sebagai peserta pemilu. Para calon peserta pemilu yang tidak puas atas proses verifikasi calon akan menggugat keputusan KPU.

Namun harapan akan munculnya dinamika sengketa tata usaha negara dalam periode pemilukada 2005-2008 tidak tercapai akibat keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2005 tentang Petunjuk Tekhnis tentang Sengketa mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada). Pada butir 2 SEMA tersebut disebutkan bahwa dihubungkan dengan pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-undang nomro 9 tahun 2004 tentang Peradilan tata usaha Negara, maka keputusan ataupun penetapannya (KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili.

Menurut SEMA ini, sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilihan umum, namun haruslah diartikan sebagai meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan pemilihan umum, sebab apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan, bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA juga menunjuk putusan Nomor 482 K/TUN/2003 tanggal 18 agustus 2004 sebagai Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan Peradilan tata usaha Negara  untuk memeriksa dan mengadilinya.

Subtansi materi SEMA No. 8 Tahun 2005 ini kemudian memicu pro kontra. Bagi kelompok yang pro, SEMA ini sudah cukup relevan karena memahami bahwa PTUN memang tidak berhak memeriksa persoalan hukum dalam  Pemilu. Bagi mereka yang menyetujui SEMA ini memahami bahwa Pemilu  itu adalah semua proses yang berlangsung sejak tahapan awal, yakni penetapan daftar pemilih sampai dengan penghitungan hasil akhir. Selain itu, mengikuti alur pemikiran J. Downer bahwa penyelengaraan negara itu adalah bagian politik (taatstelling)/penentuan tugas (politik), maka kelompok ini meyakini bahwa Proses pemilu dengan segala tahapannya merupakan agenda atau kerja-kerja pemilihan yang merupakan agenda politik, sementara sebagai bentuk kerja administrasi (taatsvervaling) PTUN hanya berwenang mengadili KTUN yang dikeluarkan oleh pejabat TUN sebagai bagian pelaksanaan segala hal yang telah ditentukan oleh  agenda politik   (Laica; 2009).

Sementara pendapat kontra meyakini bahwa substansi dari SEMA ini sudah keluar dari materi pasal 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN. Karena pasal ini secara jelas menggunakan kalimat “Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”. Kalimat hasil Pemilihan Umum menunjukkan secara tegas bahwa hanya satu tahapan, yakni terkait dengan hasil pemilu yang saat ini hanya dapat diperiksa dan diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan Laica Marzuki menilai bahwa dalam kajian tentang  beleidsregel, maka SEMA ini ini termasuk menyimpang dari UU. Menurut Laica, beleidsregel, sehari-hari dikenal adalah Juklak kemudian yang kedua adalah Surat Edaran, namun biasanya beleidsregel, ini dalam bentuk pengumuman yang diumumkan atau juga dalam bentuk nota yang diedarkan. Dalam kajian beleidsregel, penting membedakan antara peraturan perundang-undangan dan Undang-Undang. Menurut Laica, peraturan perundang-undangan pengertiannya cukup luas, mulai dari konstitusi, UU, Peraturan Pemerintah, Perda dan sebagainya. Jadi, UU termasuk peraturan Perundang-undangan. Tapi tidak semua peraturan Perundang-undangan adalah UU. Dalam konteks Mahkamah Agung misalnya, Perma termasuk peraturan perundang-undangan, sedangkan SEMA masuk kategori peraturan kebijakan.

Mengingat SEMA merupakan bentuk freiez ermessen atau diskresi, maka SEMA memiliki koridor yang sangat penting yakni tidak boleh terjadi penyimpangan. Dalam pandangan Laica, freiez ermessen atau diskresi menyimpang dalam dua hal yakni, melanggar dari UU dan menyimpang dari (asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUUAPB). Sehingga ada kekhawatiran apabila SEMA 8 ini termasuk kategori  freiez ermessen atau diskresi yang menyimpang.  Meskipun demikian, pada prakteknya beberapa hakim PTUN yang menerima sengketa tahapan pemilu di luar tahapan hasil pemiliha umum.

Ketika menjelang pemilu 2009 lalu, setidaknya ada empat putusan pengadilan yang menghiasi pelaksanaan tahapan pemilu 2009. Keempat putusan yang kesemuanya diputuskan PTUN bisa kita kaji. Pertama, Putusan PTUN Jakarta tentang dikabulkannya permohonan 4 empat partai yang mencapai Electoral Treshold pada pemilu 2004 untuk ikut secara otomatis pada pemilu 2009. Kedua, putusan PTUN Jakarta yang memenangkan gugatan Partai Republiku terhadap keputusan KPU yang tidak meloloskan mereka ikut pemilu. Partai Republiku oleh PTUN Jakarta  dianggap berhak ikut pemilu karena fakta di persidangan membuktikan bahwa Partai Republiku memiliki struktur di 29 Provinsi, melebihi persyararatan minimal, yakni 15 provinsi. KPU tidak meloloskan dalam proses verikasi karena KPU menganggap bahwa Partai Republiku hanya memiliki struktur di 14 provinsi. Dalam perkara ini, KPU kalah dua kali sehingga saat saat itu KPU mengajukan kasasi ke MA.

Ketiga, putusan sela yang dikeluarkan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan PKB versi Gus Dur yang menggugat pengambilalihan kantor sekretariat DPP PKB oleh PKB versi Muhaimin. Putusan PTUN membatalkan Keputusan MenhunHAM yang menyebut bahwa alamat Sekretariat DPP PKB di Jalan Siliwangi Jakarta. Keempat, ditolaknya gugatan PKB versi Gus Dur oleh PTUN Jakarta yang menggugat keputusan Menteri Hukum dan HAM yang mengesahkan kepengurusan DPP PKB versi Muhaimi Iskandar. Dari empat gugatan tersebut, sebenarnya dapat dikategorikan menjadi dua ranah perkara. Yakni perkara dalam tahapan verifikasi peserta pemilu dan perkara yang terkait dengan keabsahan partai politik yang berkaitan dengan kepesertaan dalam pemilu 2009. Kesemua perkara tersebut berada dalam ranah tahapan yang tidak terkait dengan hasil pemilihan umum.

Merajut Optimisme dengan SEMA No. 7 Tahun 2010
Terlepas pro kontra atas SEMA No. 8 Tahun 2005, optimisme terhadap proses pelembagaan hukum dalam pemilukada kembali muncul pasca Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2010 (SEMA 2010) tentang Petunjuk Tekhnis Sengketa Mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) pada tanggal 11 Mei 2010. Secara substansi, materi  SEMA 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA 2005. Bahkan materi  SEMA 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi SEMA 2005. Dalam hal ini SEMA 2010 menegaskan bahwa pasal 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1986 menyiratkan bahwa keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan yang diterbitkan oleh KPU/KPUD mengenai hasil Pemilihan Umum, tidak dapat digugat di PTUN.

Namun SEMA ini membedakan dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan di lain pihak keputusan yang berisi mengenai hasil pemiliha umum. Dengan Demikian SEMA 2010 ini mengatur bahwa keputusan-keputusan yang belum atau tidak merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di bidang urusan pemerintahan dan oleh karenanya sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat (9) maka tetap menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Hal ini disebabkan karena keputusan tersebut berada di luar jangkauan perkecualian sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 2 huruf g UU PTUN.

Tegasnya, SEMA 2010 memberikan peluang kepada pencari keadilan untuk menyelesaikan persoalan hukum pemilukada pada semua tahapan kecuali yang terkait dengan tahapan hasil penghitungan suara di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Namun demikian, dalam pelaksanaan SEMA 2010 Mahkamah Agung memberi dua catatan penting. Pertama, Pemeriksaan terhadap sengketanya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara agar dilakukan secara prioritas dengan mempercepat proses penyelesaian sengketanya. Kedua, Dalam proses peradilan, Ketua Pengadilan Tata usaha Negara atau Majelis Hakim yang ditunjuk memeriksa sengketanya agar secara arif dan bijaksana mempertimbangkan dalam kasus demi kasus tentang kemanfaatan bagi penggugat ataupun tergugat apabila akan menerapkan perintah penundaan yang dimaksudkan ketentuan pasaln 67 ayat (2), (3), dan (4) UU PTUN. Pesan penting dari kehadiran SEMA 2010 ini bahwa Mahkamah Agung berkeinginan agar seperti apapun konflik dan perselisihan dalam pilkada, sebaiknya dikelola bahkan diakhiri dengan melawati ketentuan hukum yang ada. Memang sangat menyedihkan ketika konflik dalam pilkada terus berlarut dengan diiringi oleh tindakan kekerasan dan anarkisme.

Tantangan ke Depan
Beberapa hari ke depan, dengan hadirnya SEMA 2010 akan mempengaruhi dinamika dalam proses penyelesaian perkara di PTUN. Ada 244 pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang telah, sedang dan akan berlangsung sepanjang tahun 2010 ini. Sering dengan intensifnya penyelengaraan pilkada di berbagai daerah, maka para pencari keadilan akan mencoba mendasarkan SEMA 2010 ini untuk menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi selama pemilukada. Dalam hal ini, PTUN hendaknya merespon kondisi ini dengan beberapa agenda.

Pertama, para hakim yang akan memeriksa perkara pemilukada hendaknya  mendalami lebih jauh dan detail tentang mekanisme dan proses pelaksanaan pemilukada. Terkait hal ini, penting menyimak rekomendasi Bawaslu dalam revisi UU Pemilu yang menghendaki adanya Pengadilan Pemilu sebagai salah satu Pengadilan Khusus. Pertimbangannya karena penyelesaian hukum pemilukada oleh hakim selama ini tidak cukup memadai dan belum konprehensif dalam menyelesaikan persoalan.

Kedua, mengantisipasi beberapa tahapan yang paling berpotensi menjadi sengketa pemilukada yang akan diselesaikan di PTUN. Seperti misalnya, Tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Berbagai masalah yang biasanya memicu gagalnya bakal calon  menjadi calon resmi adalah misalnya sang bakal calon  terkait ijazah palsu, tidak terpenuhinya dukungan 15 % parpol pendukung atau adanya dualisme kepemimpinan parpol pengusung. Untuk konteks saat ini, tahapan pendaftaran dan penetapan calon semakin krusial seiring keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon independent maju dalam Pilkada. Persoalan akurasi dukungan jumlah KTP sangat rawan menjadi sumber sengketa.

Ketiga, perlunya persiapan  yang bersifat non yudisial terkait dengan situasi ketika pelaksanaan persidangan. Mengingat setiap persidangan berpeluang dihadiri oleh massa yang cukup banyak. Bahkan mengalami mungkin “ mengalami” ketegangan ketika harus ada perintah penundaan dll. Namun satu hal yang penting adalah menghindari adanya putusan atau penetapan yang akan mengganggu proses dan jadwal pelaksnaan pemilu. Hal ini dikarenakan dalam proses pemilihan umum perlu segera ada kepastian hukum sehingga dapat dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan.

Semoga hadirnya SEMA No. 7 tahun 2010 menjadi babak baru bagi Pengadilan Tata Usaha Negara.


-------
*) Penulis adalah calon hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. Tinggal di Yogyakarta.


BAHAN BACAAN
Marzuki, Laica, 2009. Beleidsregel, Materi Kuliah Diklat Calon Hakim PTUN
Mawardi, Irvan.2009.  “ Gugatan Hukum dalam Pemilu 2009”. www.berpolitik.com
-------------------. 2007, ” Anatomi Konflik Dalam Pilkada”. www.jppr.or.id
SEMA No. 8 tahun 2005
UU. No. 5 tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
UU. No. 9 tahun 2004 Tentang pengadilan Tata Usaha negara (Perubahan pertama)
UU. No. 51 tahun 2009 Tentang pengadilan Tata Usaha negara (Perubahan kedua)
UU. No. 22. Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
UU. No. 32. Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU. No. 12. Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah (perubahan kedua)